Tugas Mustahil

"Dan itulah, para Pendengar, cara menemukan keajaiban di tempat yang paling tidak terduga," suara Kirana Diandra mengalun jernih, menutup segmen terakhir podcastnya. Ada senyum dalam intonasinya, sebuah kehangatan yang bisa dirasakan bahkan melalui medium audio. "Bukan di puncak gunung atau di dasar lautan, tapi mungkin saja di aroma secangkir kopi pagimu, di tawa seorang sahabat yang kau rindukan, atau bahkan… di keheningan yang nyaman saat hujan turun di jendela kamarmu. Keajaiban ada di mana-mana, kita hanya perlu sedikit lebih peka untuk menyadarinya."

Kirana melepas headphone-nya, membiarkannya tergantung di leher. Ruangan studio rekamannya yang mungil terasa seperti kepompong yang aman. Dindingnya dilapisi peredam suara berwarna abu-abu gelap, namun beberapa sudutnya ia hiasi dengan poster-poster kutipan inspiratif dan lampu-lampu tumblr yang berkelip lembut. Di mejanya, di antara mikrofon kondenser dan mixer audio, sebuah mug dengan tulisan "Kata-kata adalah Sihirku" berdiri setia. Baginya, studio ini adalah dunianya, tempat ia merangkai suara dan cerita menjadi sesuatu yang, harapnya, bisa menjadi teman bagi mereka yang mendengarkan Suara Kita.

Sebuah notifikasi bergetar di ponselnya. Nama "Pak Bima - Editor" terpampang di layar. Kirana tersenyum kecil. Biasanya, ada dua kemungkinan: revisi atau pujian. Kali ini, ia berharap yang kedua.

"Episode barusan outstanding, Kirana," bunyi pesan itu, bahkan tanpa emoji, Kirana bisa membayangkan wajah datar atasannya yang jarang tersenyum itu. "Analogi keajaiban dan kopi pagi, klise, tapi audiens suka yang seperti itu. Angka pendengar naik tiga persen."

Kirana mengetik balasan cepat, "Terima kasih, Pak! Senang mendengarnya."

Pesan berikutnya datang bahkan sebelum ia sempat meletakkan ponselnya. "Karena performamu bagus, saya punya proyek besar untukmu. Sesuatu yang bisa melambungkan nama Suara Kita ke level berikutnya."

Jantung Kirana mulai berdebar sedikit lebih cepat. Ini bukan sekadar pujian. Ini adalah tantangan. "Saya siap, Pak. Proyek apa?"

"Arion Baskara."

Satu nama. Dua kata. Kirana mengerutkan kening. Nama itu terasa familier sekaligus asing. Ia membukalaptopnya, jari-jarinya menari cepat di atas papan ketik.

Hasil pencarian pertama tidak menunjukkan profil media sosial, tidak ada halaman Wikipedia, tidak ada wawancara di majalah mode atau bisnis. Yang ada hanyalah beberapa artikel di blog-blog parfum kelas atas dan forum-forum daring yang membahasnya nyaris seperti sebuah mitos.

Arion Baskara. Seorang perfumer, peracik parfum. Pendiri dari Atelier Baskara, sebuah rumah parfum niche yang eksistensinya lebih mirip bisikan daripada sebuah jenama. Produknya tidak pernah diiklankan, tidak dijual di pusat perbelanjaan mewah. Untuk mendapatkannya, seseorang harus tahu seseorang, yang tahu seseorang lainnya, atau menerima undangan pribadi yang langka.

"Bukan sekadar wewangian," tulis seorang blogger anonim dari Paris. "Parfum Arion adalah memori dalam botol. Satu semprotan Hujan di Utara dan aku bisa merasakan kembali dinginnya udara pegunungan Skotlandia di musim gugur. Satu olesan Surat untuk Ibu dan aku bersumpah bisa mencium aroma kue jahe dari dapur nenekku tiga puluh tahun lalu. Dia tidak menjual parfum, dia menjual teleportasi emosional."

Kirana menelan ludah. Pria ini bukan sekadar pengusaha. Dia seorang seniman. Seorang penyihir aroma.

Pesan dari Pak Bima datang lagi, seolah bisa membaca kebingungannya. "Dia hantu, Kirana. Tidak pernah mau diwawancara. Vogue, Harper's Bazaar, bahkan media internasional sudah mencoba dan semuanya ditolak mentah-mentah. Dia tidak butuh publisitas, dan sepertinya dia benci."

"Lalu... kenapa saya, Pak?"

"Karena kamu berbeda. Kamu tidak akan bertanya tentang strategi bisnis atau tren pasar. Kamu akan bertanya tentang keajaiban di secangkir kopi. Kamu bisa membuat batu bicara. Ini pertaruhan saya. Dapatkan dia, dan posisimu sebagai produser podcast senior aman."

Tantangan itu kini terasa seperti sebuah gunung es. Megah, dingin, dan sebagian besar misterinya tersembunyi di bawah permukaan. Rasa takut yang dingin mulai merayap di punggungnya, namun di atas rasa takut itu, ada sesuatu yang lain mulai berkelip: rasa ingin tahu yang membara.

Seorang pria yang berkomunikasi bukan dengan kata-kata, tapi dengan aroma. Seorang jenius yang mengunci diri dari dunia. Siapa dia? Apa ceritanya? Kirana selalu percaya tidak ada narasumber yang tidak bisa diajak bicara, hanya ada pewawancara yang kurang kreatif. Dan Arion Baskara adalah ujian pamungkas dari keyakinannya itu.

Dua hari kemudian, setelah riset tanpa hasil yang membuatnya frustrasi, Kirana akhirnya mendapatkan sebuah alamat. Bukan dari internet, melainkan dari seorang kolektor seni tua kenalan Pak Bima. Alamat itu tidak menunjuk ke sebuah gedung perkantoran megah di pusat kota, melainkan ke sebuah jalan kecil yang tersembunyi di kawasan kota tua, tempat waktu seolah berjalan lebih lambat.

Saat mobilnya merayap masuk ke Jalan Cendana Lorong Tiga, Kirana merasa seperti memasuki dimensi lain. Gedung-gedung pencakar langit yang angkuh digantikan oleh bangunan-bangunan kolonial tua dengan cat yang sebagian telah mengelupas, namun memancarkan pesona yang tak lekang oleh waktu. Di sini tidak ada hiruk pikuk klakson, hanya suara gemerisik daun dari pohon-pohon trembesi tua dan sesekali denting lonceng angin dari sebuah toko barang antik.

Ia menemukan nomor 27 di ujung jalan. Tidak ada papan nama besar bertuliskan Atelier Baskara. Yang ada hanyalah sebuah bangunan dua lantai dengan dinding bata ekspos yang sudah menghitam karena usia, ditutupi oleh sulur-sulur tanaman merambat. Pintunya terbuat dari kayu jati solid berwarna gelap, dan di sampingnya, hanya ada sebuah plakat kuningan kecil seukuran telapak tangan dengan ukiran inisial sederhana: A.B.

Sangat subtil. Sangat Arion Baskara.

Kirana menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debaran jantungnya yang terasa seperti drum band di dalam dada. Ia merapikan blazernya, memastikan perekam suara di dalam tasnya sudah siap, dan melangkah maju. Tangannya terangkat, ragu sejenak, sebelum akhirnya mengetuk permukaan kayu yang dingin itu tiga kali.

Tidak ada jawaban.

Ia menunggu selama satu menit penuh, lalu mengetuk lagi, kali ini sedikit lebih keras.

Sunyi. Mungkin dia salah alamat. Atau mungkin, sang penyihir memang tidak ingin diganggu. Saat Kirana hendak berbalik dengan perasaan kecewa, ia mendengar suara grendel ditarik dari dalam. Pintu itu terbuka, namun hanya selebar tiga puluh senti, menciptakan celah vertikal yang misterius.

Dari celah itu, pertama-tama yang menyambut Kirana adalah aroma.

Aroma yang belum pernah ia hirup seumur hidupnya. Bukan wangi bunga yang manis atau wangi musk yang berat. Ini adalah sesuatu yang lebih kompleks. Seperti bau tanah setelah hujan pertama turun, bercampur dengan aroma samar kulit buku-buku tua, sedikit pedasnya kayu manis, dan di lapisan paling atas, ada jejak aroma teh melati yang sangat lembut. Aroma itu terasa menenangkan sekaligus membuat waspada. Aroma itu terasa seperti sebuah cerita yang belum selesai.

Kemudian, ia melihat sesosok pria berdiri di balik pintu. Tingginya di atas rata-rata, mengenakan kemeja linen hitam yang lengannya digulung hingga ke siku, memperlihatkan lengan yang ramping namun kokoh. Rambutnya hitam legam, sedikit berantakan seolah habis disisir dengan jari. Wajahnya tidak tersenyum. Rahangnya tegas, dan matanya… oh, matanya. Warnanya cokelat gelap, seteduh aroma yang menguar dari dalam, namun tatapannya tajam, analitis, seolah bisa membedah niat Kirana hanya dengan sekali pandang.

Pria itu tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia hanya menatap Kirana, alisnya sedikit terangkat, menunggu.

Keheningan itu terasa lebih berat daripada penolakan verbal mana pun. Semua kalimat pembuka yang telah Kirana siapkan di kepalanya mendadak menguap tanpa sisa. Kemampuannya merangkai kata, aset terbesarnya, seolah lumpuh di hadapan pria ini.

"Selamat siang," akhirnya Kirana berhasil bersuara, sedikit lebih serak dari yang ia inginkan. "Saya Kirana Diandra dari podcast Suara Kita. Saya..."

"Saya tidak tertarik," potong pria itu. Suaranya rendah, tenang, namun final. Seperti batu yang jatuh ke dasar sumur yang dalam. Tidak ada amarah, tidak ada kejengkelan, hanya sebuah pernyataan fakta yang tak terbantahkan.

Pintu mulai bergerak untuk menutup.

Panik, Kirana bertindak berdasarkan insting. "T-tunggu! Saya tahu Anda sibuk, tapi saya hanya butuh lima belas menit. Saya tidak akan bertanya hal-hal yang membosankan. Saya ingin bertanya tentang cerita di balik aroma. Seperti... aroma di tempat ini. Ada bau hujan, kayu, dan... teh melati? Bagaimana bisa tiga hal yang berbeda menyatu dengan begitu harmonis?"

Untuk sepersekian detik, Kirana melihat sesuatu berkedip di mata pria itu. Bukan ketertarikan, mungkin lebih seperti keterkejutan sesaat karena analisisnya yang spontan. Namun, kedipan itu hilang secepat datangnya.

"Anda membuang-buang waktu Anda," ujarnya, masih dengan nada datar yang sama.

Dan kemudian, pintu itu tertutup dengan bunyi 'klik' yang pelan namun terasa memekakkan telinga. Grendel kembali dipasang dari dalam.

Kirana berdiri mematung di depan pintu kayu yang kini kembali bisu. Penolakan itu begitu mutlak, begitu tenang, hingga terasa lebih menyakitkan daripada diusir dengan teriakan. Aroma yang tadi sempat menyambutnya kini telah lenyap, hanya menyisakan bau aspal dan dedaunan kering di jalanan yang sepi.

Ia merasa kalah. Namun, saat ia berbalik untuk pergi, sisa-sisa aroma unik itu seolah masih menempel di ujung indra penciumannya. Misterius, kompleks, dan sangat indah.

Sebuah senyum kecil yang getir terukir di bibir Kirana. Pak Bima benar. Pria ini adalah sebuah benteng. Tapi Kirana juga baru saja menemukan sebuah celah kecil di temboknya. Bukan untuk didobrak, melainkan untuk dipelajari.

Tugas ini bukan lagi sekadar proyek untuk kariernya. Kini, ini menjadi urusan pribadi. Urusan antara seorang wanita yang hidup dari kata-kata dan seorang pria yang berbicara melalui aroma. Dan Kirana Diandra tidak pernah lari dari tantangan.