Bab 2. Bencana ditengah krisis

Mentari tepat berada di atas kepala. Hawa musim gugur masih terasa—walau sinar sang mentari membawa kehangatan bagi dunia. Begitu pula obrolan Bima dan kawan-kawan.

Mereka menaiki kereta kuda atau yang sering disebut dengan Delman. Dengan kedua Othari yang menarik Delman itu.

Othari adalah seekor kuda dengan kepala burung hantu—tanpa sayap. Nama aslinya adalah Otharion Equilugra, biasa disingkat menjadi Othari. Kecepatannya dua kali lipat cheetah, dan kekuatannya setara sepuluh ekor gajah.

Tawa-canda masih terlontar dari mulut mereka, obrolan hangat dan menyenangkan pun masih terdengar ditelinga. Tapi semua itu mulai pudar ketika mereka mulai mendekati desa...

"Kenapa tiba-tiba hawanya beda, ya?" celoteh Giagi, menengok ke luar jendela.

"Eh? Aku kira cuma aku yang ngerasain." sahut Ted.

Delman pun berhenti, Jarji menengok kearah belakang. "Nah, kita sudah sampai. Ayo turun." ucap Jarji, sambil melompat dari delman.

Bima dan yang lainnya turun. Tapi mereka langsung terpaku melihat pemandangan Desa Cabala—seperti desa yang telah lama ditelantarkan.

Udara pengap memeras paru-paru, bau darah seakan menempel di hidung, dan atmosfer mencekam mencengkeram jantung. Hampir semua memuntahkan isi perutnya—kecuali Litzie dan Bima.

"Gila... makananku keluar semua tanpa sisa... Hoek!" Ted muntah lagi.

"Bau ini bahkan lebih kejam dari kentutnya Ted." celoteh Juno.

"Benar, bahkan lebih bau dari tai-mu." balas Juna.

"Sudah! Ujian dimulai. Silakan masuk." kata Jarji mendorong Bima ke depan dengan kasar.

"Lalu bapak bagaimana?" tanya Bima, menatap tajam kearah Jarji.

"Aku akan pergi meninggalkan kalian," ketus Jarji sambil melipat tangannya di dada. "Aku akan kembali tiga hari lagi, Kalau sampai kalian nggak muncul, akademi akan menganggap kalian hilang disini. Jadi, bertahan hidup lah disini. Jika kalian gagal, kemungkinan besarnya kalian menjadi pupuk di kebun kematian desa ini." Jarji menyeringai.

"Pak! Nggak bisa gitu, dong! Bapak kan pengawas kita—kenapa malah kabur dan lepas tangan?!" tanya Bima penuh emosi.

"Apa urusanmu denganku? Emangnya kamu kepala akademi yang bisa nyuruh-nyuruh guru, hah?!" Jarji membentak. "Lagi pula, siapa yang suruh kalian ambil misi tingkat C?! Bahkan kami para guru pun enggan nyentuh misi itu kalau sudah tertempel di dinding. Jadi... terimalah resikomu."

Jarji naik keatas delman, ia pergi meninggalkan Bima sambil menyeringai. Dengan sekejap mata, Jarji menghilang ditelan kabut yang menyelimuti sekitaran desa Cabala.

"Apa-apaan guru itu?! Dia lepas tangan soal kita?" Litzie melemparkan senyuman kirinya.

"Sudahlah... Ayo masuk..." Bima memimpin jalan.

"Tunggu... Perutku masih terombang-ambing, aku masih mau... Hoek!" Ted muntah untuk ketiga kalinya.

Giagi menutup hidungnya. "Apa aku harus terus nahan napas biar nggak kecium terus bau darah ini?!"

Liezie menengok kearah belakang, ia menatap Giagi sambil menyipitkan mata. "Kalau kamu mau mati muda, silahkan." ketus Litzie.

Mereka berjalan sedikit jauh dari tempat mereka turun tadi.

Singkat cerita, ketika merrka berdiri di depan gerbang, mereka merasakan ada sesuatu yang memperhatikan mereka—dari balik reruntuhan rumah, pagar, bahkan dari balik pohon.

Mata merah menyala mengikuti langkah mereka. Tiba-tiba...

Auuu!

Lolongan yang entah dari mana itu— memanggil ratusan Death Hound dari segala arah mengepung Bima dan teman-temannya.

Ted menghunuskan pedang sambil bergetar sekujur tubuhnya. "Gi-gila... Ini yang namanya seratus?!"

"Sudahlah, jangan banyak ngeluh!" Juno menghentakkan kaki. "Penguatan fisik!" Kulit Juno berubah hijau.

Juna menggulung tubuhnya yang besar menjadi sebuah bola raksasa. "Bola meriam!" ia meluncur—menghantam barisan depan hingga belakang Death Hound lalu mengitarinya.

Bima dan Giagi pun ikut menghunus pedang mereka. Indri mulai memegangi tongkatnya lalu merapal sebuah mantra sihir. Yuda melesat cepat, menciptakan pedang dari es dan menyerang membabi buta.

Jinna menjaga belakang, melindungi Indri dan Litzie.

"Kulit Golem Batu!" seru Litzie, menguatkan Juno dan Juna.

"Terima kasih!" sahut mereka.

Entah berapa lama mereka bergantung, pada akhirnya satu per satu dari mereka tumbang karena kelelahan.

Ted menjatuhkan diri ke tanah. "Gila... nggak ada abisnya... Katanya seratus, ini sih ribuan."

Giagi ikut menjatuhkan diri di sebelah Ted. "Aku benar-benar nggak kuat lagi!"

Juno menengok kearah Ted dan Giagi yang sedang duduk ditanah. "Ayo bangun, bodoh! Yang lelah bukan kalian do—"

Duagh!

Seekor Death Hound menghantam Juno dengan keras menggunakan kepala. Tubuhnya terpental dan jatuh pas di atas Ted.

"Gila... Aku dapat... Rezeki... Nomplok..." Ted pingsan.

"Yah, gepeng tuh..." kata Giagi menunjuk Ted.

Sihir Indri akhirnya rampung. Tapi tubuhnya tak kuat menahan efek balik dari penggunaan sihir itu.

Brugh!

Ia jatuh pingsan.

Di langit, tiba-tiba muncul sebuah lingkaran sihir yang besar— Itu adalah sihir milik Indri. Namun sangat terlihat jelas, lingkaran itu perlahan menyambung dan membuat sebuah huruf-huruf rune yang rumit.

Entah ratusan atau ribuan Death Hound yang mereka kalahkan. Tapi perlahan namun pasti— langit mulai termakan oleh kegelapan, pandangan mereka semua menyempit dan sangat sulit untuk melihat keberbagai arah.

Tiba-tiba...

Krrrk... Krrrk...

Sebuah retakan muncul di hadapan Bima, seakan membelah ruang dan dimensi.

"MUNDUR!" Bima menggendong Indri yang sedang pingsan lalu melesat menjauh dari retakan tadi.

Mereka semua mengangguk lalu melesat menjauh dari arah retakan itu. Hanya dengan beberapa detik, retakan itu menjalar hingga hampir menyentuh cakrawala.

DUAS!

Sebuah portal berwarna hitam ke-ungu-an terbuka, memancarkan hawa neraka yang menusuk dan menyayat jantung.

GRRRR...

Dari balik portal, terdengar raungan berat bercampur dengan jeritan—seperti seribu suara yang dikunyah hidup-hidup.

Sejurus kemudian, sebuah kaki raksasa melangkah keluar portal.

Seketika... Udara mulai membeku, angin-angin yang biasa berhembus pun enggan melewati kulit mereka.

Seekor anjing raksasa berkepala tiga muncul dari balik portal itu, dengan tubuh sangat besar serta bulu hitam yang melindungi dirinya pun terlihat mengkilap. Ia berdiri dengan gagah, tingginya kemungkinan lebih dari 10 meter.

Semua orang terpaku, kecuali Bima dan Litzie.

"...Mati lah kita..." Ted berbisik... dan pipis di celana.

Cerberus mulai mengangkat kakinya, perlahan menghampiri mereka dengan hembusan napas yang terasa panas bagaikan api neraka yang keluar melewati hidungnya

Bersambung...