Malam mulai larut. Kunang-kunang menghiasi angkasa luar jendela, namun mata Bima justru berkunang-kunang akibat efek sihir yang ia gunakan melewati batas tubuhnya.
"Gila, padahal dulu aku bisa membuat gunung-gunung beterbangan cuma pakai jentikan jari..." gerutunya terengah-engah, "tapi sekarang? Sihir kecil begini aja bikin tepar begini— raga manusia memang lemah."
Ia terkulai lemas setengah jam lebih, duduk saja rasanya bagai mengangkat gunung.
Namun di tengah keheningan itu, suara pintu dibuka kasar mengagetkannya.
Yuda kembali. Nafasnya tersengal-sengal, wajahnya pucat pasi, tubuhnya penuh tanah dan luka lecet di lutut serta sikunya. Ia tampak ketakutan seperti habis melihat neraka didepan matanya.
"Yuda? Kamu ke mana aja?" tanya Bima dengan sisa tenaga.
"Urus aja urusanmu sendiri. Aku capek," jawab Yuda ketus. Ia menutup pintu, lalu langsung membungkus dirinya di balik selimut.
"Tunggu, kamu kena—"
"Jangan peduliin aku! Tidur sana!"
Bima terdiam. Banyak pertanyaan menari di benaknya. Apa Yuda terlibat dengan agama Zenith? Atau malah korban mereka?
Tapi ia tahu, memaksa hanya akan menutup semua kemungkinan. Ia hanya bisa menatap langit-langit yang kosong, lalu memejamkan mata. Perlahan, ia pun tertidur ditengah tarian pertanyaan yang ada di otaknya.
Pagi menyapa. Ayam bersuara dengan nyaring dari luar asrama.
Bima bangun agak telat. Beruntungnya, kini kelas pagi di jurusan pedang sedang kosong. Ia menatap kearah jam dinding yang sedang menggulirkan jarum yang ada didalamnya.
Dibenaknya terbesit keinginan untuk menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi, tapi...
"Sial, bukit itu diluar wilayah akademi," gumamnya. "Kalau nekat, bisa-bisa aku langsung dikeluarkan." Bima menggigit jarinya
"Gimana ya cara menyelidikinya?" tanya Bima pada dirinya sendiri
Tak lama kemudian.
Tok! Tok!
"Hey, kebo! Bangun! Mumpung kelas kosong, kita lanjut jadi arsitek kerja rodi!" seru Ted dari balik pintu.
"Iya, tunggu!" teriak Bima lalu bergegas menuju kamar mandi.
Bima hanya mencuci muka lalu mengganti bajunya dengan seragam akademi, kemudian Bima menyusul Ted.
"Sarapan dulu, nggak?" tanya Ted
"Nggak. Aku masih enek gara-gara mimpi buruk semalam"
"Mimpi buruk? Kamu? Mustahil banget!" Ted tak percaya
"Serius, bajingan." Bima melempar kuas ke arah Ted.
Ted menangkap kuas itu "haha, santai aja, Bim. Aku bercanda, tahu!"
Mereka kembali ke arena dan mulai bekerja. Bima memecahkan telur kedalam mangkuk yang biasa mereka pakai untuk mengelem batu-batu keras.
"Nih, sekarang giliran kamu yang misahin telurnya— kemarin udah aku ajarkan, kalau masih bilang nggak bisa juga—aku dadar kamu sama telur ini sekalian" ucap Bima memberikan semangkuk penuh telur yang ia pecahkan tadi.
Ted mendorong pelan tangan Bima "nggak mau, aku nggak bisa!"
"Ck, ini!" paksa Bima terus memberikan semangkuk telur
"Aku bilang nggak mau, ya nggak!" Ted mendorong keras tangan Bima.
Tapi, karena Ted terlalu keras mendorong tangan Bima yang membawa mangkuk telur, dan—
Byur!
Putih telur muncrat mengenai selangkangan Bima.
"Eh, bangke! Lengket, tahu! Nasib burungku bakal nempel di celana, nih!" Bima menyeka celananya dengan tangan
Ted terbahak. "Biar sekalian lengket seumur hidup!"
Bima yang kesal malah mengoleskan telur yang memenuhi tangannya ke selangkangan Ted.
Kini, dimulailah perang putih telur yang konyol dan sengit. Sampai akhirnya—
"HEI! HEY! telur itu mahal tahu?!"
Sooji muncul entah dari mana, tampak frustasi.
"Maaf, maaf..." Ucap keduanya tertunduk merasa bersalah
"Ambil telur sendiri di kantin sana!" Sooji memijat pelipisnya
Keduanya langsung kabur dengan senyum malu.
Setelah kembali— mereka langsung mengerjakan proyek yang sedang mereka jalankan.
Karena lelah, tak sengaja Ted bersandar di dinding yang baru mereka rekatkan. Saat hendak bangkit...
"Bim... tolong aku... nempel, nih..." Ted berusaha melepaskan genggaman putih telur dari celananya.
Bima tak bisa menahan tawa. Ted benar-benar menyatu dengan tembok.
"Lepas celanamu, bodoh!"
"Aku cuma pakai daleman— Malu, lah!"
"Itu sih derita kamu, haha!"
Karena daya rekatnya terlalu kuat, mau tak mau Ted harus merelakan celananya— kemudian ia merobek celananya itu. Celana dalam biru dengan motif polkadotnya kini terpampang ke seluruh dunia.
"Astaga... Ted si sempak polkadot! Hahahaha!" tawa Bima pecah
"Jangan sebut itu keras-keras, sialan!"
Siang mulai terik. Ted pamit sebentar untuk mengganti celana, tapi...
"Sebentar— kamu nyerah, ya?"
"Nggak nyerah, ini demi harga diriku sebagai lelaki! Aku balik lagi nanti!"
"Alah, alasan~"
"Hey, aku bukannya beralasan, angin menembus pantatku— tahu..." Ted berusaha menutupi sobekan di celananya "aku nggak mau masuk angin gara-gara anginnya masuk lewat belakang"
Ted kabur tertatih, sambil ia berusaha menutupi celananya yang sobek.
Sementara Bima menatap batu-batu keras dengan seksama.
Ketika Ted tak ada, Bima menggunakan sulurnya diam-diam. Sulur mulai keluar dari dalam tanah, sulur itu mempercepat penempelan batu. Ia selalu waspada, pandangannya terus mengawasi sekitar— sedangkan sulurnya sibuk menempelkan batu ke dinding.
Namun tanpa ia sadari, ternyata kepala Akademi memperhatikan dari artefak vision.
"Sudah kuduga itu bukan ilusi— kini ia menggunakan sulurnya lagi... dan kali ini lebih halus namun tepat... bahkan aku sendiri belum bisa sepresisi itu..." Tora mengetuk meja. "Siapa dia sebenarnya...?"
Sore menjelang. Bima dan Ted menghentikan kegiatan mereka, dan Bima memberikan usulan untuk menyisakan beberapa batu yang masih belum terpasang di tanah.
"Batu-batu tinggal sedikit, kita bisa sedikit santai agar tidak terlalu cepat selesainya," bisik Bima
"Kalo aku sih maunya cepat," Ted mendorong wajah Bima yang hampir mencaplok telinganya. "lebih baik selesai dengan cepat daripada dilama-lama-in,"
"Yakin? Yaudah kalo begitu maumu, sampai jumpa besok~" Bima melambaikan tangan lalu pergi meninggalkan Ted seorang diri.
Ted mengejar Bima, "hey, tunggu..."
"Kenapa kamu mengejarku? Katanya mau cepat selesai?"
"Lebih baik mengerjakannya berdua daripada sendiri, jadi kita lanjut besok."
Ted dan Bima kembali ke asrama.
Keesokan harinya, di jam istirahat.
Bima dan Ted hampir menyelesaikan pekerjaan mereka, namun mereka menemukan sebuah kendala.
Ted menolak pinggang "batu ini nakal banget, sih. Padahal tinggal ikutan nempel sama batu lain aja kayaknya susuah banget!" Gerutu Ted
"Nggak tau, nih. Perasaan tadi lancar-lancar aja— kenapa sekarang begini?" Bima ikut menolak pinggangnya
"Mungkin... aku tempel pakai bokong lagi aja, ya? Siapa tahu berhasil lagi..." usul Ted.
Bima terjungkal saking ngakaknya. "Perutku sakit! Astaga Ted, kamu tuh cocok kalo dapat julukan Arsitek Pantat, sumpah! Hahahaha!"
"Hahaha! Ted si Arsitek pantat! Keren juga kan?!"
"Bwahahaha!"
Sudah beberapa kali ia mencobanya— mulai dari menahan batu itu dengan kuat, atau ditekan dengan paksa, sampai ide gila Ted pun ia lancarkan— yaitu menempelkan bokongnya ke batu agar batu itu tidak lompat lagi.
Usaha yang Ted lakukan semuanya Nihil, kemudian ia pasrah. Sangking kesalnya, Ted menyerahkannya pada Bima. "Aku nyerah, bener aku nggak bisa— kamu aja nih" Ted memberikan batu itu ke Bima "kamu sulap lah seperti apapun itu, aku sudah pusing..." Ted merebahkan badan diatas rumput lalu tertidur.
"Dasar bodoh, masa nempelin batu ini aja nggak bisa?" Ucap Bima
Bima mencoba dengan berbagai cara, sampai-sampai ia mendorong batu itu dengan doa.
Awalnya memang berhasil... Tapi setelah Bima membalikkan badan, batu itu keluar lagi dari tempat ditempelnya tadi.
Karena kesal, ia mengganti batu keras itu drengan batu biasa yang ukuran dan warnanya tampak sama.
Kemudian ia mengambil batu yang tadi menculat ketika ditempel, ia mencoba di
Akhirnya memperbaiki tembok yang bolong telah selesai.
Dimalam hari, Tora mendatangi arena sendirian. Ia menelusuri bagian-bagian tembok.
Tangannya menyentuh batu yang terakhir menempel "apa batunya kurang?" Batin Tora. "sampai-sampai mereka menggunakan batu biasa seperti ini..."
Seketika, ia mengeluarkan artefak yang seukuran dengan kompas. Itu adalah artefak pendeteksi mana. Yang mana alat itu akan mengetahui jejak sihir.
Tora menggunakan artefak tersebut, perlahan-lahan benang merah keluar dari artefak, benang merah itu langsung cepat menelusuri batu dan langsung menunjukkan hasilnya.
"Tak semua batu diangkat, dengan sulur. Sisanya ia menggunakan tangan dan tenaganya sendiri— sungguh gigih" puji Tora dalam senyuman tipis.
Tora menatap langit malam.
"Aku harus mencari tahu siapa sebenarnya dia."
Pagi berikutnya.
Semua murid tahun pertama dikumpulkan di arena, karena pagi itu ada pengumuman untuk berkumpul di arena.
Tora naik ke podium dengan jubah sutra putih dan wajah setajam pedang.
"Kalian pasti bertanya-tanya kenapa hari ini kalian berkumpul disini, kan? Maka dengarkan baik-baik."
"UJIAN PERTAMA AKAN DIMULAI SATU MINGGU LAGI!"
Semua murid langsung menutup telinga.
"Ujian akan dilakukan secara berkelompok. Jika kalian gagal, kalian akan dikeluarkan dari akademi."
Arena seketika riuh, wajah-wajah murid tampak cemas.
"Tenang, kalian yang gagal akan dipindahkan ke pasukan tingkat bawah. Tapi jika kemampuan kalian kurang, kalian akan tetap menjadi manusia biasa tanpa ada jabatan apapun" ucap Tora menyeringai
"Dan bagi kalian yang lolos dari ujian pertama, kalian akan mendapatkan makanan gratis ketika jam makan," Lanjutnya
"Baiklah, aku akan membagi kalian dalam beberapa kelompok." Tora mengangkat tangannya.
Dengan satu kibasan tangannya, lingkaran sihir raksasa muncul dan bersinar dibawah kaki para murid. Dentuman halus menggema dipenjuru arena.
Seketika murid-murid itu sudah terbagi menjadi beberapa kelompok. Satu kelompok terdiri dari lima orang.
Bima sekelompok dengan Ted, Yuda, serta dua orang lainnya yaitu dua wanita dari jurusan sihir dan bela diri.
"Mulai sekarang, mereka adalah rekan ujian kalian. Akrabkan lah diri kalian dan manfaatkan waktu seminggu ini untuk berlatih."
Tora turun dari podium. Suasana arena masih ramai oleh suara bisik-bisik dan tanda tanya besar. ujian seperti apa yang akan mereka hadapi...?
Bersambung...