Beautiful Flowers near me 1

Di suatu hari, seorang wanita melahirkan seorang bayi laki-laki. Bayi itu adalah hasil dari hubungan terlarang antara seorang pria mafia kaya raya yang sukses namun sangat keja, karena dalam dunia kejahatan, semakin kejam seseorang, semakin besar pula kesuksesannya, dengan seorang pelayan wanita. Bayi laki-laki itu diberi nama Liam Vladrianda.

Sebelum Liam lahir, ayahnya sering kali memukuli ibunya dengan brutal, seperti orang yang kehilangan akal. Namun, setelah Liam lahir, ayahnya mengusir mereka berdua dengan kejam, menelantarkan mereka di luar sana tanpa sedikitpun rasa kemanusiaan. Kini, Liam dan ibunya tinggal di sebuah rumah sederhana di dalam gang yang jauh dari jangkauan ayahnya.

Ibunya berusaha keras menutupi identitas ayah Liam dari orang-orang di sekitar mereka. Ia tidak ingin suatu hari nanti Liam merasa sedih atau hancur ketika mengetahui asal-usulnya yang menyakitkan.

Seiring berjalannya waktu, Liam tumbuh menjadi anak yang cerdas dan tampan, meskipun latar belakangnya penuh kesedihan. Ia memiliki pribadi yang dingin dan cuek, berbeda dengan anak-anak seusianya yang biasanya ceria dan banyak bicara.

Suatu hari, Liam menjadi korban perundungan oleh teman-teman sekelasnya. Mereka memukulnya dan menyiram bajunya dengan air dingin, menganggap Liam anak yang lemah dan layak untuk dijadikan bahan olokan. Mereka tertawa-tawa saat melakukan itu.

Namun, Liam tidak tinggal diam. Dengan cepat, dia mengambil gagang sapu, menjambak rambut salah satu pelaku ke belakang, lalu menempelkan ujung sapu tepat di tengah rahangnya sebelum mendorongnya dengan kuat.

Jam dinding di lorong sekolah baru saja menunjuk angka delapan pagi. Di dalam toilet sekolah yang dingin dan berbau sabun pembersih, suasana mendadak mencekam. Anak-anak yang tadi tertawa kini terdiam, membeku di balik kaca pintu toilet, menyaksikan sesuatu yang tak pernah mereka bayangkan dari Liam Vladrianda, anak yang selama ini mereka anggap lemah.

Salah satu anak nakal, yang paling sering merundung Liam, kini terbatuk-batuk hebat. Wajahnya memerah, napasnya tersengal-sengal, sementara ujung gagang sapu masih menekan rahangnya. Tubuhnya gemetar, air mata mulai mengalir di pipinya.

"..b-berhenti, Liam! Aku... aku nggak bisa... bernafas..." rintihnya, suara serak dan penuh ketakutan.

Liam menatapnya dingin. Matanya yang biasanya kosong kini menyorot tajam, penuh peringatan. Ia menundukkan wajahnya ke arah anak itu, suaranya keluar sangat pelan, nyaris seperti bisikan yang menggema di telinga.

"Jangan pernah sentuh aku lagi. Jangan pernah ganggu aku... atau kau akan tahu rasanya benar-benar takut."

Nada suara Liam begitu rendah, namun justru itulah yang membuat kata-katanya terasa mengancam. Anak-anak lain yang melihat dari balik pintu saling berpandangan, tak ada yang berani bergerak.

Salah satu teman si anak nakal mencoba menarik gagang sapu dari tangan Liam, namun Liam tetap tak bergeming. Baru setelah beberapa detik, ia melepaskan tekanan sapunya. Anak nakal itu terjatuh ke lantai, terisak dan masih terbatuk-batuk, memegangi rahangnya yang sakit.

Liam hanya berdiri diam, menatap kosong ke arah lantai. Tidak ada rasa puas, tidak pula penyesalan di wajahnya. Hanya kehampaan, seolah semua ini tak berarti apa-apa baginya.

Tiba-tiba, pintu toilet terbuka lebar. Seorang guru masuk, wajahnya terkejut melihat keributan itu.

"Apa yang terjadi di sini?!" suara guru itu menggema, membuat semua anak terlonjak kaget.

Anak-anak lain saling menatap, bingung dan takut. Anak nakal yang terjatuh masih terisak, sementara Liam tetap berdiri di tempatnya, menunduk, tangan masih memegang gagang sapu.

Guru itu menatap tajam ke arah Liam. "Liam, letakkan sapu itu. Sekarang juga!"

Liam menuruti, perlahan meletakkan sapu di lantai. Ia menatap guru itu dengan mata yang sulit dibaca-ada luka, ada amarah, dan ada ketakutan yang tersembunyi di sana.

Guru itu mendekat, memeriksa anak yang terjatuh, lalu menatap Liam dengan sorot prihatin. "Kalian semua ikut saya ke ruang guru. Sekarang."

Anak-anak itu berjalan keluar satu per satu, meninggalkan toilet yang kini terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Di luar, bisik-bisik mulai terdengar, dan nama Liam mulai dibicarakan dengan nada yang berbeda-bukan lagi sebagai anak lemah, tapi sebagai seseorang yang harus diwaspadai.

Namun, di balik semua itu, Liam hanya merasa semakin terasing. Ia tahu, sejak hari ini, hidupnya di sekolah tak akan pernah sama lagi.

Setelah guru itu memerintahkan semua anak untuk ikut ke ruang guru, Liam berjalan keluar dari toilet dengan langkah tenang namun berat. Bajunya yang tadi basah kuyup akibat siraman air dingin dari teman-temannya masih menempel di tubuhnya, membuatnya merasa tidak nyaman.

Tanpa berkata sepatah kata pun, Liam menuju ke ruang ganti yang terletak tidak jauh dari toilet. Di sana, ia membuka bajunya yang basah dan menggantinya dengan baju kering yang selalu disimpan ibunya di tas sekolahnya-sebuah kaos polos berwarna gelap yang sederhana.

Sambil mengganti baju, Liam menatap cermin kecil di dinding. Wajahnya yang tampan dan ekspresinya yang dingin seolah menyimpan beban yang terlalu berat untuk seorang anak seusianya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum menghadapi guru dan teman-teman yang menunggu di ruang guru.

Setelah selesai, Liam mengenakan jaketnya, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan, lalu melangkah keluar dari ruang ganti. Ia berjalan menyusuri lorong sekolah dengan langkah mantap, siap menghadapi konsekuensi dari peristiwa yang baru saja terjadi.

Sesampainya di ruang guru, suasana menjadi hening seketika. Semua mata tertuju padanya. Liam menatap ke depan tanpa ragu, menyiapkan diri untuk menjelaskan atau menerima apa pun yang akan terjadi

Di lorong sekolah yang sepi, anak-anak nakal itu berdiri berkelompok, wajah mereka masih menyimpan kemarahan yang belum padam.

Setelah Liam masuk ke ruang guru, guru pengawas itu menutup pintu dengan tegas dan memandang semua anak yang duduk di sana, termasuk Liam dan anak-anak nakal yang sebelumnya merundungnya.

"Baiklah, saya ingin kalian semua jujur dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di toilet barusan," kata guru itu dengan suara tegas namun penuh perhatian. "Kenapa bajumu, Liam, bisa basah? Dan mengapa ada salah satu dari kalian yang terlihat kesakitan? Saya ingin tahu apa yang kalian perbuat."

Sejenak suasana menjadi hening. Anak-anak nakal saling berpandangan, ragu-ragu untuk mulai bicara. Akhirnya, salah satu dari mereka, yang paling sering mengganggu Liam, angkat suara dengan nada sedikit gugup.

"Kami... kami memang sengaja menyiram bajunya Liam dengan air dingin," ucapnya pelan. "Kami pikir dia anak lemah, jadi kami bercanda saja... tapi dia tiba-tiba melawan."

Seorang anak lain menambahkan, "Iya, dia juga dipukul beberapa kali sebelum itu. Kami pikir dia nggak akan berani membalas."

Guru itu mengangguk, lalu menoleh ke Liam. "Liam, bagaimana kamu bisa sampai mendorong gagang sapu ke rahang temanmu sampai dia kesakitan?"

Liam menatap lurus ke depan, suaranya datar namun tegas. "Mereka terus memukul dan menyiramku. Aku tidak tahan lagi. Aku cuma ingin mereka berhenti."

Seorang anak nakal yang duduk paling dekat dengan Liam terlihat menahan rasa bersalah. "Aku... aku nggak bermaksud menyakiti dia. Aku cuma ikut-ikutan teman-teman."

Guru itu menghela napas panjang. "Saya mengerti bahwa perundungan itu tidak boleh terjadi di sekolah ini. Tapi kekerasan juga bukan solusi. Kalian semua harus belajar menyelesaikan masalah dengan cara yang baik."

Ia menatap semua anak dengan serius. "Mulai sekarang, saya akan mengawasi kalian lebih ketat. Dan kalian harus mengikuti konseling supaya kejadian seperti ini tidak terulang."

Liam tetap diam, tapi di matanya tampak ada sedikit perubahan-sebuah harapan kecil bahwa mungkin suatu hari ia bisa merasa aman dan diterima.

Guru itu menatap semua anak dengan tegas, lalu berkata, "Sekarang, saya ingin kalian saling meminta maaf satu sama lain. Ini bukan hanya soal siapa yang benar atau salah, tapi tentang bagaimana kita belajar menghargai dan menghormati satu sama lain."

Anak-anak nakal itu saling berpandangan, raut wajah mereka terlihat enggan dan dipenuhi rasa kesal. Namun, mereka tahu tidak ada pilihan lain selain mengikuti perintah guru.

Satu per satu, mereka mengucapkan kata-kata permintaan maaf dengan suara yang pelan dan terpaksa. "Maaf, Liam..." kata salah satu dari mereka, suaranya terdengar hambar.

Liam hanya mengangguk pelan, menahan perasaan yang campur aduk. Ia tahu permintaan maaf itu bukan datang dari hati yang tulus.

Setelah semua selesai, guru itu menatap anak-anak nakal itu dengan penuh harap. "Ingat, permintaan maaf itu harus datang dari hati. Kalau kalian masih menyimpan rasa kesal atau dendam, itu tidak akan menyelesaikan apa-apa."

Namun, di balik pintu ruang guru, ketika guru berbalik dan meninggalkan ruangan, anak-anak nakal itu saling bertukar pandang dengan senyum sinis yang samar.

"Dia cuma beruntung kali ini," bisik salah satu dari mereka. "Nanti aku bakal buat dia menyesal."

"Ya, dia sudah mempermalukan kita semua," tambah yang lain dengan nada dingin. "Aku masih sakit di rahang ini, dan aku nggak akan lupa."

Sementara itu, Liam duduk diam, merasakan beban yang semakin berat di dadanya. Ia tahu, permusuhan ini belum berakhir. Tapi ia juga tahu, ia harus lebih kuat-bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk ibunya yang selalu berjuang di sisinya.

Guru itu menatap anak-anak yang baru saja saling meminta maaf dengan serius. Setelah memastikan semuanya sudah mengerti, ia berkata tegas, "Yasudah, kalian berdirilah di lorong sampai kelas selesai. Anggaplah itu sebagai hukuman."

Anak-anak nakal itu mengerutkan dahi, merasa kesal dan malu, tapi mereka tidak berani membantah. Liam hanya mengangguk pelan, menerima hukuman itu tanpa protes.

Guru itu lalu berbalik dan melangkah masuk ke dalam kelas, meninggalkan mereka berdiri di lorong yang sepi dan sunyi. Suasana menjadi hening, hanya terdengar suara langkah kaki guru yang menjauh.

Di lorong, anak-anak nakal itu saling bertukar pandang dengan wajah penuh kebencian yang tersembunyi di balik ekspresi pasrah. Mereka merasa dipermalukan, tapi tidak ada yang berani melawan saat ini.

Sementara Liam berdiri dengan tenang, matanya menatap lurus ke depan, seolah menantang dunia yang terus memaksanya untuk bertahan dan berjuang.

Di lorong sekolah yang sepi, anak-anak nakal itu berdiri berkelompok, wajah mereka masih menyimpan kemarahan yang belum padam.

"Ck, siapa peduli dengan hukuman ini," bisik salah satu anak nakal dengan nada sinis, matanya menyipit penuh kebencian. "Kita bahkan bisa melakukannya lebih jauh jika kita mau."

Bisikan itu segera menyebar, dan anak-anak nakal lainnya mulai saling bertukar pandang dengan senyum penuh rencana jahat.

"Lebih jauh? Sepertinya seru," gumam yang lain, suaranya rendah tapi penuh tantangan.

Sementara itu, di pinggir lorong, Liam berdiri dengan tenang. Tubuhnya tegap, wajahnya tetap dingin dan ekspresinya tak berubah. Ia menjaga jarak dari mereka, waspada namun tak menunjukkan rasa takut sedikit pun.

Mata Liam menatap lurus ke depan, seolah mengatakan bahwa ia siap menghadapi apapun yang akan datang, tanpa harus terjebak dalam permainan mereka.

Suasana di lorong itu terasa tegang, seperti badai yang belum meledak, menunggu waktu untuk pecah.

Sepulang sekolah, lorong-lorong mulai sepi. Satu per satu murid meninggalkan gedung, meninggalkan suasana yang hening dan agak mencekam. Anak-anak nakal itu menjadi yang terakhir keluar dari sekolah, berjalan berkelompok dengan langkah santai namun penuh rencana.

Saat melewati ruang kebersihan, salah satu dari mereka tiba-tiba berhenti dan menatap sebuah laci kecil yang sedikit terbuka. Laci itu biasanya menyimpan kunci-kunci toilet.

Dengan rasa penasaran dan keberanian yang lancang, ia mendekat dan mengintip ke dalam. Matanya langsung tertuju pada deretan kunci yang tergantung rapi di dalam laci.

Tanpa ragu, ia mengulurkan tangan dan dengan cepat mengambil salah satu kunci bilik toilet.

"Eh, lihat nih," bisiknya pelan kepada teman-temannya, sambil memegang kunci itu dengan senyum licik. "Ini bisa jadi alat buat main-main sama si Liam."

Anak-anak nakal lainnya saling berpandangan, rencana jahat mulai terbentuk di benak mereka. Mereka tahu, dengan kunci ini, mereka bisa mengunci Liam di dalam toilet, atau melakukan sesuatu yang lebih buruk.

Sementara itu, di sudut lorong, bayangan Liam yang baru saja lewat tidak menyadari bahaya yang mulai mengintai di balik kunci kecil itu.

Anak-anak nakal itu berbisik-bisik satu sama lain, suara mereka pelan namun penuh kegembiraan jahat. Tawa kecil dan canda sinis pecah di antara mereka, membuat suasana semakin mencekam.

"Kunci ini bakal bikin Liam kerepotan," salah satu dari mereka berbisik sambil menyembunyikan kunci di dalam saku jaketnya.

"Malam ini kita atur rencananya," tambah yang lain dengan senyum penuh tipu daya.

Setelah memastikan tidak ada orang yang mengawasi, mereka bergegas meninggalkan sekolah. Langkah mereka ringan, namun pikiran mereka dipenuhi oleh rencana-rencana nakal yang akan segera mereka jalankan.

Pintu gerbang sekolah tertutup di belakang mereka, sementara kunci bilik toilet itu tetap tersembunyi aman di salah satu saku, menjadi simbol ancaman baru yang siap menghantui Liam.

Hari itu, suasana sekolah kembali dipenuhi ketegangan yang tak terlihat oleh guru-guru. Saat Liam baru saja memasuki gedung sekolah dan melangkah menuju kelasnya, salah satu anak perundung yang sudah lama membencinya berdiri di sudut lorong.

Dengan cepat, anak itu menyelengketkan kaki Liam tanpa ampun. Liam tersandung ke depan, hampir terjatuh, namun dengan reflek cepat ia berhasil menahan tubuhnya agar tetap tegak. Anak perundung itu hanya tersenyum sinis, lalu berjalan santai menuju kelasnya tanpa sedikitpun menoleh.

Liam menghela napas panjang. Ia sudah lama menahan semua perlakuan buruk itu, berusaha bersabar demi ibunya dan demi dirinya sendiri. Meski hatinya penuh luka, ia tetap melangkah ke dalam kelas dengan kepala tegak.

Namun, saat ia sampai di mejanya, langkahnya terhenti. Matanya membeku melihat coretan-coretan penuh hinaan yang menutupi permukaan kayu meja itu.

Tulisan-tulisan itu begitu kasar dan menyakitkan:

"Liam! Kamu tahu apa yang lebih buruk dari anjing? Ya, itu kamu!"

"Kamu hanyalah anak miskin! Mau sampai kapan kamu bersekolah? Lebih baik kau menjadi pemungut sampah di jalan!"

"Liam sialan, anak tanpa ayah yang tidak tahu diri. Seharusnya kau tahu tempatmu!"

Hati Liam seperti diremas. Kata-kata itu menusuk jauh ke dalam, mengingatkannya pada luka lama yang tak pernah sembuh. Namun, ia menahan air mata yang hampir jatuh. Dengan tangan gemetar, ia mengusap meja itu perlahan, mencoba menenangkan dirinya.

Di dalam kelas, suara tawa dan bisik-bisik teman-teman sekelasnya terdengar samar. Namun Liam memilih diam, menundukkan kepala sejenak sebelum duduk di mejanya. Di balik dinginnya sikapnya, ada api kecil yang mulai menyala-api tekad untuk tidak membiarkan kata-kata itu menghancurkannya.

Liam menghela napas pelan, menahan rasa sakit yang menggerogoti hatinya. Dengan langkah pelan, ia membuka tasnya dan mengambil selembar tisu. Tangannya sedikit gemetar saat ia mulai mengusap coretan-coretan kasar itu di permukaan meja.

Setiap kali tisu menyapu tulisan-tulisan penuh kebencian itu, seolah ada beban yang sedikit terangkat, meski luka di dalam hatinya tetap terasa dalam. Namun, wajah Liam tetap datar, tanpa ekspresi. Matanya kosong, seolah tak ada perasaan yang muncul ke permukaan.

Sebenarnya, di balik ketenangan itu, ada ribuan emosi yang bergejolak-kesedihan, kemarahan, kecewa, dan rasa ingin menyerah. Tapi Liam memilih untuk menyembunyikan semuanya. Ia tidak ingin orang lain melihat betapa rapuhnya dirinya.

Ia terus menghapus coretan itu sampai meja kembali bersih, meninggalkan permukaan kayu polos yang sunyi. Setelah selesai, Liam menatap meja itu sejenak, lalu menundukkan kepala dan duduk dengan tenang.

Di dalam hatinya, ia berjanji untuk tidak membiarkan kata-kata kasar itu menentukan siapa dirinya. Meski dunia di sekitarnya penuh dengan kebencian, Liam tahu ia harus tetap kuat-untuk dirinya sendiri dan untuk ibunya yang selalu berjuang.

Hari itu, Liam merasa tubuhnya kurang enak. Ibunya sudah berulang kali menyuruhnya untuk beristirahat di rumah, berharap Liam bisa memulihkan tenaga dan menjauh dari segala masalah di sekolah. Namun, Liam menolak dengan tegas.

"Aku masih kuat, Bu. Aku akan pergi ke sekolah hari ini," jawabnya dengan suara pelan namun mantap.

Setelah sampai di kelas, Liam duduk di kursinya dengan langkah yang sedikit lesu. Ia membuka buku catatannya dan mulai membaca-baca pelan, mencoba mengalihkan pikirannya dari rasa tidak nyaman yang mengganggu tubuhnya.

Suasana kelas masih sepi, belum ada guru yang masuk. Liam menatap halaman-halaman buku itu dengan fokus, berusaha menyerap pelajaran meskipun badannya terasa berat.

Setelah guru masuk, suasana kelas menjadi tenang dan tertib. Semua murid duduk rapi di tempat masing-masing, siap mengikuti pelajaran dengan serius. Suara guru yang menjelaskan materi mengisi ruang kelas, menciptakan suasana belajar yang kondusif.

Namun, di tengah pelajaran, suasana itu tiba-tiba terganggu. Sebuah kertas yang sudah dikepalkan dilemparkan dari belakang kelas. Kertas itu meluncur cepat dan tanpa diduga mengenai wajah Liam.

Liam terkejut, matanya membelalak sejenak saat merasakan benturan kertas itu. Ia menoleh ke arah sumber lemparan dengan ekspresi dingin, mencoba mengendalikan rasa kaget dan marah yang mulai membara.

Suasana kelas menjadi sedikit tegang, beberapa murid menahan napas, menunggu reaksi Liam.

Mendengar suara kertas yang melayang dan mengenai Liam, guru matematika segera menoleh ke arah sumber suara dengan tatapan serius. Suasana kelas menjadi hening seketika.

"Hei, hei, hei! Siapa di sana yang bermain-main dengan kertas?" suara guru terdengar tegas dan penuh kewibawaan.

"Berdirilah dan keluar sekarang juga! Jangan menjadi pengganggu di kelasku!" tegasnya, menatap tajam ke arah barisan belakang kelas.

Anak yang melempar kertas itu terlihat gugup, tubuhnya sedikit gemetar. Ia perlahan berdiri dan melangkah keluar dari kelas, sementara murid-murid lain menunduk dan menjaga ketertiban.

Guru kembali menatap kelas dengan serius, lalu melanjutkan pelajaran dengan suara yang lebih tegas, memastikan tidak ada lagi gangguan.

Bel pulang berdering nyaring menandakan berakhirnya pelajaran hari itu. Liam dengan tenang mulai merapihkan barang-barangnya, satu per satu buku dan alat tulis dimasukkan kembali ke dalam tasnya. Setelah semua rapi, ia mengenakan tasnya dan bersiap keluar dari kelas.

Namun, sebelum pergi, Liam merasa tangannya agak kotor setelah belajar seharian. Ia memutuskan untuk mencuci tangan terlebih dahulu di toilet sekolah dia sering mencuci tangannya dan hampir setiap hari jika tangannya sedikit kotor.

Saat Liam melangkah keluar kelas dan menuju toilet, anak-anak nakal yang selama ini sering mengganggunya juga baru saja keluar dari kelas mereka. Mereka memperhatikan Liam dengan tatapan penuh niat, lalu tanpa ragu mengikuti Liam masuk ke dalam toilet.

Suasana menjadi tegang. Liam menyadari kehadiran mereka, namun tetap berusaha tenang, bersiap menghadapi apa pun yang mungkin terjadi.

Liam belum menyadari bahwa ada yang mengikutinya. Ia terus mencuci tangannya dengan tenang, fokus pada air yang mengalir dan sabun yang membersihkan. Saat ia membalikkan badan, matanya membelalak sedikit terkejut.

Di belakangnya, berdiri enam anak nakal yang selama ini sering mengganggunya. Wajah mereka penuh dengan niat jahat. Tanpa aba-aba, mereka langsung menyerang Liam.

Beberapa dari mereka sudah membawa tali, siap mengikat Liam. Liam yang hanya seorang diri jelas berada dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan. Ia berusaha melawan, namun jumlah mereka yang banyak membuatnya kewalahan.

"apa yang harus ku lakukan.." batinnya

Suasana di dalam toilet menjadi kacau. Suara desakan dan perjuangan memenuhi ruang sempit itu. Liam tahu, kali ini ia benar-benar dalam bahaya.

"Lepaskan aku!" teriak Liam dengan suara penuh kepanikan. Ia mencoba berteriak lagi, namun mulutnya segera diikat rapat menggunakan kain agar tidak bisa berbicara atau berteriak.

Setelah tangan dan kakinya diikat dengan kuat, para anak nakal itu menyeret Liam ke dalam salah satu bilik toilet. Dengan kasar mereka mengunci pintu bilik itu dari luar.

Setelah berhasil, mereka tertawa-tawa jahat, meninggalkan Liam sendirian dalam kegelapan dan kesunyian bilik toilet yang sempit.

Di dalam bilik itu, Liam hanya bisa menahan air matanya. Rasa takut dan putus asa menyelimuti hatinya. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Tubuhnya tak bisa bergerak karena terikat, dan mulutnya tertutup kain sehingga ia tak mampu bersuara.

Kesunyian yang mencekam itu seolah menelan semua harapan yang ia miliki. Namun di balik itu, ada tekad kecil yang mulai tumbuh di dalam dirinya, tekad untuk bertahan dan mencari cara keluar dari situasi mengerikan ini.

Di dalam kegelapan bilik toilet yang sempit, suara batin Liam bergema pelan, penuh ketakutan dan kesedihan.

"Ibu, aku... aku takut," bisiknya lirih, air matanya mulai mengalir tanpa bisa ia tahan lagi.

Ia mencoba menggerakkan tangan dan kakinya, berusaha melepaskan ikatan tali yang mengikat tubuhnya dengan erat. Namun, usaha itu sia-sia. Tali itu terlalu kuat, dan Liam tak mampu membebaskan dirinya sendiri.

Rasa putus asa mulai merayapi hatinya, namun di balik ketakutan itu, ada secercah harapan yang tak mau padam. Ia tahu, ia harus tetap kuat, walau saat ini ia merasa sangat rapuh.

Liam terkurung di dalam bilik toilet yang sempit selama berjam-jam setelah kelas selesai. Kepala dan tubuhnya mulai terasa pusing hebat, napasnya semakin berat. Rasa lelah dan kelaparan mulai menguasai, seolah-olah tubuhnya akan menyerah dan pingsan di sana.

Sementara itu, di rumah, ibunya mulai merasa gelisah. Liam belum juga pulang dari sekolah, dan telepon genggamnya tak kunjung berdering. Kekhawatiran mulai merayapi pikirannya. Ia mencoba menghubungi pihak sekolah, berharap mendapatkan kabar tentang anaknya.

Namun, jawaban yang diterimanya justru membuat hatinya semakin cemas. Pihak sekolah mengatakan bahwa semua murid sudah pulang dan tidak ada yang tertinggal di sekolah. Mereka tidak tahu keberadaan Liam.

Ibunya menggigit bibir, air mata mulai menggenang di matanya. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Liam. Ketakutan dan rasa cemas menguasai dirinya, berharap ada keajaiban yang segera membawa kabar baik.

Malam semakin larut, namun ibunda Liam masih belum juga menemukan kabar tentang putranya. Dengan penuh kecemasan, ia menghubungi saudara, teman-teman dekat Liam, bahkan tetangga di sekitar rumah, berharap ada yang mengetahui keberadaan anaknya. Namun, semua jawaban sama-tidak ada yang tahu di mana Liam berada.

Kepanikan mulai merayapi hati sang ibu. Waktu terus berjalan, dan malam semakin gelap, tapi Liam tetap tak kunjung pulang.

Sementara itu, di sekolah, tepatnya di dalam salah satu bilik toilet yang tersembunyi, Liam sudah pingsan. Matanya terpejam rapat, tubuhnya lemah dan terkulai karena kelelahan yang luar biasa. Hari ini ia memang sedang tidak enak badan, dan kondisi tubuhnya yang lemah membuatnya tak mampu melawan lagi.

Keheningan malam menyelimuti bilik toilet itu, hanya suara napas Liam yang terdengar pelan, seolah menunggu pertolongan yang belum datang.

Malam itu, seorang bapak petugas kebersihan sekolah sedang berjaga dan memeriksa toilet anak-anak di lantai satu. Ia berjalan perlahan, menyalakan lampu senter kecil untuk memastikan setiap sudut bersih dan aman.

Saat ia melewati deretan bilik toilet, ia merasa bingung melihat salah satu pintu bilik terkunci rapat. Padahal, ia yakin dirinya tidak menguncinya sebelumnya. Rasa penasaran membuatnya segera menuju ke sebuah ruangan kecil tempat penyimpanan kunci-kunci toilet.

Namun, saat membuka laci kunci cadangan, petugas itu semakin bingung. Kunci cadangan untuk bilik toilet yang terkunci itu hilang dari tempatnya. Hanya tersisa satu kunci yang tersisa di sana.

Tanpa ragu, bapak petugas kebersihan mengambil kunci yang ada dan bergegas kembali ke toilet. Dengan hati-hati, ia membuka kunci bilik yang terkunci tersebut.

Alangkah terkejutnya ia saat menemukan seorang anak kecil terikat dengan tali di dalam bilik itu, dalam keadaan pingsan. Wajah anak itu pucat, tubuhnya lemah, dan mulutnya masih terikat kain.

Petugas itu segera mengangkat anak itu dengan hati-hati, berusaha membangunkannya dan memanggil bantuan.

Petugas kebersihan itu dengan hati-hati membuka ikatan kain yang menutupi mulut Liam, lalu perlahan melepaskan tali yang mengikat tangan dan kakinya. Ia memeriksa kondisi anak itu dengan cemas. Liam masih pingsan, napasnya pelan dan tubuhnya lemah.

Tanpa membuang waktu, petugas itu segera mengeluarkan ponselnya dan menghubungi wali kelas Liam. Suaranya terdengar serius dan penuh kekhawatiran saat menjelaskan situasi yang baru saja ditemukannya.

"Pak, saya menemukan Liam di bilik toilet sekolah dalam keadaan pingsan dan terikat. Saya sudah membebaskannya, tapi dia masih belum sadar. Tolong segera hubungi orang tua Liam dan beri tahu mereka kondisinya," ujar petugas kebersihan itu.

Wali kelas itu segera mengiyakan dan berjanji akan menghubungi ibu Liam secepat mungkin. Petugas kebersihan pun tetap berada di dekat Liam, menunggu bantuan medis datang dan memastikan anak itu tetap aman.

Begitu menerima kabar dari wali kelas, hati ibu Liam langsung dipenuhi kecemasan dan ketakutan. Tanpa membuang waktu, ia segera bersiap dan bergegas menuju sekolah dengan cepat.

Perasaan campur aduk antara lega karena Liam ditemukan dan khawatir atas kondisinya membuat langkahnya semakin cepat. Dalam perjalanan, ia terus berdoa agar anaknya segera sadar dan mendapatkan pertolongan yang terbaik.

Sesampainya di sekolah, ia langsung menuju ke tempat di mana Liam berada, berharap bisa segera memeluk dan memastikan putranya baik-baik saja.

Setelah ditemukan dalam keadaan pingsan di bilik toilet, Liam segera dibawa ke ruang kesehatan sekolah oleh petugas kebersihan dan wali kelas. Di sana, guru dan petugas medis sekolah segera memeriksa kondisinya dengan penuh perhatian.

Liam mulai menunjukkan tanda-tanda sadar perlahan. Matanya yang tertutup rapat mulai terbuka sedikit demi sedikit, menatap sekeliling dengan pandangan yang lemah namun penuh kebingungan.

Ibu Liam tiba tak lama kemudian, wajahnya dipenuhi rasa lega dan haru saat melihat putranya mulai sadar. Ia duduk di samping Liam, menggenggam tangannya dengan lembut, memberikan semangat dan rasa aman.

Petugas medis memberikan air putih dan menyarankan Liam untuk beristirahat sejenak. Mereka juga mencatat kondisi Liam dan berencana untuk menghubungi dokter jika diperlukan.

Meski tubuhnya masih lemah dan wajahnya pucat, Liam perlahan mulai pulih. Ia mendengarkan suara ibu dan guru di sekitarnya, merasa sedikit lebih tenang meski trauma dari kejadian itu masih membekas.

Ibu Liam berjanji akan selalu mendampingi dan melindungi putranya, sementara sekolah berjanji untuk mengambil tindakan tegas agar kejadian serupa tidak terulang lagi.

Setelah kejadian mengerikan yang menimpa Liam terungkap, pihak sekolah segera mengambil langkah tegas untuk menangani kasus tersebut. Kepala sekolah mengadakan rapat khusus dengan guru-guru dan staf terkait untuk menyelidiki kejadian ini secara menyeluruh.

Salah satu fokus utama adalah mencari tahu siapa anak yang mengambil kunci cadangan toilet dari dalam laci, sehingga bilik toilet bisa terkunci dan Liam terkurung di dalamnya. Pihak sekolah juga berusaha mengidentifikasi siapa saja anak-anak yang terlibat dalam mengurung dan mengikat Liam di kamar mandi.

Guru dan petugas keamanan sekolah mulai melakukan wawancara dengan murid-murid yang ada di kelas dan di sekitar lokasi kejadian. Mereka juga memeriksa rekaman kamera pengawas (CCTV) sekolah untuk mendapatkan bukti yang jelas.

Sekolah berkomitmen untuk memberikan sanksi tegas kepada pelaku perundungan sesuai dengan aturan yang berlaku, serta memberikan pendampingan kepada Liam agar bisa pulih secara psikologis dan fisik.

Selain itu, sekolah juga mengadakan sosialisasi dan pelatihan anti-perundungan bagi seluruh murid dan staf, guna menciptakan lingkungan belajar yang aman dan nyaman bagi semua siswa.

Kepala sekolah menyampaikan kepada orang tua murid bahwa keselamatan dan kesejahteraan anak-anak adalah prioritas utama, dan pihak sekolah akan terus memantau perkembangan kasus ini dengan serius.

Liam beruntung bisa cepat pulih dari sakit dan trauma yang dialaminya. Setelah kejadian, anak-anak nakal yang terlibat dalam perundungan tersebut dipindahkan ke sekolah lain sebagai bagian dari tindakan tegas sekolah untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman. Kini, Liam kembali bersekolah seperti biasa, dengan dukungan dari guru dan keluarganya agar ia bisa pulih secara fisik dan psikologis serta menjalani hari-harinya dengan tenang. Sekolah juga terus memantau dan memberikan pendampingan agar kejadian serupa tidak terulang.

Kini, kondisi Liam sudah sangat membaik. Setelah melewati masa sulit dan pemulihan, ia kembali menjalani aktivitasnya dengan semangat baru. Setiap hari setelah pulang sekolah dan berganti baju, Liam membantu ibunya bekerja di toko bunga milik keluarga mereka.

Bekerja bersama ibunya tidak hanya membuat Liam merasa lebih kuat, tetapi juga memberinya kesempatan untuk belajar banyak hal baru dan mempererat ikatan dengan sang ibu. Suasana hangat di toko bunga itu menjadi tempat yang menenangkan, tempat Liam bisa melupakan sejenak kenangan pahit yang pernah dialaminya.

Dengan dukungan keluarga dan lingkungan yang lebih baik, Liam mulai menatap masa depan dengan penuh harapan dan keyakinan. Ia bertekad untuk terus belajar dan tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan penuh kebaikan.

Sore hari di toko bunga milik ibu Liam dipenuhi dengan aroma harum bunga segar yang beraneka warna. Matahari mulai meredup, menyinari ruangan dengan cahaya lembut yang membuat suasana semakin hangat dan nyaman.

Di tengah toko, Liam yang baru saja berganti baju sekolah, sibuk membantu ibunya merapikan rangkaian bunga. Meski usianya baru tujuh tahun, semangat dan ketelatenannya membuat siapa saja yang melihatnya tersenyum kagum.

Tak lama kemudian, seorang pelanggan masuk ke toko. Liam segera melangkah maju dengan penuh percaya diri, menyapa dengan suara lembut, "Selamat sore, ada yang bisa saya bantu?"

Pelanggan itu tersenyum hangat, terkesan melihat anak kecil yang begitu sopan dan ramah. Perlahan, beberapa pengunjung lain yang sedang berada di toko juga mulai memperhatikan Liam. Mereka terkesan melihat betapa Liam sudah mau membantu ibunya dengan penuh tanggung jawab meski usianya masih sangat muda.

Ibunya tersenyum bangga melihat putranya yang mulai belajar melayani pelanggan dengan baik. "Terima kasih sudah membantu, Nak," ucapnya lembut sambil menepuk bahu Liam.

Liam merasa bahagia dan percaya diri, menikmati setiap momen di toko bunga itu. Suasana hangat dan penuh kasih sayang membuat hari-harinya menjadi lebih cerah dan penuh harapan.

Keesokan harinya di sekolah, suasana terasa jauh berbeda bagi Liam. Anak-anak nakal yang dulu sering mengganggunya sudah tidak ada lagi di sekitar kelas. Lingkungan belajar menjadi lebih tenang dan nyaman, membuat Liam bisa fokus sepenuhnya pada pelajaran.

Dengan semangat yang baru, Liam belajar dengan sangat baik. Ia rajin mencatat, bertanya saat kurang paham, dan selalu mengerjakan tugas tepat waktu. Guru-guru pun mulai memperhatikan perubahan positif pada dirinya.

Usahanya tidak sia-sia. Pada akhir semester satu, Liam berhasil meraih peringkat pertama di kelasnya. Prestasi ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi Liam dan keluarganya, sekaligus bukti bahwa ia mampu bangkit dan melampaui masa sulitnya.

Kepala sekolah dan guru-guru memberikan penghargaan khusus untuk Liam, sekaligus mengapresiasi semangat dan ketekunannya. Teman-teman pun mulai melihat Liam dengan rasa hormat dan kagum.

Kini, Liam menjalani hari-harinya di sekolah dengan penuh percaya diri dan harapan cerah untuk masa depan.

Sepulang sekolah, Liam berjalan pulang dengan langkah ringan, menikmati udara sore. Namun, suasana tiba-tiba berubah menjadi mencekam saat beberapa pria muncul dan mulai berteriak keras memanggil namanya.

"Liam! Suruh ibumu segera bayar hutangnya! Waktunya sudah hampir habis!" teriak salah satu pria dengan suara kasar.

Liam terkejut dan ketakutan. Ia tahu ibunya sedang menghadapi kesulitan, tapi ia tidak siap menghadapi situasi ini. Pria-pria itu mulai mendekat, mengepungnya dan terus mendesak.

Tanpa pikir panjang, Liam mulai berlari secepat mungkin, napasnya tersengal-sengal karena takut dan kelelahan. Ia berlari melewati gang-gang sempit, berusaha menghindari para penagih yang terus memburunya.

Jantungnya berdetak kencang, dan ia merasa tidak punya waktu untuk beristirahat. Dalam kepanikan itu, Liam hanya berharap bisa sampai rumah dengan selamat dan memberitahu ibunya tentang bahaya yang mengancam.

Saat berlari secepat mungkin, kaki Liam tiba-tiba tersandung sebuah batu kecil di jalan. Tubuhnya terjatuh keras ke tanah, dan rasa sakit langsung menjalar ke kakinya. Ia berusaha bangkit, namun kakinya terasa nyeri dan sulit untuk digerakkan.

Beberapa pria penagih hutang yang mengejarnya segera menyusul dan berdiri di dekat Liam dengan ekspresi dingin. Salah satu dari mereka berkata dengan suara tegas, "Bangun, Liam! Bawa kami ke rumahmu sekarang juga. Suruh ibumu bayar hutangnya!"

Liam menahan rasa sakit, mencoba berdiri dengan susah payah. Meski takut dan kesakitan, ia tahu tidak punya pilihan lain selain menurut. Dengan langkah tertatih-tatih, ia mulai berjalan di depan para pria itu, membawa mereka menuju rumahnya.

Di dalam hatinya, Liam berharap ibunya bisa segera menyelesaikan masalah ini, dan ia berdoa agar semuanya cepat berlalu tanpa bahaya yang lebih besar.

Saat Liam tiba di depan rumah dengan langkah tertatih-tatih, diikuti oleh pria-pria penagih hutang, pintu rumah tiba-tiba terbuka. Ibunya keluar dan langsung terkejut melihat putranya datang bersama para pria yang menagih hutang.

Tanpa ragu, ibu Liam segera menarik Liam masuk ke dalam rumah, melindunginya dengan penuh kasih sayang. Namun, para pria itu tetap berdiri di depan pintu dengan sikap tegas.

"Saya beri waktu sampai akhir minggu ini! Bayar hutangmu sekarang juga!" suara salah satu pria terdengar keras dan penuh tekanan.

Ibu Liam menunduk, wajahnya penuh kecemasan. Ia menggeleng pelan, suaranya bergetar saat berkata, "Maaf... saya belum punya uang sama sekali. Penghasilan dari toko bunga saya pakai untuk kebutuhan Liam. Saya janji akan berusaha membayar secepatnya."

Para pria itu saling berpandangan, namun tetap menuntut agar hutang segera dilunasi. Ibunya terus memohon dengan penuh harap, berharap ada jalan keluar dari kesulitan yang menimpa keluarganya.

Salah satu pria penagih hutang melangkah maju, menatap tajam ke arah ibu Liam dengan suara dingin dan tegas,

"Dengar baik-baik. Jika kalian tidak melunasi hutang dalam waktu dekat, kami tidak segan-segan mengambil rumah ini sebagai gantinya."

Ucapan itu menggantung berat di udara, membuat ibu Liam terdiam dan hatinya semakin berat. Para pria itu kemudian berbalik dan meninggalkan rumah dengan langkah pasti, meninggalkan ketegangan dan kekhawatiran yang mendalam.

Ibu Liam menutup pintu perlahan, tubuhnya gemetar menahan rasa takut dan tekanan yang baru saja datang. Di dalam rumah, Liam yang masih terluka duduk di sofa, memandang ibunya dengan mata penuh kekhawatiran.

Meski ancaman itu sangat menakutkan, ibu Liam berusaha tetap tegar demi Liam. Ia berjanji dalam hati akan mencari jalan keluar dan melindungi keluarganya dari bahaya yang mengintai.

Setelah para pria penagih hutang pergi, ibu Liam menutup pintu dengan perlahan. Ia menghela napas pelan, berdiri dengan kepala tertunduk, dan wajahnya penuh kesedihan serta kebingungan. Beban hutang yang harus dilunasi terasa sangat berat baginya.

Melihat ibunya yang sedih, Liam segera berdiri dan berjalan mendekat. Dengan lembut ia memegang tangan ibunya dan menatap wajahnya penuh perhatian.

"Maaf karena aku telah merepotkan ibu selama ini," ucap Liam dengan suara kecil namun penuh ketulusan.

"Apakah pria-pria itu membuat ibu sedih? Aku akan membantu ibu melunasi hutang ibu. Ibu jangan khawatir."

Mendengar kata-kata tulus dari putranya, ibu Liam tersenyum hangat dan matanya mulai berkaca-kaca. Ia memeluk Liam erat-erat, merasakan kekuatan dan harapan yang datang dari anak kecil itu.

"Terima kasih, Nak. Ibu sangat senang kamu ingin membantu," ucapnya sambil terus memeluk putranya dengan penuh kasih sayang.

Di tengah kesulitan dan ketidakpastian, momen itu menjadi sumber kekuatan baru bagi mereka berdua. Mereka tahu, selama saling mendukung, mereka bisa menghadapi segala tantangan bersama.

Keesokan harinya, dengan semangat yang baru, Liam memutuskan untuk mulai membantu ibunya. Ia membawa catatan yang sudah dibuat bersama ibunya di rumah, berisi daftar bahan-bahan yang harus dibeli untuk membuat kue.

Dengan penuh tanggung jawab, Liam pergi ke toko sendiri, memilih dan membeli bahan-bahan dengan teliti. Ia juga membeli beberapa barang tambahan yang bisa dijual untuk menambah penghasilan keluarga.

Sesampainya di rumah, Liam langsung menuju dapur. Dengan bantuan ibunya, ia mulai membuat kue coklat ringan dan kecil. Prosesnya penuh keceriaan dan kerja sama, ibunya mengajarkan langkah demi langkah sambil memberikan semangat.

Akhirnya, mereka berhasil membuat kue coklat yang cantik. Kue itu berwarna coklat pekat dengan topping biskuit berbentuk beruang yang menggemaskan di atasnya. Rasanya manis dan lezat, sempurna untuk dijual di jalan.

Liam merasa bangga melihat hasil karyanya. Dengan penuh semangat, ia siap membawa kue-kue itu ke jalan untuk dijual, berharap bisa membantu meringankan beban ibunya.

Sementara itu, di toko bunga warisan keluarga, ibu Liam melayani setiap pelanggan dengan ramah dan penuh perhatian. Ia dengan teliti memeriksa setiap tangkai bunga, memastikan semuanya masih segar dan wangi, agar pelanggan merasa puas dengan pembeliannya. Senyum hangatnya membuat suasana toko menjadi lebih hidup, meski beban pikiran tentang hutang yang harus segera dilunasi masih menghantui hatinya.

Di jalanan, Liam terus berjualan kue-kue buatannya. Terik matahari musim panas menyengat kulitnya, keringat membasahi dahinya, dan tubuhnya mulai terasa lelah. Namun, tekadnya sudah bulat. Ia sudah berjanji pada ibunya untuk membantu melunasi hutang, dan itu memberinya semangat yang tak tergoyahkan.

Orang-orang yang lewat tak bisa menahan diri untuk memperhatikan bocah kecil yang gigih itu. “Anak sekecil itu sudah berjualan, dia hebat sekali,” komentar seorang ibu sambil tersenyum.

“Dia pasti sedang membantu keluarganya. Anak yang sangat manis,” tambah seorang pria yang sedang berjalan bersama anaknya.

“Imut sekali,” celetuk seorang gadis muda.

“Ya, dan dia tidak malu berjualan. Jiwa bisnisnya sudah muncul sejak dini. Lihat deh, kue-kue yang dibawanya tampak enak, aku jadi ingin membelinya,” ujar seorang wanita paruh baya.

Satu per satu, orang-orang itu membeli kue-kue yang dijual Liam. Senyum kecil muncul di wajah Liam setiap kali ada yang membeli. Tak terasa, hari mulai sore dan dagangannya sudah habis terjual.

Meski tubuhnya sangat lelah, hati Liam penuh kebahagiaan. Di hari pertamanya berjualan, ia sudah berhasil menghasilkan uang. Ini adalah langkah kecil yang berarti, sebuah awal dari perjuangan mereka untuk menghadapi masa depan yang lebih baik

Suatu siang, ketika Liam sedang duduk menunggu pembeli, ia melihat sekelompok anak-anak dari sekolahnya sedang bermain di sekitar situ. Mereka adalah anak-anak yang selama ini sering merundungnya. Begitu melihat Liam, mereka langsung menghentikan langkah dan mulai tertawa mengejek.

“Lihat deh! Siapa yang berjualan itu? Ternyata kamu, Liam! Hahaha!” seru salah satu dari mereka dengan suara keras, sengaja agar orang-orang sekitar mendengar.

“Kue ya? Pasti kuenya nggak enak. Kenapa masih ada aja yang mau beli?” tambah yang lain, suaranya dipenuhi nada meremehkan.

“Pasti rasa kuenya kayak tai! Huekk!” ejek anak ketiga, membuat yang lain tertawa terbahak-bahak.

“Sungguh menyedihkan, anak ini. Dia itu sampah negara!” ujar yang lain dengan suara penuh penghinaan.

Liam hanya menunduk, menahan perasaan sakit yang kembali menggores hatinya. Namun, ia berusaha tetap tenang dan tidak membalas. Ia tahu, hinaan itu tidak akan mengubah tekadnya untuk membantu ibunya. Ia memilih diam, membiarkan kata-kata kasar itu berlalu bersama angin, dan tetap berharap ada orang baik yang datang membeli kue-kue buatannya.

"kuenya pasti ada racunnya!” ejekan terakhir yang membuat suasana semakin tidak nyaman.

Liam mendengar kata-kata kasar itu dengan hati yang sakit. Namun, ia menahan air mata dan berusaha tetap tenang. Ia tahu, ia harus kuat dan tidak membiarkan kata-kata mereka meruntuhkan semangatnya.

Ketika anak-anak nakal itu mulai mengejek Liam dengan kata-kata kasar, orang-orang yang berada di sekitar segera bereaksi. Seorang ibu yang sedang lewat dengan anaknya menegur mereka dengan tegas,

“Hei, jangan ganggu anak itu yang sedang berjualan! Dia sedang berusaha keras untuk membantu keluarganya.”

Beberapa orang lain ikut menambahkan nasihat, mengingatkan anak-anak nakal itu untuk bersikap lebih baik dan menghormati usaha orang lain. Suasana menjadi lebih tenang, dan anak-anak nakal itu akhirnya pergi dengan enggan.

Melihat kejadian itu, beberapa orang yang ada di sekitar langsung membeli kue dagangan Liam sebagai bentuk dukungan. Suasana menjadi hangat dan penuh semangat.

Tak lama kemudian, pria yang kemarin membawa anaknya untuk membeli kue kembali datang. Ia tersenyum dan berkata,

“Anakku sangat suka kue ini, rasanya enak sekali. Aku ingin membeli lebih banyak hari ini.”

Liam pun tersenyum kecil, hatinya hangat oleh kebaikan orang-orang yang peduli dan mendukungnya. Momen itu memberinya kekuatan baru untuk terus berjuang dan tidak menyerah.

Tak sampai sore, dagangan kue buatan Liam kembali habis terjual, sama seperti hari-hari sebelumnya. Dengan langkah lelah namun penuh kebanggaan, Liam pulang ke toko bunga milik ibunya untuk beristirahat.

Sesampainya di toko, ibu Liam menyambutnya dengan senyum hangat dan penuh rasa bangga.

“Kamu hebat, Nak. Dengan penghasilanmu sendiri, kamu sudah membantu ibu sekali lagi,” ucapnya penuh haru.

Ibu Liam pun memberikan sekotak susu dan sebungkus roti sebagai bekal dan penghibur untuk Liam yang sudah bekerja keras sepanjang hari.

“Minumlah susu ini dan makan rotinya, supaya kamu kuat dan tetap sehat,” katanya lembut.

Liam menerima dengan senang hati, merasa diperhatikan dan dicintai. Momen sederhana itu menjadi sumber semangat baru bagi keduanya untuk terus berjuang menghadapi segala tantangan.

Di rumah yang sederhana, jam menunjukkan pukul 8 malam. Liam mulai bersiap untuk tidur setelah hari yang panjang dan melelahkan. Ia berjalan ke kamar mandi kecil di sudut rumah, membasuh kaki dan tangannya dengan air hangat, merasakan kesegaran yang menenangkan.

Setelah itu, Liam mengambil sikat gigi dan dengan teliti menyikat giginya, memastikan kebersihan sebelum beristirahat. Ia lalu berjalan menuju kamar tidur, menutup pintu dengan perlahan agar suasana tetap tenang.

Lampu di kamar dimatikan, menyisakan gelap yang nyaman. Liam naik ke ranjang sederhana yang sudah disiapkan, menutupi tubuhnya dengan selimut hangat. Ia memejamkan mata, membiarkan tubuhnya rileks dan terlelap dalam tidur yang nyenyak, mengumpulkan tenaga untuk hari esok yang penuh harapan.

Pukul 5 pagi, Liam terbangun seperti biasa dengan semangat yang tak pernah padam. Ia segera bangun dan mulai membantu ibunya membuat kue yang akan dijualnya sepulang sekolah nanti. Dengan bantuan ibunya, mereka bekerja bersama di dapur, mencampur bahan dan memanggang kue dengan penuh perhatian.

Setelah kue selesai dibuat, Liam bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Ia mandi, sarapan dengan cepat namun bergizi, dan pada pukul 7 pagi ia berangkat menuju sekolah dengan langkah mantap.

Sementara itu, ibu Liam juga memulai harinya. Ia berangkat ke toko bunga keluarga mereka. Setibanya di sana, ia perlahan membuka pintu toko dengan hati-hati, memastikan semuanya aman. Ia mulai merapikan isi toko, menyusun bunga-bunga segar agar tampak menarik dan harum, berharap banyak pembeli yang datang hari itu.

Di sekolah, Liam masuk ke dalam kelas dan duduk di bangkunya. Ia belajar dengan fokus dan tekun, berusaha meraih prestasi terbaik demi masa depan yang lebih cerah.

Di sekolah, hari itu diadakan berbagai macam lomba yang wajib diikuti oleh semua murid. Ada lomba menggambar, mewarnai, lomba berlari, serta pertandingan basket dan sepak bola yang akan berlangsung di jam-jam berikutnya.

Pada jam pertama, lomba yang diadakan adalah lomba menggambar dan mewarnai. Liam merasa cukup percaya diri karena ia memang pandai menggambar. Namun, ia tahu bahwa kemampuan mewarnainya masih perlu diasah lebih baik lagi.

Dengan penuh semangat, Liam mulai menggambar dengan teliti dan kreatif. Hasil gambarnya sangat menarik dan mendapat banyak pujian dari guru dan teman-temannya. Saat lomba mewarnai, ia berusaha sebaik mungkin meskipun hasilnya belum sempurna.

Ketika pengumuman juara tiba, Liam berhasil meraih juara pertama untuk lomba menggambar di kelasnya. Sedangkan untuk lomba mewarnai, ia mendapatkan juara ketiga. Prestasi ini membuatnya bangga dan semakin termotivasi untuk terus belajar dan berlatih.

Saat melihat hasil gambar Liam yang begitu bagus dan detail, seorang anak berbisik dengan penuh kekaguman,

“Wah, dia menggambar dengan sangat baik. Aku iri padanya.”

Anak lain yang mendengar itu tersenyum dan membalas dengan ramah,

“Punya kamu juga bagus, kok. Kita semua pasti bisa jadi lebih baik kalau terus berlatih.”

Percakapan itu menunjukkan suasana yang positif di antara teman-teman Liam, di mana mereka saling mengapresiasi dan mendukung satu sama lain dalam belajar dan berkarya.

Pada jam kedua, giliran lomba pertandingan basket yang dimulai. Liam ikut serta bersama timnya, yang telah berlatih dengan giat sejak beberapa hari sebelumnya. Mereka berlatih bersama, saling mendukung, dan berusaha meningkatkan kemampuan masing-masing agar bisa tampil maksimal di pertandingan.

Saat pertandingan berlangsung, Liam bermain dengan penuh semangat. Ia berlari cepat, mengoper bola dengan tepat, dan berusaha mencetak poin untuk timnya. Kerja sama tim yang solid membuat mereka tampil percaya diri di lapangan.

Meskipun pertandingan berlangsung sengit, Liam dan timnya tetap fokus dan berusaha memberikan yang terbaik. Semangat sportivitas dan kebersamaan menjadi hal utama yang mereka junjung tinggi selama lomba berlangsung.

Setelah pertandingan basket yang berlangsung seru dan penuh semangat, akhirnya tim Liam berhasil meraih juara pertama. Sorak sorai teman-teman dan guru memenuhi lapangan, mengapresiasi kerja keras dan kekompakan tim. Liam merasa bangga dan bahagia bisa berkontribusi dalam kemenangan itu.

Tak lama setelah itu, Liam juga mengikuti lomba lari. Meski biasanya ia terlihat tenang dan pendiam, kali ini ia menunjukkan sisi lain dari dirinya. Dengan fokus dan tekad kuat, Liam berlari dengan kecepatan luar biasa.

Di detik-detik terakhir lomba, Liam berhasil memimpin dan meninggalkan anak-anak lain di belakangnya. Ia melewati garis finish dengan napas terengah-engah namun penuh kebanggaan.

Kemenangan demi kemenangan itu membuat Liam semakin percaya diri dan membuktikan bahwa dengan kerja keras dan semangat, ia bisa mengatasi segala tantangan.

Atas prestasi gemilangnya dalam berbagai lomba, sekolah memberikan hadiah khusus kepada Liam sebagai bentuk penghargaan. Hadiah itu bukan hanya sebagai simbol keberhasilan, tetapi juga pengakuan atas kerja keras dan ketekunan yang telah ia tunjukkan.

Tidak heran jika Liam juga berhasil meraih peringkat pertama di kelasnya, menjadi anak yang paling pintar dan teladan bagi teman-temannya. Namun, di balik semua prestasi itu, Liam tetap rendah hati dan penuh semangat.

Ia tahu bahwa kesuksesan tidak datang tanpa perjuangan. Meski pernah jatuh berkali-kali, Liam tidak pernah menyerah. Setiap kegagalan justru menjadi pelajaran berharga yang membuatnya semakin kuat dan gigih.

Semangat pantang menyerah itulah yang membuat Liam terus maju, mengejar impian dan membantu ibunya melewati masa sulit dengan penuh harapan.

Sepulang sekolah, Liam berjalan menuju rumah dengan langkah santai, menikmati sore yang tenang. Sesampainya di rumah, suasana terasa sepi karena ibunya sedang berjualan di toko bunga.

Liam masuk ke dalam rumah dan beristirahat sejenak. Ia menaruh hadiah-hadiah yang diterimanya dari sekolah dengan hati-hati di dalam kamarnya, menyimpan kenangan prestasinya dengan bangga.

Setelah itu, ia melepas seragam sekolahnya dan menggantinya dengan kaos hitam serta celana panjang biru tua yang nyaman. Liam kemudian menyalakan kompor dengan cekatan—meski usianya baru tujuh tahun, ia sudah terbiasa memasak sendiri.

Ia membuat telur rebus dan menyantapnya dengan nasi hangat yang sudah ia siapkan sebelumnya. Duduk di atas kursi kecil, Liam menikmati makanannya dengan tenang, menunjukkan kemandirian yang luar biasa untuk anak seusianya.

Setelah makan, Liam mulai menyiapkan kue-kue buatannya ke dalam sebuah kotak besar. Meski kotak itu agak berat, ia sudah terbiasa membawanya dan tidak mengeluh sedikit pun.

Sebelum berangkat, ia memastikan pintu rumah terkunci dengan baik. Dengan membawa kotak berisi kue, Liam berjalan keluar menuju jalanan tempat biasa ia berjualan, siap melanjutkan perjuangannya membantu ibunya.

Di toko bunga milik ibu Liam, suasana sedang sibuk seperti biasa. Tiba-tiba telepon berdering, dan ibu Liam mengangkatnya dengan ramah.

Namun, kali ini pelanggan yang menelepon bukanlah orang biasa. Suara di ujung telepon adalah seorang pria konglomerat terkaya dan terkenal di dunia. Dengan suara tegas dan penuh perhatian, pria itu memesan semua bunga yang tersedia di toko bunga Vladrianda.

“Ini hari yang sangat spesial bagi saya,” katanya. “Hari ini adalah ulang tahun putri saya yang baru lahir. Saya sudah membeli bunga dari sepuluh toko berbeda hari ini, dan saya ingin membeli bunga dari toko Anda juga. Saya akan membayar dua kali lipat dari harga asli untuk semua bunga yang Anda jual.”

Ibu Liam terkejut sekaligus bahagia mendengar kabar itu. Ia tahu ini adalah kesempatan besar yang bisa membantu usaha mereka dan meringankan beban hutang yang selama ini mereka hadapi.

Bunga-bunga cantik yang selama ini dirawat dengan penuh cinta di toko Vladrianda kini akan menjadi bagian dari perayaan istimewa seorang bayi perempuan di keluarga konglomerat tersebut.

Setelah menerima pesanan besar dari pria konglomerat, ibu Liam segera memulai proses menyiapkan bunga-bunga yang akan dikirim. Dengan teliti dan penuh perhatian, ia memeriksa setiap tangkai bunga di toko Vladrianda.

Ia memastikan semua bunga yang akan dikirim masih segar, berwarna cerah, dan harum semerbak. Setiap bunga dirawat dengan hati-hati agar tetap dalam kondisi terbaik, layak untuk perayaan istimewa ulang tahun bayi perempuan sang konglomerat.

Ibu Liam dan asistennya merangkai bunga-bunga itu menjadi rangkaian yang cantik dan elegan, sesuai dengan permintaan pelanggan. Setelah semuanya siap, ibu Liam menyerahkan rangkaian bunga tersebut kepada kurir terpercaya yang akan mengantarkannya ke alamat tujuan.

Dengan penuh harapan, ia mengawasi pengiriman bunga itu, merasa bangga bahwa bunga dari tokonya akan menjadi bagian dari momen bahagia keluarga besar tersebut.

Setelah selesai menjual semua kue hingga habis terjual, Liam berjalan menuju toko bunga milik ibunya seperti biasa. Namun, saat masuk ke dalam toko, ia tampak bingung.

“Ibu, kemana perginya semua bunga-bunga di toko ini?” tanya Liam dengan mata berbinar, masih dipenuhi rasa penasaran.

Ibu Liam tersenyum hangat, hatinya pun berbunga-bunga karena kabar baik yang baru saja terjadi.

“Tadi ada seorang konglomerat yang memesan semua bunga di toko ini, Nak. Dia membayar dua kali lipat dari harga aslinya karena hari ini adalah ulang tahun putrinya yang baru lahir,” jelas ibu dengan penuh kebanggaan.

Mendengar kabar itu, wajah Liam langsung berseri-seri. Ia pun menunjukkan kotak kue yang sudah kosong, memberitahu ibunya, “Kue yang aku jual hari ini juga sudah habis terjual, Bu!”

Ibu Liam semakin bahagia dan bangga. Ia memeluk Liam erat-erat, merasa terharu dan bersyukur memiliki anak yang gigih dan penuh semangat seperti dia.

Dengan hati yang penuh sukacita, ibu dan anak itu meninggalkan toko bunga dan pulang bersama menuju rumah, melangkah dengan langkah gembira dan penuh harapan untuk masa depan yang lebih baik

Keesokan harinya, pria-pria penagih hutang kembali mendatangi rumah ibu Liam dengan wajah serius. Namun kali ini, ibu Liam sudah siap.

Dengan tangan sedikit gemetar namun penuh keyakinan, ibu Liam menyerahkan uang pelunasan hutang kepada mereka. Pria-pria itu menerima pembayaran itu tanpa banyak kata dan segera pergi.

Ibu Liam menghela napas panjang, merasakan beban berat yang selama ini menghimpit pundaknya akhirnya terangkat. Ia sudah terbebas dari hutang yang membayangi keluarganya.

Uang hasil penjualan bunga kemarin memang sudah dipakai untuk membayar hutang, namun masih tersisa sedikit yang cukup untuk membeli sepatu baru bagi Liam yang sudah rusak, serta memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka berdua.

Dengan penuh rasa syukur, ibu Liam memandang putranya.

“Terima kasih, Nak. Ibu sangat bersyukur memiliki anak sepertimu yang selalu mau membantu ibu selama ini,” ucapnya penuh haru.

Ia juga bersyukur karena rumah mereka tidak jadi diambil dan mereka bisa melanjutkan hidup dengan lebih tenang.

Momen itu menjadi titik balik bagi ibu dan Liam, sebuah awal baru yang penuh harapan dan kebahagiaan.

Suatu waktu, ketika ibu Liam sedang sakit, suasana di rumah menjadi lebih tenang namun penuh perhatian. Meski usianya baru tujuh tahun, Liam menunjukkan kemandirian dan kasih sayang yang luar biasa.

Setiap hari, Liam tetap pergi ke jalanan untuk menjual kue buatannya dan juga bunga tangkai dari toko ibunya. Ia tahu bahwa penghasilannya sangat penting untuk kebutuhan mereka dan kesembuhan ibunya.

Setibanya di rumah, Liam langsung mengurus ibunya dengan penuh kelembutan. Ia membuat bubur hangat yang mudah dicerna dan menyiapkannya dengan sabar. Kadang-kadang, ia menyuapi ibunya agar sang ibu bisa makan dengan nyaman meskipun sedang lemah.

Kemandirian Liam tak diragukan lagi. Ia sudah mampu mengurus beberapa bagian dalam hidupnya, mulai dari memasak, membersihkan rumah, hingga merawat ibunya dengan penuh cinta dan perhatian.

Meski masih kecil, Liam menunjukkan jiwa besar dan ketegaran yang menginspirasi, menjadi penopang utama keluarganya di saat-saat sulit.

Setelah ibu Liam sembuh dari sakitnya, kehidupan mereka berdua kembali berjalan dengan penuh semangat dan harapan. Ibu Liam kembali bekerja keras di toko bunga, merawat setiap bunga dengan cinta dan ketelitian, berusaha membangun masa depan yang lebih baik bagi keluarganya.

Sementara itu, Liam terus belajar dengan giat dan tekun di sekolah. Ia tahu bahwa pendidikan adalah kunci untuk meraih impian dan mengubah nasib keluarganya. Meski hidup tidak selalu mudah, Liam tidak pernah menyerah dan selalu berusaha menjadi anak yang membanggakan.

Ibu Liam berusaha memberikan kehangatan dan kasih sayang yang tulus, menjadi pelindung dan sumber kekuatan bagi putranya di tengah kerasnya kehidupan. Ia ingin Liam tumbuh menjadi pribadi yang kuat, penuh cinta, dan sukses di masa depan.

Liam pun bertekad untuk membahagiakan ibunya suatu hari nanti. Dengan doa dan kerja keras, ia yakin bisa meraih cita-cita dan menjadi sosok yang membanggakan bagi keluarga kecil mereka.

Di tempat yang jauh dari kehidupan sederhana dan penuh perjuangan Liam dan ibunya, terdapat dunia yang gelap dan kejam. Di sebuah ruangan mewah yang dipenuhi kemewahan dan kemegahan, seorang pria duduk santai sambil menikmati segelas anggur merah.

Pria itu adalah bos mafia yang kaya dan kejam, ayah dari Liam yang belum pernah dikenalnya. Baru saja, ia memerintahkan pembunuhan sepuluh orang demi mendapatkan keuntungan besar. Tanpa rasa penyesalan, ia menjalani hidupnya dengan penuh kekuasaan dan kebrutalan.

Di sekelilingnya, wanita-wanita cantik menghibur dan melayaninya, menambah suasana glamor yang kontras dengan kegelapan hatinya. Ia menikmati setiap detik kemewahan itu, tanpa memikirkan dampak dari tindakannya.

Sungguh berbeda dengan anaknya, Liam, yang hidup sederhana, penuh kasih sayang, dan semangat pantang menyerah. Untunglah, Liam belum mengetahui bahwa pria bengis dan seberengsek itu adalah ayah kandungnya.

Maverick Dawson Vortigern adalah pria yang dikenal sebagai bos mafia paling kejam dan berkuasa di wilayahnya. Ia tidak segan-segan membunuh siapa saja yang tidak disukainya, tanpa ampun dan tanpa rasa penyesalan. Bagi Maverick, hanya ada satu hal yang penting: uang dan kekuasaan.

Dengan koneksi yang sangat kuat di berbagai lapisan pemerintahan dan dunia bawah tanah, Maverick berhasil menghindari penangkapan oleh polisi meskipun telah melakukan banyak kejahatan berat. Ia adalah bayang-bayang gelap yang sulit dijangkau dan dihadapi.

Kini, ia menikmati hidupnya yang penuh kemewahan dan kesenangan. Di sekelilingnya selalu ada wanita-wanita cantik dan seksi yang dibayar untuk menemani dan menghiburnya. Maverick memanjakan mereka dengan ciuman dan sentuhan, menikmati setiap momen sambil menyeruput anggur mahal yang tersedia di atas meja mewahnya.

Pria ini adalah gambaran kegelapan yang sejati—hanya peduli pada kekuasaan dan uang, tanpa sedikit pun menyisakan ruang untuk cinta atau belas kasih. Ia hidup dalam dunia yang penuh tipu daya dan kebrutalan, sangat jauh dari kehidupan sederhana dan penuh harapan anaknya, Liam.

Di tengah kemewahan dan kegelapan ruangannya, beberapa asisten berpakaian jas hitam masuk dengan langkah sigap. Mereka membawa berkas dan foto yang diminta oleh Maverick sebelumnya.

Maverick menatap tajam saat asisten menyerahkan foto-foto dan laporan singkat tentang putranya, Liam, serta ibu dari putranya, Raverie Vladrianda, yang pernah menjadi pelayan tujuh tahun lalu.

Ia mengangkat satu sudut bibirnya, ekspresi dingin namun penuh arti.

“Rupanya anak ini masih hidup,” ucap Maverick dengan suara rendah namun penuh kekuatan, matanya menatap foto Liam yang sedang berjualan di jalanan.

Kemudian, pandangannya beralih ke foto Raverie yang sedang melayani pelanggan di toko bunga.

“Raverie... dia masih cantik seperti dulu,” katanya sambil tersenyum sinis. “Kehidupan yang menyedihkan.”

Maverick memperhatikan setiap detail dalam foto-foto itu, tertawa pelan seolah menikmati ironi nasib yang membentang di depan matanya—anak dan wanita yang pernah menjadi bagian dari hidupnya kini menjalani kehidupan yang jauh dari kemewahan dan kekuasaan yang ia miliki.

Maverick masih menatap foto Liam dengan tatapan tajam.

“Dia, tampan juga,” ucapnya pelan, seolah mengakui sesuatu yang tersembunyi di balik sosok anak itu.

Namun, meski ada sedikit rasa penasaran atau kekaguman, Maverick tidak berniat untuk membantu atau mengambil kembali anaknya. Baginya, Liam hanyalah bagian dari masa lalu yang tidak perlu diurusi. Ia memilih membiarkan Liam tetap berada di luar sana, menjalani hidupnya sendiri tanpa campur tangannya.

Dengan dingin, Maverick meletakkan foto itu kembali ke atas meja. Ia mengambil sebotol anggur, membuka tutupnya, dan meneguknya perlahan, kembali tenggelam dalam dunia kemewahan dan kekuasaannya yang gelap.

Setelah meneguk banyak minuman anggur dan minuman keras lainnya, Maverick mulai kehilangan kendali. Mabuk berat membuat langkahnya goyah dan pikirannya semakin kabur.

Di tengah ruangan mewah yang penuh wanita-wanita cantik dan seksi, ia kembali menyentuh mereka dengan kasar dan tak terkendali, memanjakan dirinya tanpa memikirkan rasa hormat atau batasan.

Wanita-wanita di sekitarnya mencoba menahan diri, beberapa tampak cemas namun terbiasa dengan perilaku bos mereka yang keras dan tak terduga.

Maverick hanyut dalam dunia gelapnya, dikelilingi kemewahan namun terperangkap dalam kebrutalan dan kehampaan yang semakin dalam.

Untunglah, kehidupan gelap dan kejam Maverick jauh dari kehidupan hangat dan penuh perjuangan yang dijalani Liam dan ibunya. Di tengah segala kesulitan, mereka tetap saling menguatkan dan menjaga satu sama lain dengan penuh kasih sayang.

Hingga saat ini, ibu Liam belum pernah berbicara kepada siapapun tentang asal usul Liam. Trauma yang ia alami tujuh tahun lalu masih membekas dalam hatinya, membuatnya sulit untuk membuka cerita masa lalu yang penuh luka itu.

Meski begitu, ia berusaha menyembuhkan traumanya sendiri, perlahan tapi pasti. Dengan keteguhan hati, ia fokus pada kehidupan sekarang, membesarkan Liam dengan penuh cinta dan harapan agar anaknya bisa tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan bahagia.

Kehidupan mereka mungkin sederhana dan penuh tantangan, tetapi kehangatan dan semangat juang yang mereka miliki menjadi cahaya yang menerangi hari-hari mereka.

Di suatu pagi sepulang sekolah, Liam berjalan melewati sebuah toko mainan yang penuh warna dan berbagai mainan menarik. Matanya tertuju pada sebuah mobil-mobilan mini berwarna merah yang terpajang dengan rapi di etalase.

Liam menatap mainan itu lama, matanya berbinar penuh kekaguman.

“Bagus sekali...” bisiknya pelan, seolah mobil mainan itu adalah harta yang sangat berharga.

Namun, saat melihat harga yang terpampang di sebelah mainan itu, Liam menghela napas panjang. Harganya jauh di luar jangkauannya. Dalam hatinya, ia merasa bahwa mainan itu adalah sesuatu yang tak mungkin ia miliki.

Meski begitu, Liam tetap tersenyum kecil, menyimpan impian itu dalam hatinya. Ia tahu, suatu hari nanti, dengan kerja keras dan tekad yang kuat, ia mungkin bisa memiliki sesuatu yang selama ini hanya bisa ia pandang dari jauh.

Dalam perjalanan pulang, pikiran Liam masih terus tertuju pada mobil mainan merah yang ia lihat di toko mainan tadi. Ia sangat ingin memiliki mainan itu, membayangkan betapa serunya bermain dengan mobil kecil yang mengkilap itu.

Namun, ia sadar betul bahwa harga mainan itu sangat mahal, jauh di luar kemampuan dirinya dan keluarganya. Perasaan rindu dan keinginan itu membuat hatinya sedikit berat.

Sesampainya di rumah, bayangan mobil mainan merah itu masih terus menghantui pikirannya. Liam menggeleng-gelengkan kepala, berusaha mengusir keinginan itu agar tidak mengganggu fokusnya.

Dengan tekad yang kuat, ia memilih untuk melupakan mainan itu sejenak dan kembali menjalani kehidupannya yang penuh tanggung jawab. Liam tahu bahwa saat ini, yang paling penting adalah membantu ibunya dan terus berjuang demi masa depan yang lebih baik.

Setibanya di rumah, Liam masuk ke dalam kamarnya untuk mengganti baju. Ia melepas pakaian sekolahnya dan mengenakan kaus putih yang sederhana serta celana panjang abu-abu yang nyaman.

Setelah berganti pakaian, Liam menuju dapur. Di sana, ia mengambil sepotong roti dan segelas susu sebagai bekal sebelum memulai aktivitasnya. Dengan lahap, ia memakan roti dan minum susunya, mengisi tenaga untuk membantu ibunya.

Setelah selesai, Liam bergegas pergi ke toko bunga milik ibunya. Ia siap membantu ibunya yang sedang bekerja, menunjukkan semangat dan tanggung jawabnya sebagai anak yang peduli.

Di siang hari yang cerah, setelah membantu ibunya di toko bunga, Liam mendekati ibunya dengan wajah ceria.

“Ibu, aku mau izin bermain di lapangan dekat toko bersama teman-teman,” ucap Liam dengan penuh semangat.

Ibunya tersenyum hangat, memahami betapa pentingnya waktu bermain bagi anak seusia Liam.

“Baik, Nak. Tapi jangan lupa pulang sebelum sore ya, dan hati-hati di luar,” jawab ibunya penuh perhatian.

Dengan izin dari ibunya, Liam segera berlari menuju lapangan. Ia bergabung dengan teman-temannya, bermain dan tertawa bersama, menikmati momen kebahagiaan sederhana di tengah kesibukan hari itu.

Di lapangan, suasana penuh keceriaan saat teman-teman Liam membawa mobil mainan mereka masing-masing. Mereka saling berlomba, tertawa, dan asyik bermain bersama.

Liam berdiri di pinggir lapangan, hanya bisa terdiam dan mengamati. Ia tidak memiliki mobil mainan seperti teman-temannya, dan rasa rindu itu mengisi hatinya.

Dalam diam, Liam berharap suatu hari bisa memiliki mobil mainan sendiri, seperti yang dimiliki teman-temannya. Keinginan itu membuat matanya berbinar, meskipun ia tahu jalan untuk mewujudkannya tidak mudah.

Namun, Liam tetap tersenyum, menikmati kebersamaan dengan teman-temannya meski tanpa mainan itu di tangannya.

Tiba-tiba, sekelompok anak yang dulu pernah merundung Liam datang ke lapangan tempat ia bermain bersama teman-temannya. Mereka melihat Liam yang berdiri tanpa mobil mainan, dan salah satu dari mereka mulai meledek dengan suara keras.

“Hey Liam! Mengapa kau masih mau berteman dengan mereka? Kau itu tidak setara dengan mereka, pergi saja!” ucap anak itu dengan nada mengejek dan sinis.

Teman-teman Liam terdiam, merasakan ketegangan di suasana. Liam menatap anak itu dengan mata yang sedikit berkaca-kaca, namun ia berusaha tetap tegar.

Meskipun kata-kata itu menyakitkan, Liam tidak membalas dengan kemarahan. Ia tahu bahwa harga dirinya tidak ditentukan oleh mainan atau ejekan orang lain. Dengan suara pelan tapi mantap, Liam memilih untuk tetap bersama teman-temannya yang menerima dirinya apa adanya.

Setelah mendengar ejekan yang menyakitkan, salah satu teman Liam mendekat dengan wajah penuh perhatian. Dengan suara pelan dan lembut, ia berkata,

“Tidak apa-apa, Liam. Jangan dipikirkan, ucapan mereka tidak benar.”

Kata-kata itu membawa sedikit kelegaan di hati Liam. Ia tersenyum kecil, merasa beruntung memiliki teman yang selalu mendukungnya, menerima dirinya apa adanya tanpa memandang apa yang ia miliki atau tidak.

Dengan semangat baru, Liam kembali bergabung bermain bersama teman-temannya, membiarkan kata-kata negatif itu berlalu dan fokus pada kebahagiaan sederhana di hari itu.

Melihat Liam yang masih sedikit sedih, teman-temannya berhenti bermain mobil-mobilan mereka. Mereka saling berpandangan dan kemudian mendekati Liam dengan senyum hangat.

“Ayo, Liam! Kita main petak umpet dan permainan seru lainnya saja!” ajak salah satu teman dengan penuh semangat.

Liam pun tersenyum lebar, merasa diterima dan dihargai. Mereka pun segera berlari ke sudut lapangan, bermain bersama dengan riang gembira, melupakan sejenak segala masalah dan ejekan.

Suasana menjadi penuh tawa dan kebahagiaan, mempererat ikatan persahabatan mereka yang tulus dan penuh kehangatan.

Setelah puas bermain bersama teman-temannya di lapangan, Liam kembali ke toko bunga milik ibunya dengan langkah ringan dan senyum di wajahnya.

Sesampainya di toko, ibunya menyambutnya dengan hangat. Melihat Liam yang tampak lelah, ibunya memberikan sekotak susu dan cemilan favoritnya.

“Ini, Nak. Minum susu dan makan cemilan ini dulu, biar kamu punya tenaga untuk membantu ibu lagi,” ucap ibunya penuh kasih sayang.

Liam menerima dengan senang hati, duduk sejenak sambil menikmati susu dan cemilan itu. Setelah itu, ia kembali dengan semangat untuk membantu ibunya merangkai bunga dan melayani pelanggan.

Kehangatan dan perhatian ibunya menjadi sumber kekuatan bagi Liam, membuatnya semakin gigih menjalani hari-harinya.

Di malam hari, setelah sepulang bekerja dari toko bunga, Liam duduk di ruang tengah rumah dengan penuh semangat. Di depannya, tersusun berbagai barang bekas seperti kardus, stik es krim, cat air, dan tutup botol.

Dengan penuh kreativitas dan ketekunan, Liam mulai merangkai barang-barang itu satu per satu. Ia membayangkan mobil mainan merah yang pernah dilihatnya di toko mainan, dan berusaha mewujudkannya dengan tangan kecilnya.

Tangan Liam yang cekatan mengecat kardus dengan warna merah cerah, menempelkan tutup botol sebagai roda, dan menyusun stik es krim sebagai rangka mobil. Meski sederhana, mobil mainan buatannya itu menjadi sangat berarti baginya.

Wajah Liam berseri-seri, penuh kebanggaan dan kegembiraan. Mobil mainan hasil karyanya bukan hanya mainan, tapi simbol harapan dan impian yang terus ia genggam.

“Mengapa membuat kerangka mobil begitu susah ya...” gumam Liam pelan sambil mengerutkan dahi. Namun, ia tidak menyerah.

Dengan tekun dan penuh kesabaran, Liam terus berusaha merangkai mobil mainan merah dari bahan bekas yang ada di depannya. Setiap potongan kardus, stik es krim, dan tutup botol ditempelkan dengan hati-hati, disusun sedemikian rupa agar mirip dengan mobil mainan merah asli yang pernah ia lihat di pasar.

Ia memperhatikan setiap detail kecil, memastikan kerangka mobil kuat dan bentuknya rapi. Meski tantangan datang silih berganti, semangat Liam tidak pernah padam.

Bagi Liam, mobil mainan ini bukan sekadar mainan biasa, melainkan lambang harapan dan impian yang ingin ia raih suatu hari nanti.

Meski gagal berkali-kali, dengan kerangka yang sering patah dan cat yang berantakan, Liam tak pernah menyerah. Tangannya penuh dengan coretan warna merah dan bekas lem yang menempel di ujung jari.

Setiap kali mobil mainannya rusak, ia memperbaikinya lagi dengan sabar, belajar dari kesalahan dan mencoba cara baru. Proses itu melelahkan, tapi Liam merasa senang karena ia sedang menciptakan sesuatu dengan usahanya sendiri.

Ketika akhirnya mobil mainan merah itu berdiri kokoh di tangannya, meskipun tidak sempurna, hasilnya cukup memuaskan bagi Liam. Ia tersenyum bangga, memandang karya kecilnya dengan penuh kebahagiaan.

Bagi Liam, mobil mainan itu bukan hanya mainan, tapi simbol tekad dan harapan yang ia genggam erat.

Ketika Liam menunjukkan mobil mainan merah hasil buatannya kepada ibunya, wajah wanita itu langsung berubah penuh kehangatan dan kebanggaan.

Ibunya tersenyum lembut, matanya berkaca-kaca melihat betapa gigih dan kreatifnya putranya meski dengan keterbatasan yang ada.

“Liam, ini luar biasa! Kamu hebat sekali bisa membuat mobil mainan ini dengan tanganmu sendiri,” puji ibunya sambil merangkul Liam erat.

Ia tahu, mobil mainan itu bukan sekadar mainan biasa, tapi lambang ketekunan dan semangat juang anaknya. Ibu Liam merasa bangga dan terharu melihat putranya mampu mengubah keterbatasan menjadi sesuatu yang indah.

“Teruslah berusaha, Nak. Ibu yakin suatu hari nanti kamu akan meraih semua impianmu,” tambahnya dengan penuh harapan.

Liam pun merasa semakin semangat dan percaya diri, mendapatkan kekuatan dari dukungan tulus ibunya.

“Eh, copot!” Liam menggaruk kepalanya sambil menunjuk salah satu tutup botol yang menjadi roda mobil mainannya yang lepas.

Ibunya tersenyum kecil, tertawa lembut melihat ekspresi bingung dan polos anaknya.

“Tenang, Nak. Ibu bantu pasang lagi, biar lebih kencang,” katanya sambil mengambil mobil mainan itu.

Dengan hati-hati, ibunya memasang kembali roda yang copot, memastikan semua bagian terpasang dengan kuat. Liam memperhatikan dengan penuh perhatian, belajar dari setiap langkah ibunya.

Momen sederhana itu membuat suasana menjadi hangat dan penuh kasih sayang, mempererat ikatan antara ibu dan anak yang saling mendukung dalam setiap langkah kecil kehidupan mereka.

Setelah selesai memperbaiki mobil mainan, ibu Liam mulai membereskan sampah-sampah bekas pembuatan mainan yang berserakan di ruang tengah. Kardus, stik es krim, dan kertas-kertas kecil dikumpulkan dan dibuang dengan rapi.

Liam pun sigap membantu, mengumpulkan potongan-potongan kecil dan sampah yang tersisa dari kreasinya. Mereka bekerja bersama, menciptakan suasana hangat.

Setelah semuanya rapi, ibu Liam menatap putranya dengan lembut dan berkata,

“Nak, sekarang waktunya tidur. Besok masih banyak yang harus kita lakukan.”

Liam mengangguk patuh, lalu beranjak masuk ke kamar dengan langkah tenang. Ia menutup pintu kamar, siap beristirahat dan mengumpulkan tenaga untuk hari esok.

Di dalam kamar yang sederhana, Liam dengan hati-hati menaruh mobil mainan merah hasil karyanya di dekat jendela. Ia ingin mobil itu selalu terlihat, menjadi pengingat akan impian dan usahanya.

Setelah memastikan mobil mainan itu berada di tempat yang aman, Liam naik ke atas ranjang. Ia menarik selimut dan berbaring dengan tenang, menatap langit-langit kamar sambil membiarkan pikirannya melayang.

Dalam keheningan malam, ia tersenyum kecil, merasa bangga dengan apa yang telah dibuatnya hari ini. Perlahan, matanya mulai terpejam, dan Liam pun terlelap, membawa harapan dan mimpi indah untuk masa depan.

Keesokan harinya, di hari libur yang cerah, Liam terheran-heran melihat sebuah kotak misterius terletak di atas meja belajarnya yang sederhana. Dengan langkah penuh rasa penasaran, ia menghampiri kotak itu.

Dengan hati-hati, Liam membuka kotak itu perlahan, menahan napas sambil mengintip isi di dalamnya. Saat kotak terbuka sepenuhnya, matanya membesar penuh keterkejutan dan kebingungan.

Di dalam kotak itu terbaring sebuah mobil mainan merah baru yang mengkilap, persis seperti yang selama ini ia impikan. Mobil mainan itu tampak sempurna, berbeda jauh dengan yang ia buat dari barang bekas.

Liam menatap mobil mainan itu dengan mata berbinar, hatinya dipenuhi kebahagiaan dan rasa syukur yang tak terduga. Ia bertanya-tanya siapa yang telah memberikan hadiah istimewa itu untuknya.

Di dalam kotak itu, Liam menemukan selembar kertas kecil yang tertulis dengan tulisan tangan ibunya. Dengan penuh rasa ingin tahu, ia membaca isi surat itu:

"Untuk Liam, hadiah ini untukmu sebagai tanda terima kasih karena hampir selalu membantu ibu dengan penuh semangat dan cinta. Semoga mobil mainan ini bisa membuatmu bahagia dan terus menginspirasi impianmu. Ibu sangat bangga padamu."

Mata Liam berbinar-binar, hatinya meluap dengan kebahagiaan dan rasa terharu. Ia tersenyum lebar, merasa sangat dicintai dan dihargai.

Dengan penuh semangat, Liam mengeluarkan mobil mainan merah barunya dari kotak itu. Ia memegangnya erat, lalu segera keluar dari kamarnya untuk mencari ibunya.

“Ibu! Terima kasih, aku sangat suka hadiah ini!” seru Liam dengan riang, sambil memeluk ibunya erat.

Ibunya membalas pelukan itu dengan hangat, merasa bahagia melihat putranya begitu gembira.

Sepuluh tahun berlalu, Liam kini telah beranjak dewasa, berusia 17 tahun. Wajahnya semakin tampan dengan kulit putih bersih dan rambut hitam lurus yang selalu tertata rapi. Tubuhnya tinggi dan atletis, hasil dari kebiasaan rutin berolahraga yang ia jalani dengan disiplin.

Selain fisiknya yang menarik, Liam juga semakin cerdas dan tekun. Ia bekerja lebih keras dan belajar lebih giat demi meraih masa depan yang cerah. Meskipun kepribadiannya yang dingin dan cuek masih melekat kuat, bahkan kini semakin dalam, hal itu tidak mengurangi rasa hormat yang orang lain miliki terhadapnya.

Banyak perempuan di sekolah yang menyukai Liam. Tidak sedikit dari mereka yang berani menyatakan perasaannya, bahkan ada yang memberikan hadiah berupa barang atau makanan sebagai ungkapan cinta. Namun, semua itu selalu ditolak dengan tegas oleh Liam. Ia tidak pernah membuka hatinya untuk siapapun.

Meski banyak siswi cantik yang mengaguminya, Liam tetap menjaga jarak. Hatinya terkunci rapat, tidak tergoda oleh rayuan atau perhatian yang datang. Baginya, hubungan asmara bukanlah hal penting saat ini. Fokus utamanya hanyalah masa depan dan cita-cita yang ingin ia capai.

Sementara teman-temannya mulai menjalin hubungan dan menikmati masa remaja, Liam tetap teguh pada prinsipnya. Ia tidak goyah dan tidak tergoda oleh godaan dunia percintaan, memilih untuk tetap berjalan di jalannya sendiri dengan tekad dan semangat yang kuat.

Liam tidak tertarik dengan hubungan asmara di masa remajanya. Baginya, menjalin cinta sejak dini adalah hal yang tidak penting dan bahkan bisa mengalihkan fokus dari hal-hal yang jauh lebih berarti. Saat ini, Liam merasa dirinya belum mampu menghasilkan sesuatu yang besar atau mandiri secara finansial.

Ia percaya bahwa hubungan asmara baru akan menjadi prioritas ketika ia sudah lebih dewasa dan sukses. Liam ingin menjadi sosok yang mapan dan matang terlebih dahulu, seseorang yang mampu mengurus hidupnya sendiri dengan baik. Dengan begitu, ia yakin dapat menjamin kehidupan wanita yang akan menjadi pendampingnya kelak, serta memberikan kehidupan yang lebih baik bagi ibunya yang selalu ia sayangi.

Liam sama sekali tidak merasa iri atau terpengaruh oleh teman-teman seusianya yang sudah mulai berpacaran atau menghamburkan uang demi kesenangan sesaat. Sebaliknya, ia lebih memilih untuk menabung dan belajar mengelola keuangannya dengan bijak. Baginya, kehilangan masa muda demi masa depan yang cerah adalah sebuah pengorbanan yang sangat berharga.

Inilah Liam: sosok yang penuh tekad, berprinsip kuat, dan memiliki visi jauh ke depan. Ia rela menunda kesenangan sementara demi meraih keberhasilan yang lebih besar di masa depan, demi keluarganya dan dirinya sendiri.

Di tengah hiruk-pikuk lorong sekolah, Liam dan sahabatnya, Nathanael Westerveldt, berjalan berdampingan dengan langkah santai namun penuh percaya diri. Keduanya dikenal sebagai dua sosok paling populer di sekolah, bukan hanya karena penampilan dan prestasi mereka, tapi juga karena sikap dan karisma yang mereka miliki.

Meski mereka hanya berjalan biasa, banyak mata tertuju pada mereka. Bisikan-bisikan kecil dan tatapan kagum mengiringi setiap langkah mereka. Beberapa siswa bahkan berhenti sejenak untuk memperhatikan, merasa terpesona oleh aura yang terpancar dari dua pemuda itu.

Liam dengan wajah dinginnya yang khas dan tubuh atletisnya berjalan tanpa banyak bicara, sementara Nathanael, dengan senyum ramah dan gaya yang lebih santai, sesekali melontarkan candaan ringan.

Lorong sekolah seolah menjadi panggung bagi mereka, namun keduanya tetap fokus pada tujuan mereka, menikmati momen itu tanpa perlu berusaha terlalu keras.

Liam dan Nathanael berjalan bersama menuju kantin sekolah. Nathanael, dengan kepribadian yang ramah dan aktif, adalah sosok extrovert sejati. Setiap kali ada yang melambaikan tangan padanya, ia dengan sigap membalasnya dengan senyuman hangat. Wajahnya yang manis dan tampan membuatnya mudah disukai, terutama oleh para siswi. Selain itu, Nathanael juga merupakan rekan setim Liam di tim basket, menjadikan mereka duo yang populer di sekolah.

Sementara itu, Liam berjalan dengan sikap yang sangat berbeda. Ketika ada yang tersenyum dan melambai padanya, ia hanya menatap seolah melihat sebuah furnitur—ekspresinya datar dan tak banyak bicara. Liam berbicara seperlunya, menjaga jarak dengan orang lain. Namun, di balik sikap dingin dan cueknya, ketampanan dan kecerdasan Liam yang luar biasa, serta kerja kerasnya yang tak kenal lelah, membuatnya tetap menjadi sosok yang sangat dikagumi oleh banyak siswa perempuan.

Perbedaan kepribadian mereka justru membuat mereka saling melengkapi. Nathanael yang hangat dan mudah didekati, serta Liam yang misterius dan penuh tekad, bersama-sama menjadi sosok yang sulit dilupakan di sekolah.

Di antara kerumunan siswa yang memperhatikan, terdengar bisikan pelan dari sekelompok siswi yang sedang berbicara di pojok lorong.

“Oh, itu dia! Mereka tampan sekali, terutama Liam... dia benar-benar sangat tampan,” bisik seorang siswi dengan penuh kekaguman kepada temannya.

“Ya, aku tahu. Tapi lihat Nathanael, senyumnya manis sekali! Dia bahkan melambaikan tangan padaku tadi,” balas siswi itu dengan mata berbinar-binar, tak kalah terpesona.

Mereka berdua menjadi topik pembicaraan hangat, bukan hanya karena penampilan mereka, tapi juga karena karisma dan kepribadian yang berbeda namun sama-sama menarik.

Di kantin sekolah yang ramai, Liam dan Nathanael duduk berdampingan di meja yang sama, menikmati makan siang mereka. Pembicaraan mereka mengalir hangat tentang pertandingan basket yang akan mereka mainkan beberapa hari ke depan.

Tiba-tiba, seorang siswi yang paling populer di sekolah masuk ke dalam kantin. Seketika, keramaian muncul di sekelilingnya. Siswa laki-laki lain, selain Liam, langsung heboh dan berusaha mendekatinya. Ada yang mengajaknya duduk bersama, ada pula yang mencoba menarik perhatiannya dengan berbagai cara.

Nathanael menoleh sejenak, tersenyum melihat hiruk-pikuk itu. Namun, senyumnya itu lebih seperti apresiasi terhadap suasana sosial di sekolah. Ia segera kembali fokus ke Liam dan pembicaraan mereka tentang strategi pertandingan basket.

Sementara itu, Liam sama sekali tidak terpengaruh oleh keramaian di sekitarnya. Matanya hanya tertuju pada makanan yang sedang ia santap. Dengan ekspresi datar dan sikap tenang, ia tetap membicarakan soal pertandingan itu dengan Nathanael, tanpa sedikit pun terganggu oleh kegaduhan di kantin.

Nathanael mengangkat wajahnya dengan penuh semangat, matanya berbinar saat mengusulkan,

“Nanti latihan di lapangan pribadi ku saja. Saat istirahat, kita akan makan chicken dan mie lima bungkus! Itu fantastis, bagaimana!?”

Liam tersenyum tipis, lalu mengangguk setuju,

“Ya, boleh juga. Jangan lupa beri tahu anggota tim kita yang lain.” Ia meminum sebotol air sebelum menambahkan dengan nada santai, “Supaya mereka tidak tersesat.”

Nathanael tertawa kecil dan mengangguk mantap sambil mulai memakan makanannya,

“Sudah pasti, sobat.”

Keduanya kembali fokus menikmati makan siang sambil membicarakan strategi dan rencana latihan yang akan membuat tim mereka semakin solid.

Nathanael sesekali melirik ke arah keramaian di sekitar gadis populer di sekolah itu. Ia tersenyum santai, menikmati dinamika sosial yang terjadi di sekitarnya. Namun, ia tetap menjaga fokusnya saat berbicara dengan Liam.

Sementara itu, Liam tetap tenang dengan ekspresi datar khasnya, terus memakan makanannya tanpa sedikit pun terganggu oleh keramaian. Ia jelas tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya, malah kembali membahas strategi dan persiapan pertandingan basket yang akan datang bersama Nathanael.

Di sisi lain, siswi populer itu diam-diam melirik ke arah Liam dan Nathanael. Matanya tertuju pada dua sosok yang begitu berbeda namun sama-sama menarik perhatian. Ia tampak penasaran dengan sikap tenang Liam dan keakraban mereka berdua.

Suasana kantin tetap ramai, namun bagi Liam dan Nathanael, fokus utama mereka hanyalah pertandingan yang akan segera mereka jalani.

Di tengah keramaian kantin, siswi populer itu menatap Liam yang duduk agak berjauhan darinya. Dalam hati, ia bergumam pelan,

“Dia... sangat tampan.”

Ada kilatan kekaguman yang sulit disembunyikan di matanya, namun ia dengan sigap menahan perasaan itu agar tak terlihat jelas di depan banyak orang yang selalu mencari perhatian darinya.

Dengan senyum tipis dan sikap anggun, ia berusaha tetap menjaga jarak emosional, menyembunyikan rasa suka yang mulai tumbuh. Di balik popularitas dan keramaian, ada sisi lembut yang hanya sedikit orang yang tahu.

Di tengah keramaian kantin, seorang siswa laki-laki mendekati Angie, siswi populer yang sedang duduk santai. Dengan nada akrab, ia berkata,

“Hei Angie... apa kabar, sayang?” sambil duduk di sebelahnya dan merangkul pundaknya.

Angie menatap mantan pacarnya dengan tatapan dingin dan tegas. Tanpa ragu, ia melepaskan tangan yang merangkul pundaknya dan berkata,

“Apa-apaan kamu? Menjauhlah dariku.”

Suasana menjadi sedikit tegang, menarik perhatian beberapa siswa di sekitar mereka. Angie menunjukkan sikap tegasnya, menegaskan bahwa hubungan mereka sudah berakhir dan ia tidak ingin diganggu lagi.

Mantan pacar Angie mengangkat bahu dengan pasrah, lalu mengucapkan,

“Oh oke...” sebelum akhirnya menjauh perlahan dari Angie.

Siswa-siswa lain yang menyaksikan kejadian itu hanya tertawa kecil, menikmati momen tersebut, kecuali Liam dan Nathanael yang tetap tenang dan fokus pada pembicaraan mereka.

Angie tetap duduk dengan anggun di kursinya, menampilkan aura percaya diri yang kuat. Matanya kemudian melirik lirih ke arah Liam "dia, benar-benar sangat tampan." batinnya sambil menatap mereka dengan pandangan tipis yang penuh arti, seolah menyimpan rasa penasaran atau kekaguman yang tersembunyi.

Dengan langkah pelan dan penuh percaya diri, Angie, siswi populer itu, mendekati meja tempat Liam dan Nathanael sedang makan siang. Ia duduk di depan mereka dengan senyum manis dan menyapa,

“Hai Nathanael! Liam! Apa kabar?”

Nathanael membalas sapaan itu dengan senyum ramah khasnya,

“Baik, hai juga Angie!”

Sementara itu, Liam yang tetap dengan sikap dinginnya hanya mengangguk kecil sebagai jawaban, sambil masih mengunyah makanannya tanpa mengalihkan pandangan.

Di sekitar mereka, banyak siswa yang memperhatikan momen itu dengan penuh antusias. Beberapa mengeluarkan ponsel untuk memotret, sementara yang lain bergosip dan membicarakan kejadian tersebut dengan suara pelan namun penuh rasa penasaran.

Suasana kantin seketika menjadi lebih hidup, dengan perhatian tertuju pada tiga sosok yang duduk bersama itu.

Angie, dengan senyum hangat dan penuh antusias, berkata,

“Ku dengar akan ada pertandingan basket dan kalian akan mengikutinya. Wah, pasti akan seru sekali! Kalian memang sangat hebat dalam bermain basket.”

Nathanael membalas dengan senyum ramah yang tak pernah pudar,

“Ya, aku tahu, kami memang sehebat itu. Namun jangan berharap terlalu banyak, kami hanya manusia biasa.”

Liam hanya mengangguk pelan, tetap dengan ekspresi datarnya, sambil menatap makanan di depannya. Meski tak banyak bicara, kehadirannya tetap memberikan aura serius dan fokus pada pembicaraan.

Siswa perempuan populer itu menatap Liam dengan penuh harap dan berkata dengan suara lembut,

“Liam, semangat berlatih, hm... jika kau tidak sibuk, bolehkah kita berjalan-jalan di pagi hari? Maksudku... maukah kau berkencan dengan ku?”

Di belakang dan di samping mereka, kerumunan siswa mulai heboh berbisik-bisik,

“Eh, apakah Angie mengajaknya berkencan?? Ouh, aku sangat iri padanya!”

“Itu Angie, siswa terpopuler dan tercantik di sini. Mustahil jika dia menolak ajakannya.”

“Liam juga tidak mudah didekati.”

“Benar, Liam itu seperti kulkas 1000 pintu, tidak mungkin bisa cair hanya karena kecantikan Angie.”

"aku sangat cemburu, uh bagaimana ini."

“Lihat, sepertinya makanan Liam lebih menarik baginya daripada Angie. Dia tidak memperhatikannya sama sekali.”

"heh tidak boleh seperti itu, tapi kau ada benarnya juga sih." balas seorang siswi pada temannya dengan suara pelan lalu tertawa kecil.

Sementara para siswa sibuk bergosip, Nathanael hanya tersenyum dan menyenggol Liam yang sedang makan untuk memberinya isyarat menjawab Angie.

Liam menghela napas panjang, berhenti mengunyah, dan terdiam sejenak sebelum menjawab dengan singkat dan tegas,

“Maaf, tidak bisa. Aku sibuk.”

Nathanael tersenyum mengerti. Ia memang tahu sahabatnya seperti itu—setiap kali diajak oleh wanita yang bukan ibunya, Liam selalu menolak. Ia juga paham bahwa Liam benar-benar sibuk. Nathanael menambahkan dengan santai,

“Ya, dia memang selalu sibuk. Apalagi kami akan berlatih basket untuk pertandingan.”

Di sekitar kantin, siswa-siswa mulai memperhatikan kejadian itu dan berbisik-bisik dengan penuh antusias:

“Lihat, apa ku bilang? Liam itu tidak akan menerima ajakan dari wanita manapun. Laki-laki semacam dia benar-benar susah untuk didekati, tapi itulah tantangannya.”

“Kenapa Angie tiba-tiba mengajaknya berkencan, ya?”

“Astaga, kau tidak tahu? Rumor mengatakan bahwa Angie sudah menyukai Liam sejak lama.”

“oh benarkah!? pasti Angie sakit hati karena ajakannya ditolak oleh orang yang ia sukai.”

“Menurutku biasa saja, itu hanya karena Angie belum pernah ditolak oleh laki-laki, dia belum terbiasa dengan itu.”

“Kecantikan saja belum dapat membuat hati kulkas 1000 pintu bergetar.”

“Liam masih menyukai wanita, bukan?”

“Ya iyalah, jangan berpikir aneh-aneh. Liam ku itu normal.”

“Jangan memanggilnya ‘Liam ku’, itu membuatku jijik.”

“Astaga, jika Angie saja ditolak, apalagi denganku,” ucap salah satu siswi sambil tertawa kecil.

“Dilihat saja tidak,” sahut yang lain sambil terkekeh.

Tiba-tiba, salah satu siswa laki-laki mencoba menggoda suasana dengan berkata kepada seorang siswi,

“Kalau begitu, ayo berkencan dengan ku, nona...”

Siswi itu tersenyum dan menolak dengan santai,

“Tidak, lain kali saja.”

Suasana kantin kembali riuh dengan tawa dan bisik-bisik, sementara Liam dan Nathanael tetap tenang, fokus pada rencana mereka.

Angie hanya tersenyum lembut ketika Liam menolaknya. Dengan suara tenang dan anggun, ia berkata,

“Baiklah, tidak apa-apa. Semoga hari kalian menyenangkan, teman-teman.”

Setelah mengucapkan itu, Angie berdiri dari meja tempat Liam dan Nathanael duduk, lalu berjalan keluar dari kantin dengan langkah yang tetap anggun dan percaya diri.

Nathanael mengangkat tangan sambil mengucapkan,

“Bye, Angie...”

Angie mengangguk ringan sambil membalas senyum,

“Bye,”

Kemudian ia melangkah pergi meninggalkan kantin, meninggalkan Liam dan Nathanael yang kembali fokus pada makan siang dan rencana mereka.

Seorang siswa laki-laki yang duduk tak jauh dari meja Liam dan Nathanael, dengan nada penasaran, bertanya,

“Liam, kenapa kau menolak Angie? Bukankah dia itu cantik? Dia juga populer dan pintar.”

Liam menatap siswa itu dengan ekspresi datar, lalu menjawab singkat,

“Hubungan asmara bukan prioritas sekarang.”

Jawaban Liam yang lugas dan tegas itu membuat suasana sejenak hening. Siswa itu mengangguk mengerti, sementara Liam kembali fokus pada makanannya.

Siswa laki-laki itu, masih penasaran, melanjutkan pertanyaannya dengan nada santai,

“Kami semua penasaran, sebenarnya tipe idealmu yang bagaimana?”

Liam, tanpa mengalihkan pandangan dari makanannya, mengambil tisu di dekatnya dan mengelap bibirnya dengan tenang. Setelah itu, ia menjawab dengan sederhana,

“Yang penting dia adalah seorang wanita.”

Jawaban singkat dan lugas itu membuat suasana menjadi sedikit canggung, namun juga menunjukkan bahwa Liam tidak ingin terlalu membahas hal-hal yang dianggapnya kurang penting saat ini.

Nathanael menepuk bahu Liam dengan nada bercanda sambil tertawa kecil,

“Bohong itu bohong, wanita itu harus yang manis, jago memasak, pintar, tenang, lembut dan cantik, kan?”

Liam tersenyum tipis mendengar ucapan sahabatnya, lalu membalas dengan santai,

“Tidak, tidak, tidak seperti itu.”

Siswa yang tadi bertanya ikut tertawa bersama Nathanael. Suasana di kantin pun menjadi lebih hangat dan ceria, dengan siswa dan siswi di sekitar mereka ikut tersenyum dan tertawa ringan.

Momen kecil itu memperlihatkan sisi akrab dan hangat dari Liam yang jarang terlihat, membuatnya semakin disukai oleh teman-temannya.

Setelah selesai makan di kantin, Liam dan Nathanael bersama anggota tim basket lainnya berkumpul di lapangan sekolah. Semangat mereka membara, penuh tekad untuk mempersiapkan diri menghadapi pertandingan yang akan datang beberapa hari ke depan.

Suara sepatu yang beradu dengan lantai lapangan, dentingan bola basket yang memantul, dan teriakan semangat mengisi udara sore itu. Nathanael dengan gaya enerjiknya memimpin latihan, sementara Liam fokus mengasah teknik dan strategi permainan.

Mereka berlatih dengan disiplin tinggi, saling memberikan motivasi dan koreksi agar tim semakin solid. Meski lelah, wajah mereka menunjukkan tekad kuat untuk meraih kemenangan.

Latihan itu bukan hanya tentang fisik, tapi juga tentang kekompakan dan persahabatan yang semakin erat di antara mereka.

Di sudut lapangan, tersembunyi di balik pagar dan pepohonan, seseorang berdiri dengan kamera di tangan. Matanya tertuju pada Liam yang sedang berlatih dengan serius bersama tim basket sekolah.

Liam sama sekali tidak menyadari keberadaan orang itu. Ia fokus pada setiap gerakan, setiap dribel, dan setiap lemparan bola, tanpa terganggu oleh apapun di sekitarnya.

Orang tersebut terus mengarahkan kameranya, mengambil