WebNovelJam 11:1163.64%

Suara yang Tidak Pernah Berasal dari Mulutku

Langit sore tampak pucat. Tidak mendung. Tidak cerah. Seperti dunia sedang menunggu sesuatu untuk jatuh, tapi belum memutuskan apa.

Lira duduk di bangku panjang dekat taman sekolah, tangan di pangkuan, punggung kaku seperti seseorang sedang menatapnya dari belakang. Tapi ia tahu, tidak ada siapa-siapa di sana.

Bukan karena ia merasa aman.

Justru karena hanya yang tidak terlihat yang membuatnya gelisah belakangan ini.

"Katanya kamu nggak masuk hari ini," suara Reva muncul tiba-tiba, mengagetkan Lira. Reva terdengar ceria seperti biasa, tapi napasnya agak berat, seperti habis berlari.

Lira menoleh pelan. "Aku... berubah pikiran."

Reva menatapnya, seolah menilai sesuatu lebih dalam dari sekadar kehadiran. "Kamu mimpi aneh lagi?"

Lira diam sejenak. Lalu menjawab tanpa menatap langsung, "Kali ini... aku merasa tidak pernah bangun."

Reva duduk di sebelahnya, menggoyang-goyangkan kakinya. "Kalau aku sih... kemarin mimpi dikejar kelelawar raksasa pakai payung merah. Jadi mungkin kita imbang."

Lira mengulas senyum kecil. Tapi jantungnya tetap berdegup dengan pola yang aneh.

Bukan karena mimpi.

Bukan karena Reva.

Tapi karena tadi pagi, saat dia bangun, dia mendengar seseorang bicara di dalam kepalanya.

Dan itu bukan suara hatinya.

---

Di dalam kelas, suasana terasa seperti ruang tunggu rumah sakit. Hening. Penuh ketegangan yang tidak punya bentuk.

Pak Reno sedang membagikan lembar latihan, tapi Lira tidak bisa fokus pada angka atau soal. Ia lebih sibuk memperhatikan bayangan di papan tulis.

Bayangan dirinya.

Yang... tidak sepenuhnya cocok dengan gerakannya.

Ia mencoba mengangkat tangan kanannya. Bayangan mengikuti. Tapi setengah detik kemudian, bayangan itu mengangkat bahunya sedikit, seolah sedang menyindirnya.

Lira memalingkan wajah, menatap meja. Hela napasnya memburu.

"Aku tahu kau melihatnya," bisik suara di dalam kepalanya.

Bukan suara perempuan.

Bukan suara laki-laki.

Tapi dingin, jelas, dan terasa seperti suara yang lahir dari dalam tulangnya sendiri.

Ia menggigit bibirnya. Mencoba menahan ketakutan agar tidak bocor lewat ekspresi.

"Lira?" panggil Pak Reno.

Ia mengangkat wajah secara reflek. "Ya?"

"Kalau tidak tahu jawabannya, tidak apa-apa. Tapi jangan melamun terlalu dalam."

"Maaf, Pak," jawabnya cepat.

Pak Reno mengangguk, melanjutkan. Tapi suara itu belum selesai.

"Kau pikir ini hanya tentang menggantikan satu versi? Ini lebih dari itu. Mereka semua mulai bicara. Semua yang pernah hampir jadi dirimu."

Lira memegang pena erat-erat.

Tinta menetes tanpa sadar.

Tangannya bergetar.

Mereka?

Semua?

---

Saat istirahat, Lira tidak ke kantin. Ia naik ke loteng perpustakaan, tempat yang nyaris tidak pernah dikunjungi siapa pun.

Langkahnya pelan. Tangga kayu berderit kecil di bawah sepatunya.

Begitu ia sampai di atas, ruangan itu gelap dan berdebu, dengan jendela kecil yang memantulkan bayangan samar dirinya di kaca.

Lira berdiri di tengah ruangan. Menunggu.

"Aku tahu kamu ada di sini," bisiknya.

Tak ada balasan. Tapi ia tahu... dia mendengar.

Lira menutup mata, menarik napas dalam.

"Aku tidak takut."

Suara itu muncul lagi. Tapi kali ini... tidak hanya di dalam kepalanya.

Melainkan dari belakangnya.

Langsung.

"Aku tahu. Tapi kamu seharusnya."

***

Lira menahan napas. Suara itu terlalu dekat. Terlalu nyata. Terlalu manusia. Tapi saat ia menoleh cepat ke belakang, tidak ada siapa-siapa di sana.

Hanya lemari arsip tua, jendela berdebu, dan bayangan tubuhnya sendiri.

Namun bayangan itu...

bergerak setengah detik lebih lambat.

Lira mundur. Tapi pantulan di jendela tetap berdiri diam, kepala sedikit miring, seolah sedang mempelajarinya seperti objek eksperimen.

"Siapa kamu?" gumamnya lirih.

Tidak ada jawaban.

Lira menunduk dan mengeluarkan ponsel lamanya dari saku dalam jaket. Layar retaknya memantulkan siluet samar ruangan. Ponsel itu tidak menyala, tidak bergetar, tidak memberi peringatan.

Tapi Lira tahu benda itu belum mati.

Ia hanya... menunggu.

Dan ia tahu, sesuatu sedang menunggu ia membuka sistemnya lagi.

Ia tak berani.

Bukan karena takut pada pilihan.

Tapi karena takut sudah tidak memiliki hak memilih sama sekali.

---

Langkah kaki terdengar di bawah. Lira segera menyimpan kembali ponselnya dan mengatur napas. Ia mendengar suara Reva memanggil dari lantai bawah.

"Lira? Kamu di atas, ya? Sini turun, kantin sepi banget. Aku udah beli roti dua, satunya buat kamu!"

Lira ragu sejenak.

Tapi kemudian suara yang lain... bukan Reva... muncul tepat di belakang telinganya.

"Dia bukan yang kamu pikir."

Deg.

Lira memejamkan mata. Suara itu seperti getaran langsung di dalam sarafnya, bukan lewat telinga. Jauh lebih dalam. Jauh lebih dekat.

"Dia tidak tahu bahwa dia bukan Reva."

Kata-kata itu muncul di kepalanya seperti kutipan dari masa lalu.

Dan ia ingat.

Pesan itu.

Jangan bicara padanya. Dia tidak tahu dia bukan Reva.

Tapi Reva... sudah ada sejak awal. Temannya. Yang selalu ada. Yang tidak pernah bersikap aneh, kecuali beberapa detik hening yang tidak bisa dijelaskan.

Beberapa tatapan yang terlalu kosong.

Beberapa tawa yang datang satu detik terlambat.

Lira menggigit bibirnya.

"Aku di sini!" jawabnya ke bawah, suaranya sedikit gemetar.

Tangga kayu berderit lagi. Reva naik perlahan. Wajahnya muncul dari balik langit-langit.

"Aduh, kamu bikin aku naik tangga cuma buat nyari kamu?" ucapnya dengan tawa kecil.

Lira menatapnya. Matanya tajam.

"Reva..." katanya perlahan. "Kamu ingat waktu kita pertama kali duduk sebangku?"

Reva berkedip. "Sebangku? Hmm..."

"Aku yang duduk duluan atau kamu?"

Pertanyaan itu tidak seharusnya sulit.

Reva terdiam terlalu lama.

"Tentu saja aku yang duluan. Kamu datang belakangan."

Lira menelan ludah. Ia ingat dengan pasti. Dirinyalah yang duduk lebih dulu. Reva datang terlambat di hari pertama masuk dan meminta duduk di sebelahnya.

Dan di antara semua yang aneh dalam hidupnya sekarang...

itu adalah memori yang belum pernah berubah.

Sampai detik ini.

---

Reva masih tersenyum, tapi pandangannya mulai kosong.

"Kenapa kamu nanya begitu?"

Lira berdiri. Perlahan.

"Kamu bukan Reva."

Tubuh Reva diam di tempatnya. Tapi matanya... mata yang tadi tampak ceria... mulai kehilangan fokus, seperti sedang memuat sesuatu yang tidak bisa disampaikan.

Kemudian, ia menjawab.

Bukan dengan suara Reva.

Tapi dengan nada yang lebih datar. Lebih berat.

"Aku mencoba jadi dia. Karena dia yang kau percaya."

Lira mundur dua langkah. Suara itu... bukan milik temannya.

"Aku? Siapa 'aku'?"

Wajah Reva menunduk. Lalu, dengan kepala tetap tertunduk, ia menjawab:

"Salah satu dari kamu."

***

Hening mendadak terasa seperti lembaran plastik yang melapisi seluruh ruangan. Suara bising dari luar tidak masuk. Gemerisik hujan di atap seperti disenyapkan. Bahkan detak jantung Lira pun terdengar seperti berasal dari tubuh orang lain.

"Salah satu dari aku...?" bisik Lira.

Wajah Reva... orang yang menyerupainya, masih tertunduk. Rambutnya menutupi sebagian wajah, seperti boneka yang setengah tertidurkan.

"Ada banyak," katanya pelan. "Lebih dari yang kau ingat. Lebih dari yang sistem sanggup simpan."

Lira menatapnya dengan ngeri. "Kau... versi siapa?"

"Aku tidak ingat."

Kepalanya mengangkat pelan. Matanya kosong. Tapi di balik kekosongan itu, ada sesuatu yang hidup. Sesuatu yang paham bahwa ia tidak seharusnya ada... dan justru karena itu, ia bertahan.

"Aku hanya tahu... aku pernah jadi kemungkinanmu. Tapi tidak pernah jadi kenyataan."

Lira bergumam pelan, "Versi yang tidak dipilih..."

"Yang ditinggalkan," koreksinya. "Yang kau tolak tanpa sadar. Yang terlalu lemah, atau terlalu berbeda, atau terlalu lambat untuk jadi 'kamu'."

Ia melangkah maju satu langkah.

Lira mundur dua.

"Apa maumu?" tanya Lira, napasnya tidak teratur.

"Aku tidak ingin tubuhmu," katanya. "Aku ingin ruang untuk ada. Itu saja."

"Tapi kamu sudah..."

"Tidak." Suaranya tajam. "Aku cuma bisa 'meminjam'. Sesekali. Saat kamu ragu. Saat kamu lelah. Saat kamu meragukan keberadaanmu sendiri... aku menyusup."

Lira menunduk. Kepalanya pusing. Kata-kata itu seperti merobek kenyataan yang selama ini ia anggap masih cukup utuh.

Ia sudah mencurigai ada yang menyusup ke sistemnya.

Tapi sekarang ia tahu: sistem itu tidak hanya bocor. Sistem itu... membiarkan mereka masuk.

"Apa sistem membiarkanmu hidup?" tanya Lira pelan.

Mereka saling menatap. Senyuman samar terbentuk di wajah Reva yang bukan Reva.

"Atau sistem itu sendiri... sudah jadi salah satu dari kita."

---

Lira berbalik dan turun tangga cepat. Ia tidak tahu harus ke mana, tapi ia tahu ia harus menjauh dari ruangan itu.

Ia mendengar langkah Reva atau apapun itu... tidak mengikuti. Tapi ia tahu, hanya karena saat ini dia sedang membiarkannya pergi.

Bukan berarti ia aman.

Ia menuju ke kamar mandi, mengunci diri di dalam bilik paling pojok. Nafasnya memburu. Matanya panas.

Dari sakunya, ia mengeluarkan flip phone.

Layar hitam.

Lalu perlahan menyala.

Tidak ada suara.

Hanya satu kalimat muncul.

"SEKARANG, MEREKA TIDAK PERLU MENYAMAR LAGI."

---

Lira ingin melempar ponsel itu. Tapi tangannya tidak menurut.

Karena sebagian dirinya... setuju dengan kalimat itu.

Dan ia tidak yakin bagian mana.

***

Sore menjelang malam. Langit berubah ungu kelam dengan garis jingga yang hampir menghilang di balik gedung sekolah.

Lira melangkah perlahan di lorong utama, menunggu semua siswa pulang sebelum berani keluar dari persembunyian. Sekolah terasa kosong. Sunyi. Tapi bukan sunyi yang nyaman, lebih seperti ruangan yang sudah terlalu lama menunggu kejadian buruk.

Langkahnya berhenti ketika ia melihatnya.

Di ujung koridor, berdiri seseorang. Diam. Tegap. Wajahnya tertutup bayangan.

Tapi Lira tahu siapa itu.

Dirinya sendiri.

Versi yang pernah ia lihat dalam mimpi.

Dalam refleksi.

Dalam gerakan yang tidak serentak.

Kini... berdiri di hadapannya secara nyata.

Lira mematung. Mulutnya terbuka sedikit, tapi tak ada suara yang keluar. Jantungnya berdetak keras, seolah mencoba mengingatkan bahwa tubuh ini masih miliknya.

Versi itu tidak bergerak. Tapi mata mereka bertemu.

Tidak kosong.

Tidak jahat.

Tapi terlalu yakin.

Yakin bahwa dia-lah yang seharusnya ada di sini.

Lira melangkah maju. "Apa kamu... yang dari dalam?"

Versi itu tersenyum tipis. "Dari mana menurutmu aku berasal?"

Suaranya tak terdengar dari telinga. Tapi masuk langsung ke dalam kepala. Seperti ponsel yang tidak pernah padam.

"Aku hanya bisa muncul saat kamu tidak penuh."

Lira mengepalkan tangan. "Aku tidak akan biarkan kamu menggantikanku."

"Aku tidak ingin menggantikanmu."

Senyumnya melebar.

"Aku ingin membuktikan... bahwa aku juga nyata."

Tiba-tiba, sekeliling mereka berubah. Dinding sekolah memudar. Lantai berganti jadi kilau basah seperti cermin.

Pantulan tubuh Lira di sekitarnya mulai membentuk versi lain, semua dirinya.

Lira berputar, panik.

"Ini bukan dunia nyata!" teriaknya.

"Bukan," sahut versi itu. "Tapi ini tempat di mana semua versi pernah menunggu giliran."

---

Lira menyadari: ia dibawa masuk.

Pikirannya diseret ke dalam lapisan realita yang tidak bisa dijangkau oleh orang biasa.

Lapisan di mana semua Lira yang tak terpilih... masih berdiri.

Menunggu.

Berharap.

Beberapa versi tampak menyeramkan. Wajahnya kosong. Matanya kabur. Tapi ada juga yang tersenyum lembut. Ada yang menangis. Ada yang bahkan terlihat bahagia sebelum membeku dalam bentuk yang tidak selesai.

Dan satu versi berdiri paling dekat. Tangannya gemetar.

"Aku hampir jadi kamu. Tapi kamu memilih yang lain."

"Aku tidak tahu," ujar Lira pelan. "Aku bahkan tidak tahu aku punya pilihan."

"Pilihan tetap terjadi... bahkan saat kamu tidak sadar."

Lira merasa matanya memanas.

"Kenapa kalian semua masih di sini?"

Salah satu versi menjawab.

"Karena kamu belum cukup yakin bahwa kamu pantas jadi yang terakhir."

---

Dunia cermin itu berguncang perlahan.

Satu versi yang sebelumnya diam... melangkah maju.

"Aku tidak ingin mengambil tubuhmu. Tapi kalau kamu terus goyah... kamu sendiri yang akan melepaskannya."

***

Lira berdiri di tengah ruang cermin, dikelilingi oleh versi-versi dirinya yang tidak pernah mendapat giliran hidup. Setiap wajah membawa perasaan yang berbeda, marah, pasrah, iri, hampa.

Tapi di antara semuanya, satu versi tampak paling utuh. Wajahnya identik. Ekspresinya tenang. Tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat napas Lira tersendat.

Versi itu melangkah maju.

"Akulah yang terbentuk dari setiap kali kamu ragu."

Lira tidak menjawab.

"Aku lahir dari semua 'mungkin' yang kau abaikan," lanjutnya. "Setiap langkah mundurmu. Setiap kata yang tidak kamu ucapkan. Aku menyerapnya. Aku menyimpannya. Dan sekarang, aku lebih nyata dari kamu."

Lira mencengkeram dadanya sendiri. Dunia di sekitarnya mulai retak seperti kaca. Pantulan yang mengelilinginya mulai memudar, satu per satu. Tapi yang satu ini, versi yang berdiri tepat di hadapannya... tidak pudar.

Justru semakin nyata.

"Kenapa sekarang?" Lira berbisik.

"Karena kamu sudah cukup goyah untuk membuka pintu," jawabnya.

Lira menutup mata. Mencoba mengingat siapa dirinya. Apa yang membuatnya berbeda dari mereka.

Tapi pikirannya penuh dengan keraguan yang justru menyuarakan semua alasan mengapa mereka bisa lebih layak.

"Aku masih di sini," gumam Lira.

Versi itu tersenyum.

"Untuk sekarang."

---

Flip phone menyala di tangannya. Ia tidak sadar kapan benda itu muncul kembali.

Layar menampilkan tulisan, bukan sistem, bukan perintah.

Hanya satu baris, seolah diketik oleh seseorang dari sisi lain layar:

"Saat kamu bangun, kamu akan tahu siapa yang tertinggal."

---

Tubuh Lira bergetar. Dunia cermin mulai hancur. Suara berderak seperti tulang pecah mengelilinginya. Tapi ia tetap berdiri. Menatap versi di hadapannya dengan mata basah dan rahang mengeras.

"Aku mungkin ragu... tapi aku tidak akan menyerah."

Versi itu memiringkan kepala.

"Lalu buktikan. Bangun dengan keyakinan... atau jangan bangun sama sekali."

---

Gelap.

---

Lira membuka mata.

Langit-langit kamarnya. Lampu mati. Udara dingin.

Ia duduk perlahan. Jantungnya berdetak kencang. Tangannya gemetar.

Ia menoleh ke cermin kecil di meja rias.

Bayangannya menatap balik.

Diam.

Lira menatap lebih dalam, menunggu.

Bayangannya mengedipkan mata...

tepat bersamaan dengannya.

Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari...

tidak ada keterlambatan.

Tapi tepat sebelum ia berpaling...

bayangan itu menyeringai sangat cepat.

Hanya satu detik.

Hanya cukup lama untuk memastikan bahwa sesuatu...

masih tinggal.

***