Udara pagi di luar tembok terasa lebih berat dari dalam kota. Kabut tipis menggantung di antara reruntuhan jalan raya, menyelimuti tanah yang dipenuhi retakan dan sisa-sisa logam tua. Udara membawa bau tanah lembap, karat, dan jejak aneh yang sulit dijelaskan — seakan dunia di luar tembok punya napas sendiri.
Langkah tiga orang menggema pelan di jalan berlapis pecahan aspal. Rodrigo berjalan paling depan, sesekali menoleh ke belakang dengan senyum tipis. Nampak seperti ia sering keluar dari tembok sejak lama.
“Tenang saja, Evan. Tidak ada sejarahnya orang yang mati saat mengerjakan misi di daerah ini,” katanya, bernada ringan.
Di belakangnya, Evan melangkah hati-hati, tas kulit usangnya di bahu, satu tangan menahan tali pengikat Raincatch di kepala. Meski cuaca cukup cerah, kebiasaan tetap membuatnya mengenakan pelindung itu. Kaki kirinya sempat terpeleset sedikit di atas pecahan logam.
“Aku tidak khawatir... aku cuma... waspada,” jawab Evan setengah berbisik, membuat Rodrigo terkekeh.
Di samping Evan, sosok tinggi berjaket gelap berjalan tanpa suara: Kellen. Wajahnya tersembunyi di balik Raincatch yang kusam, langkahnya mantap, mata sesekali meneliti jalanan di sekitar. Tak banyak bicara, tapi jelas berpengalaman.
Jalanan menuju reruntuhan timur kota Dominia bukan jalur yang nyaman. Dulu, kawasan ini merupakan zona industri padat. Kini hanya deretan bangunan miring, dinding beton penuh retakan, pipa-pipa raksasa menjulur seperti tulang belulang kota mati.
Di beberapa sudut, tumpukan kendaraan tua berkarat setengah tertelan semak liar. Sesekali, suara dentingan besi jatuh terdengar entah dari mana — seperti dunia lama masih berusaha bergerak, walau sia-sia.
Evan sesekali melirik bangunan yang mereka lewati. Ada bekas mural warna-warni yang pudar, nyaris tak terbaca. Lambang-lambang perusahaan lama, nama yang kini tak berarti. Ia merasakan sensasi aneh... antara kagum dan ngeri.
Rodrigo seolah membaca pikirannya. “Jangan terlalu dipikir, Evan. Tempat ini hanya... kulit tua yang tak bisa dilepas.”
Kellen melambat. Tangannya terangkat singkat, memberi isyarat. Mereka bertiga berhenti di sebuah jalan yang melebar — di hadapan mereka, bangunan besar setengah runtuh berdiri. Plakat di atas pintunya sudah hilang, hanya rangka logam yang tersisa.
"Kita sudah tiba."
“Inilah gedungnya,” gumam Rodrigo. Evan merogoh kantongnya , mengeluarkan potongan kunci elektronik usang yang diberi Paman Gallo.
“Gallo bilang, ini dulu pusat distribusi energi kecil. Ada barang yang klien cari di dalam.” Ia menunjuk pintu utama yang terkunci rapat.
Kellen berjalan mendekat. Tangannya menyentuh permukaan pintu: baja tebal, bekas las terlihat di tepiannya. Ia menoleh. “Kuncinya?”
Evan menyerahkan. Dengan sedikit keraguan, Kellen mencocokkan kunci elektronik pada panel rusak di sisi pintu. Bunyi klik kecil terdengar — lalu... tak ada.
Rodrigo cemberut. “Bangunan ini sudah terlalu lama ditinggalkan. Panelnya mati.”
Evan melihat sekelilingnya, memeriksa celah-celah pintu. “Mungkin ada jalur lain. Tidak mungkin ini satu-satunya akses.”
Kellen mengangguk singkat setuju dengan pemikiran Evan, ia kemudian mulai bergerak di sepanjang dinding bangunan. Rodrigo dan Evan mengikutinya.
Di sisi utara bangunan, di balik tumpukan puing, mereka menemukan celah besar di dinding beton — seolah ledakan lama pernah merobek sebagian tembok. Lubang itu cukup besar untuk dilewati, meski banyak reruntuhan berserakan.
Kellen menunduk, memeriksa jejak. Ia tak berkata apa-apa, hanya mengangguk dan bergerak masuk lebih dulu, senjata di tangan. Rodrigo menoleh pada Evan. “Ayo, jaga langkahmu.”
Evan menelan ludah pelan, mengencangkan tasnya, lalu mengikuti Rodrigo masuk.
Di dalam lubang dinding, udara terasa lebih pengap. Bau debu tua, karat, dan sesuatu yang basi menggantung di udara.
Senter yang dipasang di Raincatch Rodrigo menyapu ruangan. Balok-balok beton pecah berserakan di lantai, kabel-kabel tua menjuntai dari langit-langit. Dinding dalam gedung ditutupi lapisan jamur keabu-abuan.
“Wah… suasananya… nyaman sekali,” gumam Rodrigo, nada bercanda.
Evan berusaha tertawa kecil, tapi tenggorokannya terasa kering. Langkahnya pelan, sepatu tuanya sesekali menginjak puing yang rapuh.
Kellen tetap di depan. Gerakannya tenang, senjata siap, matanya selalu waspada. Ia berhenti sejenak, memberi isyarat dengan tangan agar mereka tetap dekat.
Bagian dalam bangunan ini tampaknya dulu merupakan ruang pemrosesan. Ada rel tua di lantai, bekas jalur pengangkut barang. Dinding penuh panel-panel logam yang mati. Di beberapa sudut, pecahan kaca berserakan.
Rodrigo menoleh, masih berusaha mencairkan suasana. “Kalau ini semua masih ada yang digunakan, kau pasti senang. Lihat, mainan tua semua.”
Evan mencoba tersenyum, meski perutnya terasa agak kencang. Ia mengeluarkan alat kecil — pemindai frekuensi miliknya— dan mengaktifkannya. Layar mungil berkedip-kedip pelan.
“Tidak ada sinyal aktif… semuanya sudah mati,” bisiknya. Lebih untuk dirinya sendiri.
Mereka bergerak lebih dalam. Lorong sempit di sebelah kanan tampak lebih utuh. Kellen memeriksa jejak di lantai, lalu melangkah duluan. Rodrigo menyusul. Evan menghela napas panjang, lalu bergerak.
Di tengah lorong itu, suara samar terdengar — krek... krek...
Semua langsung berhenti.
Kellen menegakkan tubuh, kepala sedikit miring. Rodrigo perlahan mengangkat senjatanya.
Evan menahan napas. Suara itu… seperti sesuatu yang menyeret sesuatu di lantai.
“Kamu dengar?” bisik Rodrigo, pelan.
Kellen mengangguk, telunjuk di depan mulut: diam. Langkah pelan mereka lanjutkan. Cahaya senter menari di dinding beton.
Suara itu... tiba-tiba hilang.
Degup jantung Evan makin cepat. Tangannya tanpa sadar bergerak ke pinggangnya, tempat ia menaruh pistol ayahnya.
Kellen melangkah makin hati-hati, ujung senjata mengarah ke kegelapan lorong. Rodrigo di belakangnya, Evan berjarak satu-dua meter.
Saat mereka mendekati belokan… brakk! — sesuatu meloncat dari balik tumpukan besi tua.
Evan terlonjak, hampir terjatuh.
Namun yang muncul... hanya seekor kelinci liar, kurus, bulu kotor, melompat ke atas balok dan menghilang ke dalam celah dinding.
Rodrigo mendesah, lalu terkekeh kecil. “Pfft… penyusup.” Ia menepuk dada.
“Hampir saja, kupikir itu adalah Scout kecil.”
Evan mengatur napas. Wajahnya memerah. “Kau tahu… aku hampir jantungan.”
Kellen tetap diam, tapi mata tajamnya sempat melirik Evan sejenak — seolah menilai.
Mereka melanjutkan. Lorong makin gelap. Ujung ruangan yang dulu mungkin gudang kini sebagian runtuh. Ada tangga tua yang turun ke tingkat bawah, tapi setengah tertutup puing.
Rodrigo berjongkok, memeriksa. “Kelihatannya di bawah ada jalur lain.”
Ia menoleh ke Kellen. “Turun?”
Kellen mengangguk singkat.
Rodrigo mengarahkan senter ke lubang tangga. Udara di bawah terasa lebih dingin. Ada embusan samar dari dalam.
“Hei, Siap?” tanya Rodrigo, melirik Evan.
Evan menelan ludah, tapi mengangguk. “Ayo.”
Satu per satu mereka turun perlahan. Tangga tua berderit di bawah berat kaki mereka.
Di bawah... ruangan terbuka. Lebih luas dari yang mereka duga. Banyak mesin tua — konveyor, panel besar — sebagian tertutup debu tebal.
Di dinding kanan, terlihat pintu geser logam... sebagian terbuka, seolah paksa. Jalur itu gelap pekat.
Kellen memberi isyarat: “Kita akan periksa bagian situ.”
Mereka bergerak, suara langkah nyaris tak terdengar. Evan sesekali melirik ke sekeliling, matanya membiasakan diri dengan gelap.
Tiba-tiba— brak... buk.... brak...
Ada suara lagi. Tapi kali ini… berat. Ritmenya lambat.
Rodrigo berhenti, wajahnya berubah serius. Kellen langsung menegakkan tubuh, senter diarahkan ke arah pintu gelap.
Evan menahan napas. Suara itu makin jelas... seperti kuku logam yang menyeret di lantai beton.
buk... brak...
Jauh di dalam kegelapan, ada kilau samar — bintik-bintik cahaya… bergerak.
Rodrigo berbisik, nyaris tak terdengar, “Scout...?”
Kellen hanya memberi isyarat keras: diam.
Mereka bertiga berdiri tegang, senjata mereka siap, napas tertahan.
Langkah itu… makin dekat.