From ordinary day

Hari Sial yang Biasa

Di desa Vernalis, hidup berjalan seperti irama yang membosankan. Bangun pagi, bekerja seadanya, makan secukupnya, lalu tidur. Dan besoknya? Ulangi semuanya dari awal. Bagi orang biasa, ini mungkin kedamaian. Tapi bagi Rexa Setrya, ini hukuman dari dewa yang kehabisan ide.

Ia duduk di pinggir rumahnya yang setengah runtuh, menatap langit kosong sambil melempar-lempar kerikil.

“Aku tidak minta banyak,” gumamnya. “Hanya sedikit kekuatan, sedikit keajaiban, dan kalau bisa, satu kerajaan. Dua kalau lagi diskon.”

Dari dalam rumah, terdengar suara panci terjatuh. Seorang nenek tua keluar dengan kain lap di tangan dan tatapan yang sudah terlalu sering melihat kebodohan Rexa.

“Kau tidur di atap lagi?”

“Lantai rumahku tadi malam bersuara sendiri. Mungkin arwah masa lalu sedang rapat,” jawab Rexa dengan wajah datar.

“Kalau kau mau kerja benar, kau bisa beli kasur.”

“Dan kalau aku kerja lebih keras lagi, mungkin bisa beli hidup yang baru.”

Nenek itu hanya mendesah. “Anak-anak seumurmu sudah menikah dan punya usaha. Kau malah bicara dengan dinding.”

Rexa tersenyum tipis. “Dinding tidak pernah menghakimi, Nek.”

---

Menjelang siang, Rexa duduk di pinggir sumur desa. Ia menatap air yang tenang, berharap ada sesuatu — apapun — yang keluar dan mengubah hidupnya. Bahkan monster pun tidak masalah.

“Kalau reinkarnasi itu nyata, aku harap tidak lahir di desa ini lagi,” bisiknya.

Dan seperti mendengar keluhannya, datanglah sekelompok pria berpakaian gelap dari utara. Langkah mereka tegap, wajah mereka dingin, dan setiap gerakan mereka seperti dirancang untuk membuat orang tidak nyaman.

Simbol keemasan di dada mereka bersinar: Etherion — organisasi suci yang mengendalikan hampir seluruh wilayah Alverion. Jika mereka datang ke desa kecil ini, berarti ada yang buruk sedang terjadi.

Rexa berdiri perlahan, malas-malasan.

“Hebat. Hari yang tenang ternyata terlalu mahal bagiku.”

Salah satu dari mereka berhenti tepat di depannya. Wajahnya keras seperti batu, suaranya datar.

“Rexa Setrya?”

“Kalau aku jawab ‘bukan’, apa kalian akan pergi?”

“Warga melaporkan bahwa kau gagal dalam uji sihir dasar, uji darah, dan uji spiritualitas.”

“Luar biasa. Aku bahkan belum gagal dalam hidup secara resmi. Kalian cepat sekali.”

“Kau akan dibawa untuk evaluasi lebih lanjut.”

“Evaluasi? Maksud kalian, dibongkar dan dicek apakah aku manusia atau binatang peliharaan?”

Prajurit itu mendekat. “Jangan bercanda.”

Rexa menarik napas, lalu melirik ke belakang. Jurang besar menganga tak jauh dari tempatnya berdiri. Gelap. Dalam. Dan entah mengapa, terlihat lebih ramah dibanding orang-orang ini.

Ia menatap mereka, lalu berkata, “Kalau aku tidak kembali, tolong beri tahu dunia bahwa aku tetap membenci ujian sampai akhir.”

Dan tanpa ragu, ia melompat ke dalam lubang.

Gelap. Sunyi. Tidak ada suara, tidak ada cahaya. Hanya sensasi jatuh yang terlalu lama untuk disebut normal. Jantungnya berdebar, pikirannya kosong. Tapi di tengah kekacauan itu, Rexa justru tersenyum kecil.

“Setidaknya… aku bebas.”

Lalu — brakk!

Sesuatu menghentikan tubuhnya. Dunia mendadak diam.

Dan sebelum semuanya menghilang, Rexa sempat berpikir,

"Kalau ini kematian... kenapa rasanya seperti jatuh ke kasur bekas tikus?"