Kaki Rifki terasa mati rasa. Setiap langkah menaiki tangga beton yang curam terasa seperti memanjat tebing, menguras sisa tenaga yang nyaris tak ada. Udara di lorong itu dingin, lembap, dan dipenuhi bau apek yang menusuk hidung, campuran keringat, debu, dan sesuatu yang busuk. Ia tidak tahu seberapa jauh ia berjalan, hanya mengikuti desakan tangan kasar dari penjaga di belakangnya.
Kegelapan dan keheningan adalah teman setia, hanya dipecah oleh derit langkah dan napas beratnya sendiri. Ia seperti boneka kayu yang ditarik talinya, tanpa kehendak, tanpa perlawanan.
Akhirnya, mereka tiba di sebuah pintu besi yang lebih besar dari pintu-pintu sebelumnya. Pintu itu terlihat tua, berkarat, dan kokoh. Salah satu penjaga menarik tuas besar, dan pintu itu terbuka dengan suara berderit yang memekakkan telinga, mengungkapkan seberkas cahaya remang-remang dari luar yang menyilaukan mata Rifki.
Seketika, suara-suara samar dari luar menyerbu pendengarannya: deru kendaraan, bisikan angin, dan suara-suara yang tak jelas, seperti kehidupan yang sudah lama ia tinggalkan.
Ia ditarik keluar dari lorong itu, langsung menuju sebuah area terbuka yang remang-remang. Ini bukan di luar ruangan sepenuhnya, melainkan sebuah gudang besar yang gelap dan kosong, dengan langit-langit tinggi dan dinding beton yang suram. Di tengah gudang itu, sebuah mobil box besar berwarna gelap terparkir. Pintu belakang mobil itu sudah terbuka lebar, menampakkan kegelapan di dalamnya.
"Masuk," perintah salah satu penjaga, menunjuk ke arah mobil box itu. Suaranya serak dan kasar.
Rifki melangkah gontai, kakinya gemetar. Ia dipaksa naik ke dalam mobil box itu. Begitu masuk, bau apek dan pengap yang jauh lebih kuat langsung menyergap. Udara di dalamnya terasa tebal, nyaris tidak bisa bernapas. Mata Rifki yang sudah beradaptasi dengan kegelapan, kini bisa sedikit melihat.
Di dalam mobil box itu, ada beberapa sosok lain. Mereka duduk meringkuk di lantai yang kasar, diikat ke pilar-pilar besi yang tertanam di dinding mobil. Semuanya mengenakan pakaian kusam yang sama dengannya, celana longgar dan kemeja abu-abu tipis.
Wajah mereka terlihat kotor, pucat, dan mata mereka kosong, mencerminkan keputusasaan yang sama seperti yang kini ia rasakan. Kebanyakan dari mereka adalah laki-laki, beberapa tampak masih sangat muda, mungkin seumuran dengannya, bahkan ada yang terlihat lebih muda. Ada juga satu atau dua sosok yang terlihat lebih tua, dengan rambut acak-acakan dan janggut tipis.
Rifki merasakan jantungnya mencelos. Ia tidak sendirian. Mereka semua adalah korban, sama seperti dirinya. Rasa perih melihat pemandangan itu terasa lebih menyakitkan daripada pukulan fisik. Mereka semua telah melalui hal yang sama, atau mungkin lebih buruk. Tubuh-tubuh itu, yang seharusnya hidup bebas, kini terperangkap, diperdagangkan.
Penjaga mendorong Rifki ke salah satu sudut mobil. "Duduk. Jangan bergerak."
Rifki tidak membantah. Ia merosot ke lantai, punggungnya bersandar ke dinding mobil yang dingin dan bergetar. Penjaga itu dengan cepat mengikat pergelangan tangannya ke sebuah pilar besi. Ikatan itu kuat, erat, membatasi setiap gerakannya. Kali ini, ia tidak mencoba meronta. Semua perlawanan telah terkuras habis oleh kehancuran yang ia alami.
Ia mencoba melihat wajah-wajah di sekelilingnya, berharap menemukan secercah mata yang hidup, sebuah tanda perlawanan yang tersisa. Tapi yang ia temukan hanyalah tatapan kosong, mata yang memandang ke kejauhan, seolah jiwa mereka telah meninggalkan raga. Mereka semua adalah bayangan dari diri mereka yang dulu. Sebuah pemandangan yang menghantui. Apakah ia juga akan menjadi seperti itu? Sebuah hantu yang masih bernapas?
Suara bising dari luar kembali terdengar, pintu belakang mobil box ditutup dengan suara debaman yang keras, mengunci mereka di dalam kegelapan dan udara pengap yang lebih pekat. Mesin mobil mulai dihidupkan, mengeluarkan suara gemuruh yang bergetar. Seluruh mobil bergetar, dan perlahan, mereka mulai bergerak.
Perjalanan itu terasa sangat panjang. Mobil melaju di jalanan yang tidak rata, sesekali terguncang keras, membuat tubuh Rifki terhempas ke samping. Setiap guncangan terasa sakit, menusuk ke luka-luka yang belum sembuh. Bau pengap dan keringat semakin pekat. Beberapa kali ia mendengar suara isakan pelan dari sudut lain, atau erangan tertahan. Ia tidak bisa melihat siapa, atau apa yang terjadi, hanya bisa mendengar penderitaan yang sama.
Rifki mencoba tidur, mencari perlindungan dalam ketidaksadaran. Namun, goncangan mobil dan ketakutan yang terus-menerus menggelayuti membuatnya tidak bisa tidur nyenyak. Pikirannya melayang, teringat kembali pada hari-hari terakhirnya di Jogja.
Aroma soto ayam di dekat kampus, obrolan ringan dengan teman-teman di kantin, senyuman dosen yang mengapresiasi pertanyaan cerdasnya. Kenangan-kenangan itu kini terasa begitu jauh, begitu mustahil, seolah itu adalah kehidupan orang lain. Apakah ia pernah sebahagia itu?
Ia menyentuh tangannya, mencoba merasakan denyut nadi. Ia masih hidup. Itu adalah fakta yang kejam. Ia masih bernapas, tapi ia tidak merasa hidup. Ia merasa seperti wadah kosong, sebuah tubuh yang sekarang hanya berfungsi sebagai barang.
Di tengah kegelapan dan keheningan yang panjang, ia merasakan ada orang lain yang bergerak di dekatnya. Seseorang yang terikat di pilar sebelah. Rifki mencoba berbicara, tapi ia tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya bisa menatap kegelapan di depannya.
Tiba-tiba, ia merasakan sentuhan ringan di lengannya. Sebuah jari yang kotor dan dingin menyentuh kulitnya. Rifki tersentak, sedikit terkejut.
"Sudah bangun?" sebuah suara berbisik, serak dan sangat pelan. Suara itu terdengar seperti anak laki-laki, mungkin tidak jauh berbeda usianya dengan dirinya.
Rifki mengangguk dalam gelap, lupa bahwa orang itu tidak bisa melihatnya. "Ya."
"Aku... aku juga tidak tahu mau ke mana," bisik anak itu lagi. "Mereka bilang kita akan dibawa ke tempat yang lebih baik."
Rifki merasakan sebuah kepedihan baru menusuk hatinya. 'Lebih baik'? Bagaimana mungkin ada yang lebih baik dari neraka ini? Anak ini masih punya harapan. Harapan yang akan segera hancur.
"Jangan... jangan percaya mereka," Rifki berbisik kembali, suaranya parau. "Mereka berbohong."
Anak itu terdiam sesaat. Rifki merasakan sentuhan jari itu kembali di lengannya, seolah mencari kepastian. "Tapi... mereka bilang akan ada pekerjaan bagus..."
Rifki menggelengkan kepala. "Tidak ada yang bagus di sini. Kita... kita hanya barang."
Lalu, mobil itu tiba-tiba berhenti. Sebuah guncangan keras membuat semua orang terlonjak. Suara mesin dimatikan, dan keheningan kembali menyelimuti. Namun, kali ini, ada keheningan yang berbeda. Keheningan yang sarat ketegangan dan antisipasi.
Rifki bisa mendengar suara langkah kaki dari luar, mendekati pintu belakang mobil. Jantungnya berdebar kencang. Apakah ini akhirnya? Apakah ini tempat mereka akan diturunkan? Tempat neraka baru yang lebih mengerikan?
Pintu belakang mobil box dibuka dengan suara yang menggelegar, dan cahaya terang langsung menyilaukan mata Rifki. Kali ini, bukan cahaya remang-remang, melainkan cahaya matahari yang begitu terik, menusuk bola matanya yang sudah lama terbiasa dengan kegelapan. Ia menyipitkan mata, mencoba menyesuaikan diri.
Yang pertama kali ia lihat adalah langit biru yang tak terbatas, dihiasi awan putih. Dan kemudian, bangunan-bangunan asing yang tinggi, dengan papan nama yang tidak ia pahami. Dan di bawah, beberapa pria berbadan tegap berdiri di depan mobil, tatapan mereka dingin dan acuh tak acuh.
Rifki merasakan udara panas dan lembap menyergapnya, membawa aroma yang berbeda. Bukan lagi bau Jogja. Bukan lagi bau gudang. Ini adalah bau laut, bau asap kendaraan yang lebih pekat, dan bau rempah-rempah aneh yang belum pernah ia cium. Ini adalah bau tempat yang asing. Bau yang berbeda. Tapi perasaan mencekam itu tetap sama.
Para penjaga masuk ke dalam mobil, tanpa ampun menarik satu per satu tubuh yang meringkuk di dalamnya. Mereka diletakkan begitu saja di atas tanah, di bawah terik matahari, seperti tumpukan barang yang baru saja tiba dari pengiriman. Rifki merasakan tubuhnya diangkat, ditarik keluar, dan dihempaskan ke aspal yang panas. Ia terbatuk, mencoba menarik napas.
Ia melirik ke arah anak yang tadi sempat ia ajak bicara. Anak itu juga sudah dihempaskan keluar, matanya masih menatap penuh harapan yang kosong. Rifki ingin berbisik lagi, memperingatkan, tapi penjaga itu sudah menariknya berdiri.
"Ayo," geram seorang penjaga, menyeretnya.
Rifki menatap sekeliling. Bangunan-bangunan itu asing, tinggi, dan penuh dengan tanda-tanda yang tidak ia kenali.
Bahasa yang ia dengar dari orang-orang yang berlalu lalang juga asing di telinganya. Ia melihat papan-papan nama besar dengan tulisan yang bukan huruf Latin. Ia melihat orang-orang dengan wajah yang berbeda. Ia melihat patung-patung dan ornamen-ornamen yang khas.
Ia tahu. Ia berada di negeri asing. Sangat jauh dari rumah. Dan di sini, di bawah terik matahari yang menyengat, ia sadar bahwa perjalanan menuju neraka yang sesungguhnya baru saja dimulai. Tubuhnya telah diperdagangkan, dan kini ia tiba di tujuan akhirnya..