Sebuah Cerita Awal

Hujan tidak pernah berhenti.

Entah ketika aku menatap langit kelabu dari balik jendela bus, atau saat cahaya ponselku memantul di kaca yang basah. Semuanya terasa beku—waktu, udara, dan bahkan pikiranku sendiri. Seolah dunia telah kehilangan denyutnya.

Saat ini aku sedang dalam perjalanan pulang. Seperti biasanya.

Namun hari ini… ada sesuatu yang berbeda. Sebuah firasat samar, namun mencengkeram.

Di pangkuanku tergeletak sebuah buku yang sudah mulai usang oleh waktu.

Judulnya: My Story is Lie—sebuah novel eksistensial yang ditulis oleh Han Ji-woon, filsuf kontemporer Korea yang kontroversial namun jenius. Ia bukan sekadar penulis fiksi; ia adalah pemikir yang mempertanyakan makna kesadaran, identitas, dan batas realitas melalui cerita.

Novel ini menceritakan seorang protagonis yang terus-menerus bereinkarnasi ke dunia berbeda. 4.000 bab perjalanan jiwa, penderitaan, dan pencarian makna. Namun di bab terakhir, sang tokoh utama sadar bahwa semua yang ia alami hanyalah fiksi belaka. Ia bukan manusia, bukan roh, melainkan karakter… tulisan… ide.

“Jika ini fiksi,” katanya,

“maka aku hanya perlu melewati batasannya.”

Kalimat itu menampar kesadaranku bertahun-tahun lalu.

Ia tidak menyerah, bahkan setelah mati ribuan kali. Ia tetap waras, tetap berjuang—bukan demi hidup, tapi demi makna.

Aku telah membaca novel ini selama dua puluh tahun.

Dari bangku SD, saat dunia masih sederhana. Lalu saat SMP dan SMA, ketika dunia mulai menyakitkan. Hingga kini, saat aku menjadi pegawai kantoran yang bekerja tanpa henti di bawah bayang-bayang perusahaan gelap.

Hari ini, tanggal XX Juni XXX, aku menaiki bus terakhir untuk pulang.

Namaku Kim Yeon-ja.

Seorang manusia biasa.

Setidaknya... begitulah kupikir.

Namun sejak aku masuk ke dalam bus ini, segalanya terasa... salah. Bukan hanya udara yang berat atau bau karat tua yang menusuk, tapi atmosfernya—seolah ruang dan waktu telah melengkung diam-diam di sekelilingku.

Firasat itu makin menguat.

Bus melaju kencang. Terlalu kencang.

Aku melirik ke jendela… namun tidak ada apa-apa di luar sana. Tidak ada kota, tidak ada cahaya. Hanya kegelapan pekat tanpa bentuk. Sebuah kekosongan absolut.

Aku berdiri. Lututku lemas, langkahku gemetar.

Saat aku mendekati tempat pengemudi,

aku melihatnya—mata itu.

Mata besar yang melayang di hadapan bus, tanpa wajah, tanpa wujud.

Ia seperti ketiadaan yang memandang balik ke dalam dirimu. Sebuah lubang hitam yang bukan sekadar benda… tapi kehendak. Tatapannya seperti berkata:

“Aku tahu siapa kamu.”

Bus mulai hancur. Realitas di sekelilingku retak seperti kaca.

Warna memudar. Suara menghilang. Dan hanya mata itu yang masih ada—mengisapku ke dalamnya perlahan.

Namun saat aku menatapnya lebih dalam, rasa takutku tergantikan oleh sesuatu yang aneh: kerinduan.

“Tunggu… kenapa aku merasa pernah melihat ini?”

Aku bertanya dalam pikiranku, penuh kebingungan.

Saat tubuhku terseret ke dalam kekosongan itu, satu hal menjadi jelas:

Ini bukan akhir. Bahkan bukan permulaan. Ini hanyalah sebuah prolog dari cerita yang besar.