Tantangan itu menggantung di udara, lebih nyata daripada aroma hujan yang mulai mengering di jalanan. Buktikan Anda bisa menemukan 'nada hati'-nya. Kirana mengulang kalimat itu dalam benaknya berkali-kali dalam perjalanan pulang, membiarkannya meresap seperti parfum di kulit. Kalimat itu bukan lagi sekadar tantangan; itu adalah sebuah teka-teki yang dibungkus dalam misteri.
Selama dua hari berikutnya, Kirana mengubah studio rekamannya menjadi pusat penelitian. Kata "Arion Baskara" ia gantikan dengan istilah-istilah baru di mesin pencarinya: struktur piramida parfum, molekul aromatik, enfleurage, absolut, accord. Ia menenggelamkan diri dalam dunia yang sama sekali asing baginya. Podcast tentang misteri urban ia ganti dengan video dokumenter tentang para nez (hidung) di Grasse, Prancis. Buku-buku motivasi di mejanya tersingkir oleh artikel-artikel ilmiah tentang psikologi penciuman.
Ia belajar bahwa setiap parfum memiliki arsitektur. Sebuah piramida olfaktori.
Di puncaknya ada top notes atau nada atas. Itulah kesan pertama, molekul paling ringan yang menguap paling cepat. Seperti percikan lemon, kesegaran bergamot, atau dinginnya eukaliptus. Mereka adalah sapaan pertama yang riang namun singkat, sebuah janji dari apa yang akan datang.
Di dasarnya ada base notes atau nada dasar. Inilah fondasi yang kokoh, molekul terberat yang bertahan paling lama di kulit, bahkan setelah berjam-jam. Aroma kayu, resin, vanila, atau musk. Mereka adalah kenangan yang tertinggal, bisikan terakhir yang paling intim dari sebuah wewangian.
Dan di antara keduanya, di jantung piramida, bersemayamlah sang heart notes atau nada hati.
Nada hati adalah kepribadian sebuah parfum. Ia muncul setelah nada atas yang genit mulai memudar, dan ia menjadi jembatan menuju kehangatan nada dasar. Nada hati adalah tema utama, plot dari sebuah cerita wewangian. Bisa jadi semerbak mawar yang romantis, kelembutan melati, atau pedasnya anyelir.
Kirana membanting punggungnya ke sandaran kursi. Kepalanya pening. Jadi, Arion tidak memintanya untuk menebak satu jenis bunga atau rempah. Pria itu memintanya untuk menulis bab utama dari sebuah novel yang belum selesai, untuk menggubah melodi inti dari sebuah simfoni yang bisu. Ia memintanya untuk menemukan emosi yang hilang.
Bagaimana mungkin ia bisa melakukannya? Ia bahkan belum pernah benar-benar mencium parfum itu. Ia tidak tahu cerita apa yang coba Arion sampaikan. Emosi apa yang menjadi fondasinya? Apakah itu kesedihan? Kerinduan? Penyesalan?
Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya. Ia tidak bisa memecahkan teka-teki ini dari jauh. Ia harus kembali ke sumbernya, kembali ke sang pembuat teka-teki itu sendiri. Ia harus masuk ke dalam labirin itu untuk bisa menemukan jalan keluarnya.
Dengan keberanian yang dipinjam dari keputusasaan dan rasa penasaran, Kirana kembali berdiri di depan pintu kayu itu keesokan sorenya. Kali ini, perutnya terasa melilit bukan karena takut ditolak, melainkan karena antisipasi akan apa yang mungkin menunggunya di dalam.
Ia mengetuk pelan. Tidak ada jeda yang lama. Pintu itu terbuka, dan Arion berdiri di sana, seolah sudah tahu ia akan datang. Pria itu mengenakan kaus abu-abu sederhana yang justru menonjolkan bahunya yang bidang. Tatapannya masih sama, tajam dan tak terbaca.
Kirana menelan ludah, mengumpulkan sisa-sisa kepercayaan dirinya. "Saya tidak tahu bagaimana cara menemukan 'nada hati' sebuah parfum," ujarnya jujur, suaranya terdengar lebih mantap dari yang ia kira, "jika saya bahkan tidak pernah diizinkan menciumnya dengan benar."
Arion tidak menjawab. Selama beberapa detik yang terasa seperti satu jam, ia hanya menatap Kirana. Kemudian, tanpa sepatah kata pun, ia melangkah mundur satu langkah dan mendorong pintu itu hingga terbuka sepenuhnya.
Sebuah undangan tanpa suara.
Kirana menarik napas dalam-dalam, sebuah campuran antara rasa gentar dan kemenangan, lalu melangkah melewati ambang pintu untuk pertama kalinya.
Jika dari celah pintu aroma atelier itu terasa seperti sebuah cerita, maka melangkah masuk ke dalamnya terasa seperti memasuki sebuah perpustakaan jiwa. Ruangan itu tidak terasa seperti laboratorium steril, melainkan sebuah bengkel kerja seniman yang hangat dan personal. Dinding bata ekspos di satu sisi diimbangi oleh rak-rak kayu gelap di sisi lain, yang menjulang dari lantai hingga langit-langit. Ratusan, mungkin ribuan botol kaca berbaris rapi di atasnya. Botol-botol apoteker berwarna kuning ambar, botol-botol ramping berwarna biru kobalt, dan botol-botol bening yang isinya berkilauan seperti emas cair di bawah cahaya lampu gantung bergaya industrial. Masing-masing memiliki label tulisan tangan yang elegan dan misterius.
Di tengah ruangan, sebuah meja kerja dari kayu solid yang kokoh menjadi pusat perhatian. Di atasnya, berjejer instrumen-instrumen yang tampak kuno sekaligus modern: timbangan digital yang presisi di samping timbangan kuningan, gelas-gelas ukur berbagai ukuran, dan ratusan strip kertas putih tipis—blotter—tersusun rapi dalam sebuah wadah porselen.
Keheningan di dalam begitu pekat, menelan semua suara dari dunia luar. Yang terdengar hanyalah deru napasnya sendiri dan bunyi langkah Arion yang nyaris tak terdengar di lantai kayu. Aroma yang sebelumnya hanya bisa ia cium sekilas, kini menyelimutinya sepenuhnya—tanah basah, batu dingin, kamboja yang melankolis, kini berpadu dengan aroma samar dari resin kemenyan, kulit yang usang, dan sesuatu yang manis seperti tembakau pipa.
Ini bukan sekadar bengkel kerja. Ini adalah sebuah kuil. Kuil untuk memuja kenangan.
"Duduk," kata Arion singkat, menunjuk ke sebuah bangku tinggi di depan meja kerja.
Kirana menurut tanpa kata. Ia merasa seperti seorang penyusup yang harus bersikap sesopan mungkin agar tidak diusir.
Arion bergerak dengan efisiensi yang senyap. Ia mengambil sebuah botol kecil berwarna ambar dari salah satu rak. Botol itu tidak memiliki label yang indah seperti yang lain, hanya sebuah selotip putih dengan tulisan tangan satu huruf: S.
Inilah dia. Parfum yang belum selesai. Harta karun sekaligus teka-teki utamanya.
Arion meletakkan botol itu di atas meja. Kemudian, ia mengambil selembar blotter dan berkata, "Cara orang awam mencium parfum itu salah."
Ia membuka tutup botol S dan dengan gerakan yang sangat hati-hati, mencelupkan ujung kertas itu ke dalamnya. "Mereka menyemprotkannya ke udara dan berjalan melewatinya. Atau lebih buruk lagi, menyemprotkannya ke pergelangan tangan dan menggosoknya. Itu merusak molekulnya. Membakar nada atasnya."
Ia mengangkat kertas itu, membiarkan beberapa tetes cairan jatuh kembali ke botol. "Parfum harus dibiarkan bernapas. Kau harus membiarkannya bercerita sesuai urutannya."
Ia menyerahkan kertas itu pada Kirana, namun menahan tangannya saat Kirana hendak langsung menghirupnya. "Jangan. Jangan langsung dihirup ke hidungmu. Alkoholnya akan mematikan indra penciumanmu untuk sementara. Kibaskan perlahan di depanmu, seperti ini." Ia mencontohkan, menggerakkan pergelangan tangannya dengan luwes. "Biarkan molekulnya yang datang padamu, bukan sebaliknya."
Kirana meniru gerakannya, merasa canggung. Ia mengibaskan kertas itu perlahan di depan wajahnya. Awalnya, ia hanya mencium bau alkohol yang tajam. Namun kemudian, saat alkohol itu menguap, sebuah aroma mulai menyentuh indra penciumannya.
Aroma itu dingin. Sangat dingin dan bersih. Bukan dinginnya mint, melainkan dinginnya udara sesaat sebelum badai salju. Ada aroma tajam seperti ozon, dan sesuatu yang hijau dan pahit seperti daun yang baru saja diremukkan. Aroma itu terasa antisipatif dan sedikit resah. Itulah nada atasnya. Kesan pertama yang begitu cepat berlalu.
"Tunggu," perintah Arion.
Mereka menunggu dalam diam. Kirana terus mengibaskan kertas itu perlahan. Setelah sekitar satu atau dua menit, aroma dingin itu mulai surut, digantikan oleh sesuatu yang lebih dalam. Aroma batu sungai yang ia kenali, aroma tanah basah, dan aroma kayu lapuk yang memberinya fondasi. Dan di sana, di lapisan paling bawah, tercium aroma bunga kamboja kering yang puitis dan melankolis. Itulah nada dasarnya. Fondasi dan kenangan dari parfum itu.
"Nada atasnya adalah pertanyaan. Nada dasarnya adalah jawaban," Arion bergumam, lebih seperti pada dirinya sendiri daripada pada Kirana. "Tapi di antara pertanyaan dan jawaban itu… ada kekosongan. Sebuah jurang."
Ia menatap Kirana, matanya kini tidak lagi dingin, melainkan dipenuhi oleh intensitas yang membuat Kirana sulit bernapas. "Seharusnya ada jembatan yang menghubungkan awal yang dingin dengan akhir yang penuh kenangan. Jembatan itu yang hilang. Emosi yang menjadi penghubung. Itulah 'nada hati'-nya."
Arion meletakkan beberapa botol kecil lain di atas meja. Masing-masing berisi satu jenis esens. "Ini adalah beberapa bahan yang saya gunakan. Kau boleh datang ke sini setiap hari. Kau boleh mencium semua bahan ini. Kau boleh bertanya tentang proses teknis pembuatan parfum. Tapi kau tidak boleh bertanya tentang saya."
Ia menatap lurus ke mata Kirana, menetapkan aturan mainnya dengan jelas. "Tugasmu adalah duduk di sana, mencium, dan berpikir. Cari jembatan itu. Cari cerita yang hilang di antara badai dan pemakaman. Jika kau bisa menemukannya, kau akan mendapatkan wawancaramu. Anggap saja ini magang tanpa bayaran."
Kirana menatap dari wajah Arion ke kertas di tangannya, lalu ke botol-botol kecil yang tampak seperti ramuan penyihir. Ini gila. Ini mustahil. Tapi ini juga merupakan hal paling menarik yang pernah terjadi dalam hidupnya.
Ia tidak akan mendapatkan cerita untuk podcastnya dengan cara biasa. Ia harus membangun cerita itu sendiri, dari nol, menggunakan aroma sebagai batu batanya.
Sesi pertama berakhir begitu saja. Arion kembali menyibukkan dirinya dengan menata botol, sebuah isyarat yang jelas bahwa waktu Kirana telah habis. Kirana pun pamit dengan suara pelan dan melangkah keluar dari atelier itu, dengan blotter beraroma S masih tergenggam erat di tangannya.
Di bawah cahaya senja Jalan Cendana, ia kembali menghirup aroma dari kertas itu. Kini ia bisa memahaminya lebih baik. Awal yang dingin dan resah, akhir yang bersahaja dan penuh kenangan. Dan di tengahnya, memang benar, ada sebuah kekosongan yang luas. Sebuah keheningan yang memilukan.
Tugasnya adalah mengisi keheningan itu dengan sebuah nada. Nada hati yang hilang. Dan untuk pertama kalinya, Kirana sadar, ini bukan lagi tentang sebuah wawancara. Ini sudah menjadi tentang perjalanan untuk memahami jiwa seorang pria melalui parfumnya yang terluka.