Sudut Pandang Hazel
Teleponku berdering saat aku sedang meninjau desain untuk koleksi mendatang kami. Nama Alistair muncul di layar, membuat perutku menegang. Aku berharap percakapan terakhir kami tentang percobaan obat Gloria akan menjadi akhir dari semuanya.
Aku menjawab dengan menghela napas. "Ada apa lagi, Alistair?"
"Kau penyihir tak berperasaan!" Suaranya meledak melalui speaker, membuatku menjauhkan telepon dari telingaku. "Apa yang telah kau lakukan pada adikku?"
Aku mengerutkan dahi, benar-benar bingung. "Apa maksudmu? Aku tidak bertemu Gloria sejak malam itu di restoran."
"Jangan berlagak polos denganku," ia menggeram. "Gloria ada di rumah sakit."
Alisku terangkat. "Lagi? Apa lagi kali ini? Reaksi alergi lain terhadap rencananya sendiri?"
"Ini tidak lucu, Hazel!" Suara Alistair pecah karena amarah. "Dia diserang tadi malam. Dokter mengatakan dia..." Suaranya berubah menjadi bisikan yang menyakitkan. "Dia dilecehkan."