Suasana hutan terasa berbeda. Udara yang dulu berat kini mengalir lebih ringan, menyusup ke paru-paru Kael tanpa beban. Cahaya matahari menembus lembut celah-celah kabut, menciptakan guratan cahaya di antara batang-batang pohon, bukan sebagai tamu asing, tapi seolah memang ditunggu. Dunia tak lagi melawan keberadaannya. Alam… mulai menerima.
Setiap langkah Kael terasa lebih ringan, bukan karena beban menghilang, tapi karena ia telah memilih untuk memikulnya dengan sadar. Lentera jiwanya berdetak pelan, tak lagi mencari irama dari luar, tapi mulai menciptakan nadanya sendiri. Ia menyadari, keputusan yang ia buat, pengakuan, penerimaan, dan arah semuanya membentuk ulang dirinya. Bukan hanya dalam jiwa, tapi dalam cara dunia memperlakukannya.
Ia tidak lagi merasa seperti penyusup dalam kehendak semesta. Kini, setiap langkahnya menjadi bagian dari simfoni yang lebih besar, pelan, tapi nyata. Seolah alam tak hanya melihatnya, tapi mulai mengingatnya.
Sekarang, Kael merasa bahwa ia telah menemukan tempatnya. Bukan tempat yang diwariskan, bukan pula yang diberikan. Tapi tempat yang ia ciptakan sendiri dari luka yang diakui, dari pilihan yang dipertahankan, dari penolakan yang tidak lagi memenjarakan. Sebuah ruang di mana lentera jiwanya bisa menyala tanpa membakar, dan di mana kegelapan bisa hadir tanpa menelan.
Namun ia tahu, tempat itu masih rapuh. Seperti pohon muda yang baru menyentuh dunia, rentan oleh angin pertama, oleh getar kecil dari masa lalu yang belum sepenuhnya diam. Tapi justru karena kerentanannya itulah… tempat ini menjadi nyata.
Kael memejamkan mata sejenak, meresapi kehadirannya sepenuhnya, di antara dunia yang belum selesai dan jiwanya yang belum lengkap. Ia bukan bayangan. Ia bukan warisan. Ia adalah bentuk dari keputusan yang tak lagi menunggu izin untuk menjadi.
Dan di balik kesadaran itu, tumbuh sebuah tekad baru, bukan untuk melawan dunia, .
Kael membuka matanya, merasakan sepenuhnya integrasi dirinya dengan dunia ini. Ia merasa semua hal yang ia lihat terhubung dengan jiwanya. Bukan lagi sekadar latar kosong yang tak berarti baginya.
Kabut di sekitar Kael terasa bergerak dan berputar perlahan, membentuk jalan setapak, seolah menunjukkan padanya bahwa ini adalah jalan yang harus ia lalui.
Ia berdiri. Langkahnya mantap, tidak terburu-buru, tapi juga tanpa ragu. Setiap gerakan seakan selaras dengan desir angin dan gema lembut dari dalam tanah. Dunia tidak hanya membukakan jalan… tapi juga mendengarkan.
Di sepanjang jalan setapak itu, akar-akar mungil bermunculan lalu menghilang, menyisakan jejak bercahaya samar yang hanya bisa dilihat oleh mata yang mengerti. Seperti rekaman jiwa yang berkata: “Langkahmu meninggalkan makna.”
Kael menoleh ke belakang sejenak. Pohon tua itu masih berdiri di tempatnya. Diam. Tapi tidak dingin. Ia tahu, meski pohon itu tak bisa bicara, ia telah menjawab dengan caranya sendiri.
Ketika ia berbalik dan melangkah lebih jauh, udara berubah. Tercium aroma asap yang samar… lalu suara.
Bukan suara makhluk liar.
Tapi manusia.
Dan kali ini, bukan bayangan dari masa lalu… tapi seseorang yang nyata.
Kael menghentikan langkahnya. Lentera jiwanya berdetak, bukan karena bahaya. Tapi karena pertanda, jiwa lain telah menunggu.
Kael melangkah lebih hati-hati. Semakin jauh ia berjalan, semakin nyata suara itu, bukan percakapan, melainkan nyanyian lirih. Suara itu seperti gumaman yang ditenun dari bayangan dan cahaya, tak berasal dari mulut… melainkan dari jiwa yang lama menunggu didengar.
Kabut terbuka perlahan, memperlihatkan seorang gadis berdiri di tepi tebing kecil yang menghadap celah hutan. Rambutnya panjang dan kusut oleh angin, dan di tangannya tergenggam lentera kecil, menggantung di rantai logam berkarat. Lentera itu menyala… bukan terang, tapi redup. Warna ungu dan biru bercampur seperti luka lama yang belum sembuh tapi juga tak ingin dilupakan.
Ia belum menyadari kehadiran Kael.
Kael mendekat dengan langkah yang nyaris tak bersuara. Tapi sebelum ia bisa mengucapkan sepatah kata pun, gadis itu berbicara, tanpa menoleh.
“Dunia mulai berubah saat seseorang memilih untuk tidak menyerah pada bentuk lamanya.”
Suara itu lembut, tapi tajam. Seolah mengenali apa yang telah Kael lewati, bahkan sebelum ia membuka mulut.
“Siapa kau?” tanya Kael akhirnya, suaranya tidak menuntut, hanya ingin mengerti.
Gadis itu menoleh perlahan. Matanya bukan mata yang menyimpan kekuatan, melainkan mata yang pernah kehilangan segalanya… dan menolak menghilang bersama kehilangan itu.
“Aku… adalah penjaga suara-suara yang ditinggalkan. Aku pernah berjalan sendiri, tapi tidak cukup kuat untuk mengakar. Dan aku tidak ingin kau mengulanginya.”
Ia menunjuk ke lentera di dadanya, retak, tapi masih menyala.
“Namaku Lirien.”
Kael menatap Lirien dalam diam. Cahaya dari lentera di tangannya berdenyut pelan, seolah bernafas bersama luka yang belum usai. Ada sesuatu dalam sosok gadis itu yang membuat waktu terasa melambat. Bukan karena keindahan, bukan karena ancaman, melainkan karena pengakuan yang tanpa kata. Seperti dua jiwa yang tak saling mengenal, namun saling mengerti dari bayangan yang pernah mereka lewati.
“Apa maksudmu dengan suara-suara yang ditinggalkan?” tanya Kael, suaranya nyaris tenggelam dalam angin hutan.
Lirien mengangkat lentera kecilnya, dan dalam pantulan kacanya, tampak kilasan wajah, bukan dirinya, tapi wajah anak-anak, pemuda, dan wanita yang semuanya… hampa. Tak bernama. Tak bersuara. Hanya bayangan masa lalu.
“Mereka yang kehilangan jalan sebelum sempat mengukirnya. Jiwa-jiwa yang lentera mereka padam sebelum sempat menyala. Aku… mendengar mereka. Tapi tak bisa menjawab.”
Ia menunduk. Rambutnya menutupi sebagian wajah, namun Kael bisa melihat bahwa matanya tidak basah oleh air mata, melainkan oleh pantulan kenangan yang terlalu banyak untuk ditanggung sendiri.
Kael melangkah lebih dekat. Lentera jiwanya berdenyut pelan. Dua denyut, masih belum sinkron, tapi kali ini... beresonansi. Bukan dengan dunia, tapi dengan jiwa lain yang pernah retak.
“Aku tidak tahu harus bilang apa…” bisik Kael.
Lirien mengangkat wajahnya perlahan. Tatapannya tajam tapi rapuh.
“Maka jangan katakan apa-apa. Dengarkan saja.”
Kael diam. Dan dalam diam itu, hutan bergema pelan. Seperti nyanyian daun dan akar yang lama terkubur. Seperti kisah-kisah yang ditelan oleh bayangan dan dibungkam oleh waktu.
Dalam suara hening itu, Kael menyadari… dia tidak sendiri.
Mereka berdiri bersama, tidak saling menyelamatkan, tidak pula saling membimbing. Hanya berbagi keberadaan. Dan di antara dua lentera yang berbeda, satu retak, satu tak seirama, muncul benih sesuatu yang baru, pemahaman.
Langit di atas hutan mulai berpendar jingga. Bukan karena senja, tapi karena semacam cahaya lembut yang datang dari dalam tanah, seperti napas lama yang perlahan kembali disadari.
Kael dan Lirien berdiri di tepi bukit rendah, memandang ke arah barisan pohon tua yang membentuk semacam lingkaran jauh di bawah sana. Lirien menunjuk ke tengah lingkaran itu, di mana batu-batu kecil tersusun membentuk simbol seperti akar dan pusaran.
“Di sanalah suara-suara itu terkubur,” bisik Lirien. “Dan satu-satunya cara mendengarnya… adalah dengan menolak diam.”
Kael memandang lentera jiwanya. Untuk pertama kalinya, ia menyadari: denyut ganda di dalam dadanya bukan hanya tentang dirinya. Ada ruang yang kini terbuka. Ruang untuk menerima bukan hanya luka… tapi juga suara-suara yang telah lama hilang.
“Kalau begitu… aku akan mulai berjalan ke sana,” ucap Kael.
Lirien tak menjawab. Tapi ia berjalan di sisinya.
Dan ketika mereka menuruni bukit itu, akar-akar kecil mulai tumbuh dari tanah yang semula mati, membentuk jalan samar. Seolah dunia mulai mengenali keberadaan mereka bukan sebagai penyelamat, tapi sebagai saksi yang berani menyentuh luka yang tak diucapkan.
Sinar lentera Kael dan Lirien berpadu dalam cahaya samar yang tak sepenuhnya terang… tapi cukup untuk menuntun langkah pertama menuju kebenaran yang terkubur.
Dan di kejauhan, jauh di balik bayangan, suara lain mulai bergema. Lirih. Retak. Tapi nyata.
Mereka tidak sendiri.