Soul shard

Ravelle, Kota yang Dilupakan

Kabut di depan mereka seperti hidup—berputar pelan, membentuk jalan semu di antara bangunan-bangunan bayangan.

Kelompok bertopeng itu berdiri membentuk setengah lingkaran. Simbol spiral di dada mereka menyala seperti mata ketiga yang murka.

“Pecahan itu… harus dikembalikan,” ucap salah satu dari mereka.

Rexa memajukan langkah. “Kembalikan ke mana? Ke tempat kalian sembunyikan supaya bisa kalian kontrol?”

Tak ada jawaban.

Kael mencabut rantai sihir dari balik jubahnya. “Mereka... bukan penjaga. Mereka penghapus.”

Brugo menggenggam sendoknya erat-erat. “Siapa pun yang berani nyentuh Rexa, akan kuanggap sedang cari masalah sama persatuan penyendok independen.”

Salah satu dari mereka melesat maju. Kecepatannya nyaris seperti kilat. Tapi sebelum dia sempat menyentuh Rexa—

CLANG!

Pedang Rexa membelokkan serangannya, dan Kael menancapkan sihir pengunci ke tanah. Gelombang energi menghentikan semua gerakan dalam radius tiga meter.

Rexa menyeringai. “Oh, jadi kalian tipe yang ngomong dikit, nyerang duluan, ya? Bajingan konvensional.”

Satu sosok bertopeng mengaktifkan mantra ilusi, menggandakan dirinya jadi tujuh bayangan bergerak cepat. Tapi Brugo dengan enteng melompat... dan jatuh tepat di satu-satunya yang nyata.

“Insting kebodohanku tidak pernah salah!” serunya bangga dari atas tubuh lawan yang terinjak.

Pertarungan berlangsung cepat dan brutal. Tapi mereka bukan di sana untuk bertarung habis-habisan.

Begitu salah satu dari mereka menyentuh segel spiral di dada Rexa, tubuhnya seperti kesetrum balik. Ia mundur terpental, tubuhnya meleleh pelan seperti bayangan yang tersiram cahaya.

Kael melihatnya dan berbisik. “Mereka bukan manusia penuh. Mereka fragmen... avatar dari sesuatu yang lebih besar.”

“Jadi bayangan dari bayangan?”

“Lebih buruk. Mereka... bersisa, tapi bukan makhluk hidup. Mereka eksis hanya untuk satu tujuan: menahan hal-hal seperti dirimu.”

Mereka akhirnya berhasil memukul mundur para pengejar bertopeng itu. Tapi bukan berarti mereka menang.

Bangunan di Ravelle mulai muncul. Perlahan, satu demi satu, seperti dunia menerima kembali kenyataan yang disembunyikan.

Brugo menyentuh dinding dan terkekeh. “Yuhuuu! Akhirnya kita bisa masuk! Aku udah muak tidur di luar ditemani angin yang kayak suara mantan.”

Kael mengangguk pelan. “Segelmu... memaksa Ravelle untuk terbuka.”

Rexa mendesah. “Great. Jadi aku bukan cuma pencari kebebasan... aku juga pembuka pintu bencana.”

Saat mereka memasuki kota yang kini setengah bangkit dari tidur panjang, suara-suara mulai muncul. Gema. Rekaman jiwa-jiwa masa lalu.

“Selamat datang... Pecahan Jiwa.”

Rexa menatap ke atas. Di salah satu bangunan yang setengah runtuh, bayangan berdiri—tanpa wajah, hanya cahaya spiral sebagai mata.

“Kau harus memilih. Bergabung dengan yang membentukmu... atau hancur ditelan waktu.”

Rexa menatapnya tajam. “Aku gak gabung ke siapa-siapa. Kalau mau narik aku balik, ya... siapin peti.”

Brugo berseru, “Atau dua! Satu buat mayatmu, satu buat egomu!”

“Kadang yang ingin kau tinggalkan... justru terus menarikmu pulang. Entah untuk dihancurkan, atau... dibuat ulang.”

Rexa, memasuki Ravelle yang kembali bernapas