Teater Pengkhianatan

Musim berganti. Udara menjadi lebih kering dan panas, namun api unggun tetap menyala tiap malam. Zenon masih duduk dekatnya, seperti biasa. Namun kini, ia tidak lagi hanya membawa barang.

Tiga bulan telah berlalu sejak ia bergabung dengan tim Garet’s Fang. Dari anak kecil yang tersesat, kini Zenon dianggap bagian dari keluarga kecil mereka. Ia diberi pisau baru. Diberi pakaian layak. Bahkan mulai ikut berkomentar dalam perencanaan misi. Tapi bukan itu yang membuatnya berbahaya.

Itu karena semua kata-katanya mulai dianggap benar.

“Kalau kita lewat lembah barat, akan lebih cepat sampai. Bandit jarang berani mendekat karena medan terbuka.”

Garet mengangguk, percaya. “Ide bagus, Zenon. Kita coba itu.”

Zenon tersenyum, tenang. Dalam pikirannya, dia sudah menyiapkan semuanya.

Ia mulai mengatur hal-hal kecil: merusak perbekalan sedikit demi sedikit agar anggota tim makin bergantung padanya untuk logistik. Ia menyebar keraguan di antara Aven dan Runi—dua pendekar kembar—dengan cerita “tak sengaja” bahwa salah satu dari mereka pernah menyebut yang lain lambat.

Ketika Syll mulai terlalu dekat, Zenon bersikap dingin, membuat wanita itu bingung dan bersalah, hingga secara emosional mulai tunduk pada kata-katanya.

Dan ketika mereka mendapatkan kontrak besar dari klien misterius, Zenon menyarankan agar mereka tidak melaporkan nilai pembayaran ke guild—“Agar tidak dipotong pajak,” katanya, polos.

Uang mereka kini disimpan oleh Dalven. Tapi semua pengaturannya... ditangani oleh Zenon.

Pada akhir bulan ketiga, Zenon memimpin mereka ke jalur rawan. Katanya, “bandit di sana biasanya hanya mengincar kelompok besar.”

Tapi malam itu, belasan bandit bersenjata lengkap menyerbu kemah mereka.

Pertempuran berlangsung singkat. Garet tewas pertama. Aven dan Runi bertarung sampai kehabisan napas. Syll mencoba melindungi Zenon, tapi disergap dari belakang. Dalven lari, tapi terkena panah di dada.

Semua terjadi terlalu cepat.

Bandit-bandit itu? Dibayar oleh Zenon satu malam sebelumnya. Satu kantong emas, dan satu janji: “Setelah mereka mati, ambil apa yang kalian mau, tapi biarkan aku pergi.”

Namun saat mereka tertawa dan menjarah, Zenon melempar kantong berisi debu api ke dalam api unggun.

Boom.

Ledakan membakar tenda dan menghantam tiga bandit terdekat. Dalam kekacauan, Zenon menyelinap ke belakang dan menikam leher dua lainnya dengan pisau kecil. Tangan kecil, gerakan presisi. Matanya dingin.

Dua bandit tersisa lari. Sisanya terbakar atau mati.

Esok paginya, Zenon duduk di antara tumpukan barang. Ia membuka kantong uang besar milik Dalven, menghitungnya dengan sabar.

Ia mengenakan pakaian baru: celana panjang, sepatu keras, dan rompi hitam ketat tanpa lengan.

Di kejauhan, desa kecil terlihat. Ia berjalan ke sana tanpa suara. Di tangannya hanya pisau, dan di wajahnya hanya satu senyum:

“Aku sudah belajar cukup dari kalian.”