Rasa yang Tidak Diucap, Tugas yang Tidak Selesai
Hari-hari kampus berjalan seperti nasi bungkus yang lo makan karena harus, bukan karena enak. Arka masih berjuang tiap pagi melawan alarm, macet Jaktras, dan kaki yang rasanya berat banget buat melangkah ke kelas.
“Lo tidur jam berapa, bro?” tanya Kenny sambil nyuap lontong sayur dari kantin.
“Gue nggak tidur,” jawab Arka lempeng.
“Yah, tuh kan. Ini bukan ‘kuliah untuk masa depan’ bro, ini ‘bertahan hidup tiap hari’.”
Mereka duduk di tangga belakang gedung fakultas. Tempat adem, sepi, dan jauh dari suara dosen yang suka dadakan ngasih tugas kayak lagi main lempar granat.
Hari itu ada tugas kelompok. Dosen Sarman yang legendaris itu ngebagi paksa. Arka sekelompok sama Nayara... dan tiga mahasiswa lain yang udah terkenal sebagai "tim ghosting".
Sial.
---
Sore harinya, mereka janjian buat ngerjain tugas bareng di perpustakaan kampus. Tapi dari lima orang, yang dateng cuma dua.
Arka datang paling awal, duduk di pojok meja panjang sambil buka laptop usang yang kadang lebih cepat mati daripada batre HP.
Sepuluh menit kemudian, Nayara datang. Kalem seperti biasa, rambut dikuncir rapi, bawa map isi print-printan.
“Cuma kita berdua ya?” tanyanya sambil duduk di seberang.
“Yang lain mungkin masih mempertimbangkan panggilan hidup,” kata Arka pelan.
Nayara tertawa kecil. “Lo selalu punya cara ngomong yang bikin orang mikir.”
“Padahal gue nggak mikir waktu ngomong.”
“Justru itu. Alamiah.”
Sunyi sebentar.
Mereka mulai buka file, diskusi poin-poin penting. Nayara sigap, fokus. Arka juga mulai lebur dalam kerja — tapi kadang nyolong pandang. Cara Nayara ngetik. Cara dia nyoret-nyoret catatan pakai highlighter pink. Cara dia sesekali ngelirik keluar jendela, seakan dunia terlalu ramai buat dia ikuti sepenuhnya.
Sampai akhirnya Nayara nanya, “Lo kenapa masuk TI?”
Arka berhenti ngetik. Mikir sebentar.
“Karena... katanya peluang kerja gede.”
“Cuma itu?”
“Karena... gue pengen kerja cepet. Biar bisa ngebantu nyokap gue. Supaya dia nggak harus pinjem uang lagi.”
Nayara diam. Lalu mengangguk. “Jawaban lo realistis. Tapi juga sedih.”
“Kalau lo?”
“Aku pengen kerja di media. Jadi orang yang bisa nyampein suara. Mungkin... karena suara di rumahku dulu sering hilang.”
Mereka diam.
Koneksi itu... aneh. Kadang nggak butuh banyak omong. Cuma duduk bareng, ngerjain tugas, dan ngelihat mata seseorang cukup untuk tahu kalau mereka juga... capek.
---
Malamnya, Arka pulang ke kos. Hujan tipis. Kemeja masih lembab, tas berat, dan isi kepala makin penuh.
HP-nya bunyi.
[BangVal]
“WOI. GAK ADA SLOT BUAT MABAR APA NIH?!”
[Arka]
“Baru nyampe kos. Gue rebahan dulu bentar.”
[BangVal]
“REBahan itu jebakan setan.”
[Kenny]
“Langsung bangun. Musuh belum tentu sabar nunggu, bro.”
Arka senyum. Meski hari terasa berat, setidaknya masih ada orang-orang yang bikin malamnya nggak sepenuhnya kosong.
---
Di hari itu, Arka nggak tahu. Tapi Nayara ingat jelas — bahwa tugas yang tidak selesai justru menjadi awal dari rasa yang pelan-pelan muncul, lalu menolak pergi.