Botol yang Terlarang

Gema dari momen pelajaran orris root itu tertinggal di udara, bahkan dua puluh empat jam kemudian. Saat Kirana berjalan menyusuri Jalan Cendana Lorong Tiga keesokan harinya, setiap langkahnya terasa berat oleh kesadaran yang baru. Ia tidak lagi datang hanya sebagai seorang "murid" yang ingin memecahkan teka-teki. Ia datang sebagai seorang wanita yang pikirannya terus-menerus kembali pada getaran suara rendah di telinganya dan kehangatan sebuah tangan di bahunya.

Ia menghabiskan waktu lebih lama untuk memilih pakaian pagi itu, menukar blus cerahnya dengan kemeja katun berwarna biru pucat yang lebih kalem, seolah mencoba meredam gejolak di dalam dirinya. Misi profesionalnya kini terasa seperti sebuah tameng tipis yang ia gunakan untuk menyembunyikan jantungnya yang berdebar kencang.

Saat ia masuk ke dalam atelier, suasana terasa berbeda. Udara yang kemarin sempat menghangat dan penuh listrik, hari ini terasa dingin dan tegang. Arion sudah berada di meja kerjanya, punggungnya sedikit membungkuk, bahunya kaku. Ia hanya memberi anggukan singkat tanpa menoleh saat Kirana masuk, seolah telah membangun kembali dinding di antara mereka dalam semalam, kali ini lebih tinggi dan lebih tebal dari sebelumnya.

Keheningan yang biasanya terasa nyaman kini terasa menyesakkan. Kirana duduk di bangkunya, mencoba fokus pada beberapa blotter yang telah disiapkan untuknya. Namun, pikirannya kosong. Kesadarannya sepenuhnya tersita oleh sosok pria di seberang meja. Ia mengamati setiap gerakan Arion, mencoba mencari sisa-sisa keintiman dari hari kemarin, tetapi tidak menemukan apa pun. Arion bergerak seperti sebuah automaton, efisien dan tanpa emosi, seolah kejadian kemarin tidak pernah terjadi.

Untuk memecah kebekuan yang menyiksa, Kirana memaksakan diri untuk bekerja. Ia teringat pada metafora "kehangatan yang ragu-ragu" miliknya. Mungkin ia bisa menyarankannya.

"Bagaimana dengan... sedikit ambrette?" suaranya terdengar ragu, tidak seperti dirinya yang biasa. "Ambrette seed memiliki aspek bedak seperti orris, tapi lebih hangat. Lebih... sensual, seperti aroma kulit manusia."

"Terlalu manis," jawab Arion seketika, tanpa mengangkat kepala dari mikroskop kecil yang sedang ia gunakan untuk mengamati kristal resin. "Akan merusak fondasi batu dan tanahnya. Parfum itu bukan tentang sensualitas."

Jawaban yang dingin dan cepat itu terasa seperti sebuah tamparan halus. Kirana merasakan pipinya memanas. Kemarin, Arion mendengarkan ceritanya tentang neneknya. Hari ini, ia bahkan tidak mau mempertimbangkan idenya. Pria itu menariknya mendekat, hanya untuk mendorongnya menjauh dengan lebih keras.

Merasa ditolak dan sedikit putus asa, Kirana bangkit dari bangkunya. Ia butuh mengalihkan pikirannya. Dengan dalih melakukan "riset", ia memberanikan diri mendekati rak-rak kayu yang menjulang tinggi, perpustakaan aroma milik Arion. Ini adalah wilayah terlarang yang belum pernah ia jelajahi.

Jari-jemarinya menelusuri punggung botol-botol apoteker yang dingin. Ia membaca label-label tulisan tangan yang seperti mantra sihir: Myrrh, Opoponax, Cassie, Tuberose, Oakmoss Absolute. Setiap botol menyimpan sebuah dunia. Ia merasa kecil dan bodoh di hadapan pengetahuan yang begitu luas.

Matanya menjelajah ke rak bagian bawah, ke sudut yang agak gelap dan berdebu, di belakang deretan botol-botol seragam berwarna ambar. Di sanalah ia melihatnya. Sebuah anomali.

Sebuah botol yang tidak seharusnya berada di sana.

Itu bukan botol bahan baku. Itu adalah sebuah botol parfum komersial dari masa lalu. Desainnya klasik, dengan tutup keemasan yang sedikit kusam dan lekuk kaca yang feminin. Label kertasnya sudah agak menguning di bagian tepi, dengan nama merek yang familier namun terasa seperti datang dari era yang berbeda. Botol itu tampak kesepian dan terlupakan, dilapisi selubung debu tipis.

Rasa ingin tahu, insting paling purba dari seorang jurnalis, mengambil alih kendali. Logika menyuruhnya untuk tidak ikut campur, tetapi hatinya bertanya-tanya. Cerita apa yang dimiliki botol ini hingga ia disembunyikan di kuil milik seorang pria yang membenci parfum komersial?

Tanpa berpikir panjang, Kirana berjongkok dan tangannya terulur, meraih botol yang dingin dan berdebu itu. Saat ujung jarinya menyentuh permukaan kaca, sebuah suara memecah keheningan seperti cambuk.

"Jangan sentuh itu."

Suara itu bukan suara Arion yang tenang dan terkendali. Suara itu tajam, serak, dan penuh dengan alarm yang tidak bisa disembunyikan. Kirana terlonjak kaget, jantungnya seolah melompat ke tenggorokan.

Sebelum ia sempat menarik tangannya, Arion sudah berada di sampingnya. Pria itu bergerak dengan kecepatan yang mengejutkan, melintasi ruangan dalam dua langkah panjang yang senyap. Ia berlutut di samping Kirana dan tangannya menyambar botol itu dari genggaman Kirana, kasar dan mendesak.

Dalam sepersekian detik yang mengerikan itu, topeng Arion hancur berkeping-keping.

Wajah yang dilihat Kirana bukanlah wajah seorang perfumer jenius yang dingin, melainkan wajah seorang pria yang sedang melihat hantu. Matanya yang biasanya seteduh hutan kini membelalak ngeri, dipenuhi oleh kilatan amarah yang membara. Namun di bawah amarah itu, Kirana melihat sesuatu yang lain, sesuatu yang jauh lebih menghancurkan: sebuah jurang kesedihan dan rasa kehilangan yang begitu dalam hingga membuat napasnya tercekat.

Arion segera sadar akan keterbukaannya. Dengan susah payah, ia mengendalikan ekspresinya kembali menjadi topeng batu yang dingin. Tapi sudah terlambat. Kirana sudah melihatnya. Keretakan itu terlalu besar untuk ditutupi. Arion memegang botol parfum itu dengan genggaman protektif, buku-buku jarinya memutih.

"Maaf," bisik Kirana, suaranya gemetar. Rasa takut dan rasa bersalah yang mendalam menjalari dirinya. "Saya tidak... saya tidak tahu itu penting."

Arion tidak menatapnya. Matanya terpaku pada botol di tangannya, seolah benda itu adalah sebuah relik suci sekaligus sebuah kutukan yang menyakitkan. "Cukup untuk hari ini," desisnya, suaranya tegang dan tertahan. Itu bukan lagi sebuah saran. Itu adalah sebuah perintah pengusiran.

Dengan perasaan campur aduk antara takut dan syok, Kirana segera bangkit, meraih tasnya, dan berjalan keluar tanpa berani menoleh ke belakang.

Pintu atelier tertutup di belakangnya dengan bunyi 'klik' yang final. Namun kali ini, Kirana tidak merasakan sengatan penolakan. Pikirannya terlalu penuh oleh gambaran wajah Arion yang hancur dan botol parfum tua di tangannya.

Ia akhirnya mengerti. Teka-teki Parfum S jauh lebih dari sekadar menemukan sebuah emosi. Parfum itu adalah sebuah memorial. Awalnya yang dingin seperti badai, dan akhirnya yang hening seperti nisan. Semuanya kini masuk akal.

Dan 'nada hati' yang hilang itu, jembatan yang coba ia bangun, kehangatan yang ragu-ragu itu… bukanlah sebuah emosi abstrak.

Itu adalah detak jantung seseorang. Seseorang yang pernah memiliki botol parfum itu.

Dan Kirana, sang jurnalis yang kini hatinya telah terlalu ikut campur, menyadari bahwa ia baru saja menemukan petunjuk pertama menuju nama hantu yang menghantui sang penyihir aroma.