Hari yang Tak Menjawab

Pagi datang tanpa kokokan ayam jantan, tanpa suara lonceng dari ladang. Cahaya matahari menyelinap pelan dari celah-celah daun, menari lemah di dinding rumah kayu tua. Tapi bagi Kael, pagi itu terasa seperti dunia menatapnya dari balik tirai kabut yang belum sepenuhnya sirna.

Ia duduk diam di ambang pintu rumahnya, masih mengenakan pakaian tidur yang kusut. Dingin subuh menggigit kulitnya, tapi ia tidak bergeming. Matanya menatap kosong ke arah tanah yang basah oleh embun semalam.

Setiap tetesnya memantulkan cahaya matahari pagi seperti cermin kecil yang rapuh. Namun tidak ada satu pun dari pantulan itu yang cukup kuat untuk menerangi pikirannya.

"Semalam itu bukan mimpi," bisiknya dalam hati. "Dan ini… bukan pagi yang sama."

Dari dalam rumah, terdengar suara kakeknya menyiapkan sarapan. Ada dentingan kayu, suara sendok logam yang beradu, dan aroma gandum panggang yang sempat membuat perut Kael bergejolak.

Tapi semua itu… hanya gema dari kehidupan yang terasa seperti milik orang lain.

Dalam dadanya, lentera jiwanya masih berdetak. Namun ritmenya kini lebih halus. Bukan karena telah selaras tapi karena keduanya… saling menunggu.

Kael menunduk, menatap telapak tangannya. Jejak hitam samar yang semalam muncul telah menghilang… atau tersembunyi lebih dalam. Tapi ia tahu, sesuatu telah tumbuh dalam dirinya. Tidak terlihat oleh mata siapa pun, tapi terasa jelas oleh jiwa.

“Apa yang tumbuh dalam diriku… akan dikenali oleh dunia, cepat atau lambat,” pikirnya.

“Dan aku belum tahu… apakah dunia akan menerimanya, atau menolaknya seperti semua yang pernah lahir dari penyimpangan.”

Langkah kecil terdengar di belakangnya. Suara kakeknya, lembut namun kuat, mengisi pagi yang senyap.

“Kael, kau tidak makan sejak kemarin. Mimpi buruk lagi?”

Kael menoleh setengah. Senyum tipis menghiasi wajahnya, namun matanya tetap menyimpan riak. “Tidak buruk, Kek… hanya terlalu nyata.”

Pria tua itu menatap cucunya lama. Tidak bertanya lebih jauh, tidak menekan. Tapi sorot matanya mengerti. Seolah ia tahu bahwa cucunya kini bukan lagi anak lelaki yang sama dengan tiga hari lalu.

Kael berdiri perlahan. Kakinya masih terasa berat. Tapi ada sesuatu yang mendorongnya untuk tetap melangkah. Bukan rasa lapar. Bukan rutinitas. Tapi dorongan halus… seperti getar akar yang mulai mencari tanah yang tepat untuk tumbuh lebih dalam.

Kael melangkah pelan menuju jalan tanah kecil yang membelah tepi desa. Embun belum sepenuhnya hilang, dan tanah masih licin bekas hujan semalam. Tapi pagi itu, ia tidak merasa terganggu. Justru sebaliknya ada ketenangan yang aneh… seolah langkahnya selaras dengan bisu alam di sekitarnya.

Ia melewati deretan rumah-rumah penduduk. Dinding kayu yang pernah tampak akrab kini terasa seperti mata-mata diam yang mengawasinya dari balik celah. Tak ada sapaan, hanya pandangan cepat yang segera dibuang, dan pintu-pintu yang tertutup lebih cepat dari biasanya.

Kael tidak terkejut. Tapi untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasakannya.

“Aku tak lagi sekadar anak sebatang kara yang aneh di mata mereka. Sekarang… aku jadi sesuatu yang mereka rasa harus dijauhi.”

Seekor burung hitam bertengger di pagar pagar tua sebelah kiri jalan. Matanya menatap Kael tanpa berkedip. Lalu, tanpa suara, burung itu terbang tidak ke langit, tapi ke dalam kabut tipis yang masih menggantung di pekarangan utara.

Dan untuk sesaat, Kael merasa… seolah kabut itu menyambut burung itu dengan pelukan, bukan dingin.

Langkahnya berhenti di tepi kebun kosong, tempat yang dulunya digunakan warga menanam rempah. Kini, tanah itu dibiarkan kering, retak seperti bekas luka. Di tengah-tengahnya, tumbuh satu tunas kecil. Hitam. Tidak seperti tanaman lain.

Kael menatapnya lama. Tidak mungkin.

Ia mendekat. Tunas itu… mengeluarkan panas samar, meski matahari pagi belum cukup tinggi untuk memberi kehangatan. Dan lentera di dadanya… merespons. Satu denyut. Lalu dua. Tak seirama, tapi... seperti mengakui sesuatu.

Tunas itu bukan tanaman biasa. Itu bukan hasil alam. Itu... gema dari sesuatu yang mulai tumbuh dalam dirinya.

Kael masih berdiri di depan kebun itu ketika suara seseorang terdengar dari arah jalan.

“Hei!”

Ia menoleh. Seorang pria paruh baya mendekat, Pak Darlan, salah satu tetua desa yang dikenal keras kepala dan cepat menilai.

“Apa yang kau lakukan di sini?” Nada suaranya tajam, penuh curiga.

Kael tetap diam. Ia memandangi tunas hitam di depannya, lalu perlahan berdiri tegak. “Aku hanya lewat,” jawabnya pendek.

Pak Darlan menyipitkan mata. “Lewat? Di kebun mati yang bahkan anjing pun enggan masuk?”

Tiba-tiba, dua warga lain datang dari arah belakang, seorang ibu dengan wajah cemas dan seorang pemuda yang tampaknya baru saja meletakkan cangkulnya.

“Dia berdiri di sana cukup lama,” kata si ibu, lirih namun cukup untuk didengar semua.

“Dan aku… aku merasa udara jadi lebih dingin saat dia datang.”

Kael menatap mereka satu per satu. Dingin itu bukan dari tubuhnya. Ia tahu. Itu datang dari denyut jiwa yang belum sepenuhnya tenang dari resonansi yang belum selesai menyatu. Tapi bagaimana bisa ia menjelaskan itu?

Pak Darlan melangkah lebih dekat, menatap Kael lekat-lekat. “Kau pergi ke hutan malam itu. Kami tahu. Tidak ada yang bicara, tapi semua melihat lentera jiwamu… berubah.”

Kael menggenggam tangannya erat. "Aku tidak mengganggu siapa pun.”

“Tidak, tapi sesuatu... ikut pulang bersamamu,” jawab Pak Darlan. “Dan kami tidak tahu apakah itu... masih kau.”

Kalimat itu menggantung di udara seperti kabut yang membeku. Warga yang lain tak bicara, tapi dari sorot mata mereka, Kael tahu ketakutan sudah mulai tumbuh. Bukan karena mereka melihat monster. Tapi karena mereka merasa, tanpa bisa menjelaskan, bahwa Kael bukan lagi milik desa ini sepenuhnya.

Ia melangkah mundur perlahan, menjauh dari kebun. Pandangannya tidak menantang. Hanya… penuh letih.

“Aku tidak ingin menyakiti siapa pun,” katanya akhirnya.

Pak Darlan tidak menjawab. Tapi sorot matanya cukup jelas. Dan itulah yang paling kami takuti. Kau bahkan tidak tahu apa yang tumbuh di dalammu.

***

Keesokan paginya, langit tampak jernih. Awan menggumpal malas di ujung cakrawala, dan udara pagi membawa aroma tanah basah sisa hujan semalam. Cahaya matahari menembus celah dinding kayu, menyentuh wajah Kael yang masih duduk di sudut rumah.

Ia belum sepenuhnya tidur malam tadi. Tapi entah kenapa, tubuhnya tidak terasa lelah. Justru ada semacam ketenangan aneh yang menyelimuti pikirannya. Bukan ketenangan dari kedamaian, tapi lebih mirip seperti... penyangkalan.

Di luar, kakeknya tengah menyiapkan meja kecil di beranda. Beberapa bundel herba kering tergeletak di atas nampan bambu, menunggu untuk dirapikan.

“Aku butuh bantuan tangan muda,” kata kakek dengan senyum tipis.

Kael tak menjawab, hanya mengangguk pelan dan duduk di sampingnya.

Mereka bekerja dalam diam. Mengupas daun kering, memilah batang yang bisa digunakan untuk ramuan. Suara alam yang sederhana burung, desiran angin, suara pisau kecil mengiris pelan mengisi kekosongan di antara mereka.

Dan untuk pertama kalinya sejak kembali dari hutan, Kael tidak merasa terancam oleh diam itu.

“Aroma mint selalu mengingatkanku pada nenekmu,” gumam kakek tiba-tiba.

“Ia suka mencampurnya dengan teh hitam. Katanya, itu bisa menenangkan mimpi buruk.”

Kael tersenyum samar. “Aku tidak tahu apakah mint bisa menyentuh jenis mimpi burukku, Kek.”

Kakek menatapnya lama, lalu hanya tertawa kecil, tanpa bertanya lebih jauh.

Kael ingin mengatakan banyak hal. Tentang mimpi-mimpi anehnya. Tentang bayangan akar di sungai. Tentang lentera jiwanya yang kini berdenyut dengan dua irama tak seragam. Tapi tidak satu pun keluar dari mulutnya.

Mungkin karena ia tidak ingin mengganggu pagi yang tenang ini. Atau mungkin... karena sebagian dari dirinya menikmati kebohongan kecil itu.

“Jika aku berbicara, maka dunia ini akan berubah. Jika aku diam, setidaknya aku masih bisa berpura-pura menjadi cucu biasa di rumah tua ini.”

Matahari mulai naik, dan aroma herba memenuhi udara. Tak ada percikan sihir. Tak ada gema suara jiwa. Hanya bunyi alami dari hidup yang berjalan biasa.

Tapi di bawah permukaan, Kael tahu bahwa dirinya tidak lagi cocok dengan dunia ini. Dan dunia ini, cepat atau lambat, akan menyadarinya juga.

Menjelang siang, suara gaduh terdengar dari arah ladang utara desa.

Kael yang tengah mencuci tangan di belakang rumah menoleh. Jeritan. Suara kayu patah. Dan… sesuatu yang lebih asing. Gema berdenyut, berat, seperti dentum logam dari dalam tanah.

Ia segera berlari menuju kerumunan yang mulai berkumpul. Warga berbisik panik, sebagian membawa cangkul atau tongkat. Di tengah ladang, tempat orang-orang biasanya menanam sayur dan padi, tanah membelah. Bukan retakan biasa tapi lingkaran dengan bekas gosong gelap, dan pusaran angin kecil di tengahnya.

“Tanahnya mendidih!” teriak salah satu petani.

“Kami sedang mencangkul… lalu tiba-tiba ini muncul!”

Kael mendekat perlahan. Ada sesuatu dalam udara yang ia kenal. Sama seperti saat ia menyentuh pohon bisu… saat ia bermimpi…

Lentera jiwanya berdetak. Sekali. Lalu dua kali.

Seorang tetua desa menatapnya dengan sorot curiga. “Kau… baru kembali dari hutan, bukan?”

Kael tidak menjawab. Tapi pandangan mereka mulai menempel padanya seperti luka terbuka. Seolah tubuhnya adalah jawaban atas pertanyaan yang belum sempat diajukan.

“Ini… bukan luka biasa,” bisik Kael pada dirinya sendiri, menatap bekas lingkaran gosong. “Ini seperti… pantulan. Seperti gema.”

Angin bertiup lebih kencang, memutar debu dan abu dari dalam tanah. Dan dari pusat lingkaran itu sesuatu menyembul. Bukan makhluk. Bukan tanaman. Tapi… sebuah simbol, terbakar samar di tanah. Bentuknya seperti pola akar yang saling menjalin, membentuk mata yang tertutup.

Simbol itu sama seperti yang muncul dalam mimpinya… dan yang ia gambar tanpa sadar di balik rumah.

Kael mundur selangkah. Tapi detakan dalam dirinya justru bergerak maju. Ia bisa merasakan simbol itu… bukan sebagai benda, tapi sebagai bagian dari dirinya yang tumbuh di luar kendali.

“Kael,” suara kakeknya tiba-tiba terdengar dari belakang. Napasnya terengah, wajahnya pucat. “Kau… lihat ini, bukan?”

Kael mengangguk pelan. “Aku… tidak tahu kenapa bisa muncul.”

Kakeknya menunduk, menyentuh bekas terbakar di tanah. Jemarinya bergetar. “Ini bukan sihir biasa. Ini… sesuatu yang pernah ada dulu. Sesuatu yang seharusnya tidak muncul lagi.”

Kael merasa tenggorokannya kering. “Kek… aku tak menyentuh apapun.”

“Tapi sesuatu menyentuhmu, Kael.”

Suasana di sekeliling mulai berubah. Warga mundur perlahan dari Kael. Seolah apa pun yang terjadi… ia bagian dari penyebabnya. Entah karena ketakutan atau hanya dorongan naluri.

Dan Kael sadar, dunianya yang sempit kini retak. Ia tidak lagi bisa pura-pura normal. Tidak lagi bisa menahan apa yang tumbuh dalam dirinya.

Ia menatap ke arah simbol yang perlahan pudar di tanah… dan melihat pantulan wajahnya dalam debu.Tapi itu bukan wajah yang ia kenal.Angin berhenti mendadak. Dunia terasa diam.

Debu yang tadi berputar di udara mulai turun pelan, melapisi ladang yang kini retak dan gosong. Simbol yang membara di tanah mulai memudar, tapi bayangannya tertinggal di benak semua orang yang melihatnya.

Tetua desa masih menatap Kael. “Ini bukan hanya pertanda. Ini adalah luka,” katanya pelan. “Dan luka ini muncul… saat kau kembali.”

Suara itu tak bernada tuduhan, tapi juga bukan pembelaan. Seperti kalimat yang sudah lama ingin diucapkan, dan kini menemukan jalannya.

Warga berbisik. Ada yang mencengkeram anak-anak mereka, menjauh. Beberapa yang dulu tak peduli kini menatap Kael seolah sedang memandangi api yang sewaktu-waktu bisa menyambar.

“Apa kau membawa sesuatu dari dalam hutan, Kael?”

“Itu bukan simbol biasa… Itu bentuk kuno. Aku pernah melihatnya dulu, di lembaran tua sebelum dibakar, sesuatu tentang ‘jiwa yang gagal’.”

“Jangan-jangan… dia bukan Kael lagi.”

Kael berdiri diam. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Kata-kata mereka berputar, seperti gema dari suara yang lebih tua… lebih dalam. Dan dalam dadanya, lentera jiwanya berdetak dua kali.tak seirama, tapi tak lagi bertentangan.

Di dalam kepalanya, suara batinnya mulai pecah.

“Kenapa ini terjadi di sini? Kenapa mereka semua melihatku seperti racun yang baru tumpah ke ladang?”

“Aku tidak pernah ingin ini. Aku hanya ingin tahu siapa aku. Tapi bahkan itu... tak boleh?”

“Kalau kekuatanku berbahaya, harusnya aku tak pernah diberi apa-apa. Tapi jika ini adalah bagian dariku... bagaimana aku bisa menyangkalnya?”

Langit sedikit berubah. Awan bergerak pelan menutupi cahaya matahari. Suara burung di kejauhan berhenti. Bahkan suara hembusan angin melewati batang padi terasa… menjauh.

Seorang ibu menarik anaknya menjauh dari kerumunan. Beberapa pria desa menunduk sambil mencengkeram senjata seadanya. Tak satu pun mengangkat tangan pada Kael, tapi tak ada pula yang mendekat.Jarak itu lebih tajam dari pedang.

Kael menatap sekeliling. “Aku tidak tahu apa yang terjadi…” katanya, suaranya parau. “Tapi ini… bukan sesuatu yang kulakukan dengan sengaja. Aku bahkan tidak tahu bagaimana—”

Tetua desa mengangkat tangan. “Kau mungkin tidak sadar, Kael. Tapi hal seperti ini… tidak pernah muncul tanpa sebab. Dan setiap simbol... membawa sejarahnya sendiri.”

Kakek Kael maju, berdiri di antara cucunya dan para warga. “Cukup,” katanya tegas. “Kael bukan musuh kalian. Ia hanya... memikul sesuatu yang belum ia mengerti.”

Tetua lain bersuara, lembut tapi tajam. “Dan justru itu masalahnya, Tuan Tairas. Jika bahkan dia sendiri tak tahu apa yang tumbuh dalam dirinya… bagaimana kami bisa mempercayainya?”

Sunyi.

Kael merasakan tubuhnya ringan, seolah jiwanya terangkat setengah langkah dari tanah. Bukan karena kekuatan, tapi karena beban yang terlalu banyak untuk ditahan. Dunia di sekitarnya berubah terlalu cepat. Dulu ia tak dianggap.

Kini… ia dicurigai.

Dulu dia tidak dilihat. Sekarang, semua mata mengawasinya dengan takut.

Ia berjalan pelan menjauh, tidak kembali ke rumah. Hanya menyusuri jalur kecil di tepi desa. Kakeknya menatap punggung cucunya dengan sorot sayu, tapi tak menahan.

Kael duduk di bawah pohon bisu yang sudah lama ia hindari.

Langit mulai berubah ungu pucat. Embusan angin membawa aroma logam dan tanah basah. Di bawah pohon itu… Kael akhirnya membiarkan tubuhnya jatuh duduk. Ia memandang kedua tangannya. Bekas hitam samar di telapak kirinya kini lebih jelas. Seperti tinta yang menolak pudar.

“Apa aku... benar-benar membawa bencana?”

“Atau dunia ini hanya takut pada sesuatu yang tak bisa mereka jelaskan?”

Dalam diam, sesuatu dalam dirinya menyala. Tapi tak seperti cahaya. Lebih seperti… bara dalam abu. Tak terang. Tapi tak padam.Lentera jiwanya tidak tenang.

Tidak stabil.

Tapi perlahan… mulai terbentuk pola.

Bukan cahaya sempurna. Tapi jaringan, seperti akar yang menyebar dari pusat dadanya ke seluruh tubuh. Tak bisa dilihat… hanya bisa dirasakan.

Kael menutup mata. Untuk pertama kalinya sejak kembali dari hutan, ia merasakan bahwa kekuatan dalam dirinya mulai mencari jalan keluar, bukan dengan ledakan… tapi dengan tumbuh.

Pelan. Perlahan. Tapi tak bisa dihentikan.