Bayangan-bayangan bergerak seperti hantu di koridor yang gelap. Suara langkah kaki yang berat bergema di marmer dingin, diiringi dentingan baja yang saling berbenturan. Di ujung lorong, cahaya bulan purnama bersinar merah melalui jendela kaca, seolah langit sendiri berwarna darah.
Hyo Seon—tidak, Hyo Jinma pada waktu itu—menekan tubuh mungilnya semakin erat di sudut ruang rahasia. Tangannya yang berusia dua belas tahun gemetar memegang sebilah pisau kecil, warisan dari ayahnya. Di luar, suara-suara asing terus mendekat.
"Temukan anak itu!" suara berat memecah keheningan. "Kaiser bilang tidak boleh ada yang tersisa dari bloodline Blood Moon!"
Mata Hyo melebar. *Blood Moon*. Itulah nama yang selalu diucapkan ayahnya dengan nada bangga, tapi tidak pernah dijelaskan artinya. Kini, dari sembunyi di balik dinding rahasia, dia akhirnya memahami—mereka bukan sekadar keluarga pedagang seperti yang selama ini dia kira.
Pintu kayu jati tebal di hadapannya bergetar keras. Suara pukulan bertubi-tubi menggema, diikuti teriakan para penyerang.
"Hyo Jinma! Keluar sekarang dan mati dengan terhormat!"
Anak itu menggigit bibirnya hingga berdarah, menahan isak tangis. Ayahnya sudah tidak ada. Dia melihat sendiri bagaimana "Hyo Mugang", ayahnya, pria yang selalu tersenyum lembut padanya, terbaring di genangan darahnya sendiri di halaman utama. Tubuh besar itu penuh luka tusukan, namun ekspresi wajahnya tetap tenang—seolah kematian sudah lama dinantikan.
"Hyo-ah," suara ayahnya bergema dalam ingatannya. Kata-kata terakhir yang diucapkan dengan sisa napasnya. *"Ingat... ruang rahasia... tunggu hingga semuanya berakhir... jangan... jangan biarkan mereka tahu kau masih hidup..."
**BRAKKK!**
Pintu luar akhirnya jebol. Langkah kaki berderap masuk ke ruang pribadi ayahnya. Hyo dapat mendengar suara barang-barang dilempar, meja dibalik, lemari dibongkar.
"Tidak ada di sini," gumam seseorang dengan nada kesal.
"Coba periksa lagi. Anak iblis itu pasti bersembunyi di suatu tempat."
*Anak iblis*. Hyo tidak mengerti mengapa mereka menyebutnya demikian. Selama ini dia hanya anak biasa yang belajar baca-tulis dan bermain dengan burung-burung di taman belakang. Tapi melihat kemarahan dan kebencian di mata para penyerang tadi, seperti mereka sedang berburu monster yang sangat berbahaya.
"Bakar saja semuanya," perintah suara yang berbeda—lebih dingin, lebih menakutkan. "Jika anak itu masih hidup, dia akan mati terbakar. Jika sudah mati, kita pastikan tidak ada yang tersisa untuk ditemukan."
Bau asap mulai menyeruak masuk. Hyo dapat melihat kilatan merah-oranye di celah-celah dinding rahasia. Api. Mereka benar-benar akan membakar semuanya.
Tangan mungilnya meraba-raba dinding di belakangnya. Ayah pernah menunjukkan pintu keluar rahasia dari ruangan ini, tapi dia tidak pernah memperhatikan dengan serius. Kini, saat nyawanya bergantung pada itu, ingatannya seperti kabut.
Asap semakin tebal. Mata Hyo mulai perih, tenggorokannya tersengal-sengal. Panik mulai mengambil alih, tapi kemudian dia mengingat sesuatu—ayahnya selalu menyentuh ornamen naga kecil di sudut kanan bawah ketika masuk ke ruangan ini.
Dengan tangan yang gemetar, dia meraba hingga menemukan ukiran naga yang tidak lebih besar dari genggamannya. Saat ditekan, terdengar bunyi 'klik' pelan, dan sebagian dinding bergeser, menampakkan lorong sempit yang gelap.
Tanpa berpikir panjang, Hyo merangkak masuk. Lorong itu berbau pengap dan dingin, tapi lebih baik dari asap beracun di luar. Dia terus merangkak dalam gelap, mengandalkan rabaan tangan dan lutut yang sudah mulai lecet.
Entah berapa lama dia merangkak—menit terasa seperti jam—hingga akhirnya merasakan hembusan udara segar. Sebuah lubang kecil, hampir tertutup semak belukar, muncul di hadapannya. Dia memaksa tubuhnya yang sudah lelah untuk keluar.
Pemandangan yang menyambutnya membuatnya terduduk lemas.
Seluruh kompleks rumahnya—tidak, kompleks "Blood Moon Guild"—terbakar dalam kobaran api raksasa yang menjulang tinggi. Api merah itu bercampur dengan cahaya bulan purnama, menciptakan atmosfer yang mengerikan seperti neraka turun ke bumi.
Di halaman utama, dia dapat melihat tubuh-tubuh bergelimpangan. Bukan hanya ayahnya, tapi juga Paman Cho yang selalu tertawa keras, Bibi Min yang sering memberinya permen, dan belasan orang lain yang selama ini dia kenal sebagai "karyawan" rumahnya.
Kini dia tahu mereka bukan sekadar karyawan. Mereka adalah anggota guild. Keluarganya. Dan mereka semua sudah tiada.
"Di sana! Ada yang bergerak!"
Sorot obor menyapu ke arahnya. Hyo reflek berputar dan berlari sekuat tenaga ke dalam hutan di belakang kompleks. Cabang-cabang merenda wajah dan lengannya, tapi dia tidak peduli. Yang penting adalah lari. Lari sejauh mungkin dari tempat neraka itu.
Dia berlari hingga paru-parunya terasa terbakar dan kaki-kakinya tidak sanggup melangkah lagi. Dia jatuh terduduk di bawah pohon besar yang akarnya mencuat keluar tanah, tubuhnya menggigil hebat—bukan karena dingin, tapi karena shock dan ketakutan.
Di atas, bulan purnama masih bersinar merah. Entah karena pantulan api yang jauh di belakang, atau memang ada sesuatu yang salah dengan dunia malam itu.
Hyo memeluk lututnya erat-erat dan menangis untuk pertama kalinya sejak tragedi dimulai. Air matanya jatuh ke tanah, bercampur dengan darah dari luka-luka kecil di tubuhnya.
"Ayah..." bisiknya dengan suara serak. "Mengapa... mengapa mereka melakukan ini pada kita?"
Angin malam berhembus, membawa aroma asap dan darah dari kejauhan. Dan dalam keheningan hutan yang mencekam itu, seorang anak berusia dua belas tahun melahirkan sumpah yang akan mengubah dunia bela diri selamanya.
Bibirnya yang bergetar mengucapkan kata-kata yang akan dia ingat setiap hari selama sepuluh tahun ke depan:
"Suatu hari... suatu hari aku akan membalas semua ini. Aku bersumpah dengan nama Blood Moon... semua yang terlibat akan membayar dengan darah mereka sendiri."
Bulan merah di atas seolah mendengar sumpahnya, dan cahayanya berkedip sekali—seakan memberikan persetujuan untuk janji balas dendam yang akan mengalir selama bertahun-tahun mendatang.