Niat Nahan Tenaga Malah Bablas

Satu minggu sebelumnya...

Mentari masih malu-malu untuk menampakkan dirinya di ufuk timur. Namun semangat membara para calon murid membuat Pegunungan Hongtie bersinar lebih terang daripada cahaya matahari.

Di tengah kerumunan manusia yang padat, Bima berdiri kaku sambil melipat tangan di dada. Udara terasa begitu sesak seolah-olah udara menolak masuk ke pegunungan itu.

“Bahkan udara dingin musim gugur ini nggak terasa di kulit karena saking padatnya manusia,” gumam Bima kesal.

“Hey,” bisik Ted, sahabatnya dari desa, “kayaknya aku paham sekarang kenapa orang tua kita nyuruh kita pergi sebelum tengah malam…”

Bima mendengus. “Ternyata sesaknya di desa kumuh lebih mending daripada di sini.”

Ted mengangkat bahu. “Ayahku bilang akademi Gunung Hongtie ini akademi biasa saja—bukan elit. Tapi ternyata ini lebih parah dari pasar malam.”

“Halah, kenyataannya begini. Bahkan hawa dingin aja nggak terasa.” Bima mendesah panjang.

“Yah, mau bagaimana lagi? Kita sudah jauh-jauh datang ke sini. Nggak mungkin juga balik sekarang.” Ted ikut mendesah.

Lima jam kemudian.

Akhirnya, Bima berada di barisan paling depan.

“Selanjutnya!” teriak seorang guru penjaga dari balik meja.

Bima melangkah maju.

"Siapa namamu?" Tanya sang guru sibuk membimbing pena diatas kertas

"Bima Delbara" jawab Bima

“Biaya masuk 10 gold,” ucap sang guru tanpa menatap.

“Cih! Mahal banget. Bahkan itu cukup buat beli setengah sawah di desa,” gerutu Bima pelan.

Guru itu menatapnya tajam. “Kalau tidak sanggup bayar, silakan pulang.”

Dengan berat hati, Bima mengeluarkan sekantung koin emas. “Nih!”

“Silakan masuk,” ujar guru itu dingin.

Begitu masuk gerbang luar akademi, mata Bima langsung tertuju pada batu lazuli raksasa yang berdiri tegak di tengah lapangan. Namun fokusnya segera teralihkan saat seorang wanita— yang terlihat seumuran ibunya menghampirinya.

“Selamat datang. Aku Lusi, guru penguji calon murid baru,” sambutnya ramah.

“Baru masuk langsung diuji?” tanya Bima heran. “Bukannya biasanya belajar dulu, baru diuji?”

Lusi tertawa kecil. “Lucu juga kamu. Tapi tenang, ujiannya mudah kok. Kamu hanya perlu memberikan goresan kecil pada batu ini.” Ia menepuk batu lazuli itu pelan. “Kesempatanmu hanya tiga kali.”

“Caranya?”

“Terserah kamu. Mau ditinju, ditendang, digigit, bahkan dikunyah pun boleh,” jawab Lusi sambil menyeringai. “Asal ada bekas walau hanya sebiji salak.”

“Baiklah, akan aku coba.”

Bima berjalan mendekati batu dan memasang kuda-kuda seperti yang pernah diajarkan ayahnya.

Ia menarik napas dalam-dalam. “Aku bisa menahan tenagaku. Aku bisa nahan...”

Plak!

Ia memukul batu dengan ringan.

Lusi mendesah. “Kalau kamu memukulnya pelan begitu, jangankan batu, bayi pun nggak bakal jatuh.”

“Sekarang, kesempatanmu tingg—”

Krk…

Suara retakan terdengar. Lusi langsung menoleh.

Retakan itu merambat dari titik yang tadi dipukul Bima, kini menjalar ke seluruh permukaan batu.

Prak!

Batu lazuli raksasa pecah menjadi kepingan-kepingan besar.

Bima menatap tangannya sendiri. “Bangsat… padahal udah kutahan sekuat tenaga…”

Lusi terpaku beberapa saat. Lalu ia menoleh cepat ke arah Bima, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

“A-Apa yang kamu lakukan? Bagaimana bisa… begini?” katanya terbata-bata.

“A-aku cuma ikut perintah,” kata Bima berusaha tenang. “A-aku juga nggak nyangka bakal kayak gini… haha.” Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal.

Lusi memijit pelipisnya. “Silakan lanjut ke gerbang sebelah kanan,” katanya dengan nada formal.

“Baik, terima kasih.” Bima langsung mengambil langkah seribu meninggalkan Lusi yang terlihat pusing.

Karena kejadian itu, pengujian ditunda. Batu lazuli diganti dengan batu hematit—sehingga ujiannya diganti menjadi mendorong batu hematit sejauh 3 meter.

“Untung aja Ted udah masuk duluan,” gumam Bima.

Tepat di depan gerbang dalam, Bima dihentikan oleh seorang guru yang melompat turun dari atas tembok.

“Tunggu, anak muda. Ini untukmu,” katanya sambil menyodorkan secarik kertas.

Bima membaca kertas itu— disana tertulis ada tiga jurusan tersedia—beladiri, pedang, dan sihir.

“Apa aku boleh ambil jurusan pedang dan sihir sekaligus?” tanya Bima polos.

Guru itu mendelik. “Kamu ini serakah sekali. Pilih salah satu! Lagipula, sihir itu butuh media—seperti tongkat atau sayap peri. Pedang? jelas bukan salah satunya!”

“ masa tidak boleh?”

"Cepat pilih satu!" Bentak guru itu

“Ka-kalau gitu, aku pilih jurusan pedang.” ucap Bima tergopoh-gopoh

Guru itu menyeringai puas. “Pilihan bagus. Masuk lah kedalam gerbang, lalu Ikuti jalan ke kanan. Di ujung sana ada gedung dengan simbol pedang di atas pintunya. Sekarang, jalan!”

“Ya ya, aku jalan…”

“galak amat...” gerutu Bima

Bima mengikuti arah yang diberikan. Di ujung jalan, ia melihat gedung aula besar dengan simbol pedang di atasnya.

“BIMAAA!” teriak seseorang sambil menunjuk-nunjuk dari kejauhan.

Bima mengerutkan kening. “Ted?”

“Aku tahu banget kamu bakal ambil jurusan pedang!” Ted menyeringai lebar.

“Serius deh, kita ini kayak jodoh.”

“Apa-apaan kamu, geli!” Bima mendorong Ted. “Kamu itu cowok!”

Ted ngakak. “Udah, ayo kita masuk! Kita telat!”

Mereka masuk ke dalam aula bersama. Gedung itu luar biasa luas. Lampu-lampu kristal menggantung di atas—tampak mewah.

“Kalau lampu ini kita jual, bisa beli apa ya?” bisik Bima.

“Kamu ini mata duitan banget. Lagian, kita baru masuk! Jangan mikir nyolong!” balas Ted.

Tiba-tiba, seorang pria besar berotot naik ke panggung.

“Berbaris,” ucapnya pelan, tapi suaranya menggema ke seluruh aula.

Bima terkejut “Eh… itu sihir pengeras suara?” Bima membatin. “Apa dia penganut Dewi Bunyi?”

Pria itu melanjutkan, “Aku Leonard, ketua pengajar jurusan pedang.”

Ia menjelaskan bahwa akademi memiliki banyak gedung. Gedung arena berada di tengah, masing-masing jurusan memiliki 3 gedung yang mengelilingi gedung arena. Di bagian selatan adalah gedung guru dan dewan. Di utara adalah gedung penelitian dan kesehatan. Di barat adalah aula dan kantin. Di timur, sembilan gedung untuk asrama. 4 asrama wanita, 4 asrama pria dan 1 asrama guru yang ada di gedung asrama ke-9.

“Dan dengarkan ini baik-baik!” Leonard menatap tajam. “Status sosial, kekayaan, dan kehormatan kalian di luar—semuanya tak berlaku di sini. Di sini, semua sama rata. Jadi, jangan sombong kalau kalian belum keluar dari akademi ini."

Tiba-tiba…

Sring!

Lingkaran sihir muncul di lantai. Semua murid langsung dipindahkan ke gedung arena.

“Cih, minimal tunggu aku selesai ngomong dulu…” gerutu Leonard.

Gedung arena itu tiga kali lebih luas dari aula sebelumnya.

“Selamat datang, para murid baru!” suara menggema dari atas podium timur.

Seorang pria berjubah berdiri di sana. “Aku Tora Yerno, kepala akademi Hongtie.”

“Selamat atas diterimanya kalian! Tahun ini sungguh sangat luar biasa. Muridnya lebih banyak dari biasanya!”

Ia tersenyum hangat. “Aku tak akan berbicara panjang. Tapi ingatlah, ukirlah namamu setinggi langit!

“Di akademi ini, belajar adalah tangga untuk masa depanmu. Gagal di sini bukan berarti gagal dalam hidup. Tapi jika kalian bersungguh-sungguh, dunia akan terbuka untuk kalian!”

“Setelah ini selesai, kalian ikutilah para guru yang ada di depan kalian menuju kelas masing-masing!”

“SEMANGAT!!” Teriaknya keras sekali.

“Telingaku rasanya mau pecah…” Ted mengeluh.

“Kupingku sampai getar semua,” kata Bima sambil mengusap telinganya.

Para guru membimbing murid ke kelas. Bima dan Ted ditempatkan di gedung 3, kelas yang sama.

“Kita selalu bersama, tak terpisahkan, apa kita jodoh?” goda Ted.

“Berhenti membual, dasar bangsat,” sahut Bima kesal.

Beberapa saat kemudian, seorang guru yang terlihat culun memasuki kelas.

“Tolong diam…”

Tapi murid-murid tetap ribut.

Brak!

Meja dipukul keras. Puluhan pedang aura melayang di depan leher tiap murid.

“Bagus. Sekarang tenang,” ucapnya puas.

“Aku Sooji, wali kelas kalian.”

Meski tampak culun, Sooji adalah guru terkuat kedua di jurusan pedang. Tatapan matanya tajam di balik kacamatanya.

“Satu per satu, perkenalkan diri kalian ke depan…”

Beberapa jam kemudian

kelas berakhir dan pembagian asrama selesai.

Bima ditempatkan di asrama gedung 5, sedangkan Ted di asrama 8.

Saat membuka pintu, Bima tertegun. Kamarnya luas, dengan empat ranjang dan lemari besar.

“Aku jadi ingat masa lalu…” gumam Bima, tersenyum.

“Hey, kamu ngapain bengong?” seseorang tiba-tiba menepuk pundak Bima.

Bima refleks menoleh, lalu hampir mengayunkan tangan untuk menyerang—namun ia menghentikannya tepat satu sentimeter dari leher orang itu.

Bersambung...