Episode 4: Simbol di Balik Kulit Beringin

## Episode 4: Simbol di Balik Kulit Beringin

*Terukir samar di kulit pohon yang keriput, ada simbol aneh, sebuah pola melingkar dengan garis-garis yang saling terkait. Simbol itu terasa familier. Aku pernah melihatnya. Tapi di mana? Dan mengapa simbol itu membuat perutku mulas, seolah aku baru saja menemukan sebuah jejak yang seharusnya tetap tersembunyi selamanya?*

Kedinginan menjalar dari ujung kaki hingga ubun-ubun. Bukan hanya dinginnya malam Arakasa, tapi kengerian yang menusuk. Simbol itu. Aku mendekat, menyalakan senter ponselku lagi, mengarahkan cahayanya ke ukiran di pangkal pohon beringin. Itu memang bukan goresan acak. Sebuah pola geometris yang rumit, seperti labirin mini, dengan titik-titik kecil di setiap persimpangan garis. Bentuknya mengingatkanku pada sesuatu yang sangat jauh di dalam ingatanku, namun sulit kuraih.

Aku mengeluarkan ponsel, memotret simbol itu berkali-kali dari berbagai sudut, berharap di kemudian hari aku bisa menelusurinya. Perekam suara juga kunyalakan, mendiktekan deskripsi detail dari ukiran tersebut. Getaran tanganku jelas terdengar dalam rekaman.

Matahari akan segera terbit. Aku harus kembali ke penginapan sebelum penduduk desa terbangun dan menyadari keberadaanku di luar. Dengan langkah terburu-buru dan perasaan cemas yang bergejolak, aku melesat kembali ke Penginapan Mawar.

Memasuki kamarku, aku segera mengunci pintu dan menjatuhkan diri di ranjang. Otakku bekerja keras, mencoba menghubungkan titik-titik yang kudapat malam ini. Ritual Pak Karta di sumur, bau kemenyan yang kuat, dan simbol aneh di pohon beringin. Semuanya terasa saling terkait, membentuk sebuah benang merah yang menakutkan.

Aku membuka tas, mengeluarkan *tablet* kecilku. Untungnya, aku sudah mengunduh beberapa buku tentang *folklore* Jawa, antropologi pedesaan, dan bahkan arsip kasus-kasus orang hilang yang mirip dengan Dewi sebelum berangkat. Meskipun tidak ada sinyal internet, setidaknya aku punya referensi dasar. Aku mencari tentang simbol-simbol kuno, ritual air, dan pohon beringin dalam kepercayaan Jawa.

Malam itu aku tidak tidur. Setiap desiran angin, setiap suara binatang malam dari hutan di belakang penginapan, terasa seperti bisikan dari kegelapan. Aroma kemenyan masih melekat kuat di hidungku, seolah-olah memenuhi seluruh kamar. Aku bahkan merasa seperti ada sesuatu yang mengawasiku dari luar jendela. Aku membayangkan mata tua Pak Karta yang menatap lurus ke arah pohon beringin, dan senyum dinginnya. Dia tahu aku ada di sana.

Fajar menyingsing, mewarnai langit dengan gradasi jingga yang suram. Aku memaksakan diri untuk bangun, membersihkan diri seadanya. Meskipun semalaman tidak tidur, adrenalin membuatku tetap terjaga. Aku harus berhati-hati. Sangat berhati-hati.

Setelah sarapan seadanya di penginapan—roti tawar keras dan teh pahit—aku keluar. Desa tampak lebih hidup di pagi hari. Beberapa wanita terlihat mencuci pakaian di sungai kecil di pinggir desa, anak-anak berlarian di halaman, dan pria-pria sudah pergi ke ladang. Namun, tatapan curiga yang kemarin kulihat masih jelas terpampang di wajah mereka. Beberapa orang yang berpapasan denganku langsung menunduk atau buru-buru memalingkan wajah.

Aku berjalan menuju warung kecil yang kulihat kemarin, berharap bisa membeli beberapa perbekalan dan mungkin menguping percakapan. Warung itu tidak lebih dari sebuah gubuk kayu dengan beberapa meja dan bangku panjang. Seorang ibu paruh baya dengan senyum ramah yang terlihat tulus, tidak seperti yang lain, menyambutku.

"Selamat pagi, Nona," katanya. "Mau pesan apa?"

"Kopi dan beberapa kue, Bu," jawabku, mencoba membalas senyumannya. Ini adalah senyum ramah pertama yang kulihat di desa ini.

Saat aku menunggu, aku mengamati warung itu. Ada beberapa foto lama yang tergantung di dinding, gambar-gambar hitam putih orang-orang dengan pakaian adat. Salah satu foto menarik perhatianku. Foto itu menampilkan sekelompok sesepuh desa, semuanya mengenakan pakaian tradisional, berdiri di depan sebuah bangunan yang tampak seperti pendopo. Dan di tengah-tengah mereka, aku melihat **Pak Karta** yang lebih muda, namun dengan tatapan mata yang sama.

Namun, bukan hanya itu yang menarik perhatianku. Di salah satu sudut foto, di dekat kaki Pak Karta, terlihat samar-samar ukiran yang sama persis dengan yang ada di pohon beringin. Simbol melingkar dengan garis-garis rumit itu. Ukiran itu tampaknya berada di sebuah bebatuan besar yang kini mungkin sudah tertutup semak atau tertimbun tanah.

Jantungku berdebar lagi. Ini adalah bukti. Simbol itu bukan sekadar ukiran iseng. Itu adalah bagian dari identitas desa ini, sebuah tanda kuno yang berhubungan dengan sesepuh mereka.

"Bu, maaf," kataku pada pemilik warung, menunjuk foto itu. "Ini foto lama, ya?"

"Oh, itu foto kakek saya dulu, Nona. Sudah puluhan tahun yang lalu," jawabnya ramah. "Itu foto saat upacara adat besar di pendopo."

"Ukiran di bawah itu... apa artinya, Bu?" tanyaku, mencoba terdengar santai.

Senyum ibu warung memudar. Matanya yang tadi ramah kini memancarkan keraguan. "Itu... itu hanya ukiran lama, Nona. Tidak ada artinya." Ia cepat-cepat memalingkan muka, sibuk menyiapkan pesananku.

Reaksi itu mengkonfirmasi dugaanku. Simbol itu penting. Penting dan disembunyikan.

Aku membeli beberapa makanan kaleng dan air minum. Aku juga berhasil membeli kartu SIM lokal, meskipun aku tahu sinyalnya tidak akan sampai ke Arakasa. Aku akan mencobanya nanti saat aku mencari tempat yang lebih tinggi di bukit.

Sepanjang hari itu, aku menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan di sekitar desa, mengamati, dan mencatat setiap detail kecil di buku catatanku. Aku melihat sumur tua itu lagi di siang hari, tampak biasa saja di bawah terik matahari, namun bayangan ritual Pak Karta semalam masih terbayang jelas. Aku juga melihat beberapa penduduk membawa sesajen kecil ke arah hutan di batas desa, menuju area yang kutebak adalah makam kuno yang kulihat di peta. Aku memutuskan untuk mengunjungi makam itu nanti malam.

Saat senja menjelang, aku kembali ke penginapan. Aku merasa lelah, namun pikiranku penuh dengan informasi yang baru kudapat. Aku perlu menganalisisnya.

Aku duduk di depan meja, mengeluarkan buku-buku referensiku. Aku mencari tentang ukiran, simbol, dan ritual yang melibatkan sumur dan pohon. Setelah berjam-jam membaca dan membandingkan, aku menemukan beberapa hal yang mengganggu.

Simbol yang kulihat di pohon beringin dan di foto lama itu sangat mirip dengan sebuah **lambang kuno yang diyakini sebagai "mata sang penjaga"** dalam beberapa kepercayaan animisme Jawa. Lambang ini seringkali dikaitkan dengan ritual persembahan atau penjagaan terhadap kekuatan alam yang besar, kadang membutuhkan "imbalan" untuk menjaga keseimbangan.

Kemudian, aku menemukan satu bab tentang "Ritual Air dan Pohon Beringin". Tertulis bahwa di beberapa komunitas terpencil, pohon beringin dan sumber air (sumur atau mata air) dianggap sebagai tempat bersemayamnya entitas gaib yang sangat kuat. Beberapa ritual kuno melibatkan persembahan (bisa berupa hasil bumi, hewan, atau yang paling ekstrem, **tumbal manusia**) untuk menenangkan entitas tersebut atau meminta perlindungan dari malapetaka. Yang paling mengerikan, disebutkan bahwa jika entitas itu tidak "diberi makan", ia akan mengambil apa yang diinginkan secara paksa, biasanya dari anggota komunitas yang paling rentan.

Bau kemenyan, ritual di sumur, simbol "mata sang penjaga", dan sejarah hilangnya Dewi. Semua ini mulai membentuk pola yang mengerikan di kepalaku. Apakah Dewi... tumbal? Pikiran itu begitu dingin, begitu menakutkan, hingga aku merasa mual.

Tiba-tiba, aku mendengar suara ketukan pelan di pintu kamarku. Jantungku mencelos. Siapa? Apakah Pak Karta? Apakah mereka tahu aku sedang menyelidiki?

Aku membeku, mematikan senter ponsel, bersembunyi di balik lemari, mengamati pintu. Ketukan itu berhenti. Aku menahan napas. Beberapa detik kemudian, ada suara decitan samar dari lantai kayu, seolah ada seseorang yang berjalan menjauh.

Aku menunggu beberapa menit, mencoba mendengar suara lain. Sunyi. Aku perlahan keluar dari persembunyian, mendekati pintu. Aku mengintip dari lubang kunci. Tidak ada siapa-siapa di lorong.

Dengan hati-hati, aku membuka pintu. Lorong itu kosong. Namun, ada sesuatu di ambang pintu. Sebuah **tas kain kecil berwarna hitam**, diletakkan persis di depan kamarku. Tidak ada tulisan, tidak ada tanda.

Aku melihat sekeliling lagi, memastikan tidak ada orang. Lalu, dengan tangan gemetar, aku mengambil tas kain itu. Kainnya terasa tua dan kasar. Aku membukanya.

Di dalamnya, aku menemukan beberapa benda. Sebuah **untaian rambut panjang berwarna hitam**, terasa agak kasar dan kaku. Sebuah **bros kecil berbentuk bunga melati**, sudah sedikit pudar dan berkarat. Dan yang paling membuatku terkesiap, sebuah **kepingan kecil dari kamera digital**, bagian lensanya sedikit retak.

Aku mengenalinya. Bros bunga melati itu. Dewi sering memakainya. Aku bahkan membelikannya untuk hadiah ulang tahunnya yang ke-19. Dan kepingan kamera itu... itu adalah bagian dari kamera yang selalu Dewi bawa ke mana-mana.

Tanganku bergetar begitu hebat hingga benda-benda itu hampir jatuh. Ini bukan kebetulan. Ini adalah pesan. Seseorang telah meninggalkan ini untukku. Seseorang di desa ini tahu tentang Dewi. Dan dia berusaha memberiku petunjuk. Atau, mungkin, dia sedang memberiku peringatan.

Aku mencium untaian rambut itu. Aroma yang samar dan aneh. Bukan aroma shampo atau parfum. Tapi aroma **tanah basah dan sesuatu yang busuk**, bercampur dengan bau kemenyan yang kuat. Aroma yang sama yang kurasakan sejak aku tiba di desa ini. Aroma kematian.

**Hook:** Aku memejamkan mata, memegang benda-benda itu erat-erat di tanganku. Seseorang sedang bermain denganku. Seseorang tahu lebih dari yang mereka katakan. Tapi siapa? Dan mengapa mereka tidak langsung bicara? Saat aku menatap benda-benda itu lagi, aku melihat sesuatu yang kecil dan mengkilap terselip di antara untaian rambut. Sebuah ukiran kecil. Sebuah simbol. Persis sama dengan yang ada di pohon beringin. Ini bukan lagi petunjuk. Ini adalah ancaman. Dan aku tahu, malam ini, tidur tidak akan lagi menjadi pilihan. Aku harus mencari pemilik tas kain ini, atau aku yang akan menjadi target berikutnya.

---