Pintu yang Terbuka

Waktu seolah berhenti di ambang pintu atelier yang terbuka itu. Udara Jalan Cendana yang hangat dan lembap bertemu dengan udara sejuk dan beraroma kompleks dari dalam, menciptakan sebuah pusaran tak kasat mata di antara Kirana dan Arion. Buku kumpulan puisi usang di tangan Kirana terasa seperti sebuah sauh, satu-satunya hal yang nyata di tengah lautan ketegangan yang membentang di antara mereka.

Wajah Arion adalah sebuah medan perang. Keterkejutan, kebingungan, amarah yang tersisa, dan sesuatu yang paling ditakuti Kirana—kerapuhan—semuanya berperang untuk mendapatkan kendali. Matanya terpaku pada buku itu, lalu beralih ke wajah Kirana, seolah mencoba memecahkan kode bagaimana wanita ini, orang asing yang menerobos masuk ke dalam hidupnya, bisa mengetahui rahasia paling sunyi yang ia simpan di relung hatinya yang terdalam.

"Bagaimana kau…," suara Arion tercekat, serak. Ia tidak bisa menyelesaikan pertanyaannya.

"Aku hanya mendengarkan," jawab Kirana lembut. "Bukan dengan telingaku. Tapi dengan semua yang kau perlihatkan padaku di tempat ini. Parfum itu, keheninganmu… semuanya bercerita."

Keheningan kembali mengambil alih, lebih berat dan lebih sarat makna dari sebelumnya. Kirana sudah mempersiapkan dirinya untuk penolakan final. Untuk pintu yang dibanting, untuk kata-kata kasar yang akan mengusirnya selamanya. Ia telah memberikan jawabannya; ia tidak mengharapkan imbalan apa pun.

Namun, pintu itu tidak dibanting.

Setelah pergulatan batin yang terasa seperti berlangsung selama satu dekade, bahu Arion yang tadinya tegang tampak menurun. Ia menghela napas panjang, sebuah embusan udara yang terdengar seperti kelelahan jiwa yang telah bertahun-tahun dipendam. Ia melangkah mundur dari ambang pintu, gerakannya lambat dan berat.

Ia tidak mengatakan "masuk". Ia tidak perlu. Gesturnya sudah menjadi sebuah undangan—sebuah penyerahan diri.

Dengan jantung yang berdebar kencang, Kirana melangkah melewati ambang pintu, kembali memasuki kuil aroma itu. Kali ini terasa sangat berbeda. Ia bukan lagi seorang jurnalis, bukan seorang murid, bukan pula seorang penyusup. Ia merasa seperti seorang sahabat lama yang datang untuk berkabung.

Arion menutup pintu di belakang mereka, memisahkan mereka dari dunia luar. Ia tidak menyalakan lampu tambahan, membiarkan ruangan itu tetap dalam cahaya temaram yang familier dari lampu gantung di atas meja kerja. Ia berjalan ke arah Kirana, tangannya terulur. Kirana menyerahkan buku puisi itu padanya.

Jari-jemari Arion yang panjang menelusuri sampul kain yang usang itu dengan kelembutan yang menyentuh. Ia tidak membukanya. Ia hanya memegangnya seolah benda itu adalah sebuah relik.

"Duduklah," katanya pelan, menunjuk ke arah kursi kulit tua yang nyaman di sudut ruangan—kursi untuk beristirahat, bukan kursi tinggi untuk bekerja.

Kirana duduk, sementara Arion tetap berdiri, bersandar pada meja kerjanya. Pria itu tampak seperti sebuah bangunan megah yang nyaris runtuh, hanya ditopang oleh pilar-pilar kebanggaan terakhirnya.

"Namanya Larasati Baskara," Arion memulai, suaranya rendah, seolah ia takut mengganggu arwah yang namanya baru saja ia sebut. "Dia adikku. Satu-satunya."

Kirana mendengarkan dalam diam, seluruh tubuh dan jiwanya kini menjadi sebuah telinga raksasa.

"Dia adalah titik pusat duniaku," lanjut Arion. "Aku ada untuk menjaganya. Sejak kecil, dia berbeda. Lebih rapuh, lebih perasa. Dunia luar terlalu bising untuknya. Jadi dia menciptakan dunianya sendiri." Arion tersenyum tipis, senyum pertama yang benar-benar mencapai matanya yang Kirana lihat, meski senyum itu penuh dengan kesedihan. "Dunia itu ada di delapan puluh delapan tuts piano."

"Profesor Damar benar," gumam Arion, mengonfirmasi salah satu sumber Kirana tanpa perlu bertanya. "Aku akan menunggunya selesai les. Aku akan duduk di luar, membaca buku apa saja yang bisa kutemukan." Ia menatap buku di tangannya. "Bukan karena aku suka membaca. Tapi karena suara musiknya… itu satu-satunya hal yang bisa menenangkan keramaian di dalam kepalaku sendiri. Mendengarkannya bermain piano terasa seperti pulang ke rumah."

Pengakuan itu begitu intim, begitu personal, hingga Kirana merasa seperti ikut merasakan kehangatan yang sama.

"Parfum Fleur d'Ombre itu…," Arion berhenti, menelan ludah. "Aku yang membelikannya untuk ulang tahunnya yang ketujuh belas. Itu adalah satu-satunya parfum komersial yang pernah kuhormati. Karena saat aku menciumnya, aku seperti mencium jiwanya. Lembut, melankolis, dan indah."

Ia berjalan ke arah rak dan mengambil botol ambar tak berlabel itu. Botol Parfum S. Ia memegangnya di bawah cahaya lampu.

"Dan ini… ini seharusnya menjadi milikku untuknya. Aku mulai membuatnya saat dia masih ada. Aku ingin memberinya sebuah parfum yang bukan tentang kesedihan. Sesuatu yang lebih cerah, yang beraroma seperti harapan."

Arion membuka tutup botol itu, tidak lagi mencelupkan blotter, hanya membiarkan aromanya menguar pelan. "Tapi kemudian… dia sakit."

Kirana menahan napas. Inilah bagian yang paling gelap.

"Kau mencium nada atasnya," kata Arion, matanya menatap kosong ke dalam botol. "Kau bilang itu dingin seperti badai. Kau hampir benar. Itu bukan badai. Itu adalah aroma pertama yang menyambutku di kamarnya di rumah sakit. Bau antiseptik yang dingin, bau ozon dari mesin-mesin, bau ketakutan yang steril."

Sebuah kengerian menjalari Kirana. Jadi itu arti dari nada atas yang begitu resah.

"Dan nada dasarnya… kau juga benar. Itu adalah aroma pemakamannya. Aroma tanah basah setelah hujan pertama mengguyur pusaranya. Aroma bunga kamboja yang sengaja kupetik dan kuremukkan di tanganku hari itu, agar aku tidak pernah lupa."

Kirana tidak sanggup menahan air matanya lagi. Setetes air mata hangat mengalir di pipinya, sebuah duka untuk seorang gadis yang tak pernah ia kenal dan untuk seorang pria yang hancur di hadapannya.

"Aku tidak pernah bisa menyelesaikan bagian tengahnya," Arion mengaku, suaranya kini pecah. "Jembatan itu. Bagaimana aku bisa menciptakan aroma tentang kehidupan dan harapan, sementara yang ada di kepalaku hanyalah bau rumah sakit dan tanah kuburan? Setiap kali aku mencoba, aku selalu gagal. Aku mencoba memasukkan mawar, melati, semua bunga bahagia… tapi parfum itu menolaknya. Terasa seperti kebohongan."

"Karena kebahagiaan kami bukan seperti itu," bisiknya. "Kebahagiaan kami ada di tempat yang sunyi. Seperti yang kau bilang. Saat aku membaca buku dan dia bermain piano. Saat kami minum teh di beranda tanpa bicara. Kebersamaan yang sunyi."

Ia menatap Kirana, dan untuk pertama kalinya, Arion membiarkan Kirana melihat segalanya. Dinding itu telah runtuh sepenuhnya, memperlihatkan seorang kakak laki-laki yang berduka, seorang seniman yang lumpuh oleh kesedihannya sendiri.

"Aku tidak bisa menangkap aroma itu," akunya. "Aku tidak tahu bagaimana caranya."

Itu adalah sebuah pengakuan kekalahan. Sebuah permohonan bantuan yang tulus. Setelah perjalanan panjang yang penuh dengan penolakan, misteri, dan sakit hati, mereka akhirnya tiba di titik ini. Di sebuah kebenaran yang sunyi.

Kirana menyeka air matanya. Ia tidak menawarkan kata-kata penghiburan yang klise. Ia tidak berkata "semuanya akan baik-baik saja" atau "kau harus kuat". Ia hanya menatap Arion dengan semua empati yang ia miliki dan memberikan satu-satunya hal yang ia bisa.

"Mungkin…," katanya dengan suara lembut namun mantap. "Kita tidak harus menyelesaikannya. Mungkin kita hanya perlu memulainya kembali."

Ia bangkit dari kursinya dan melangkah mendekati Arion yang masih berdiri mematung di dekat meja kerja.

"Bersama-sama."