## Sudut Pandang Hazel
Aku duduk di mejaku, memutar ulang percakapanku dengan Sebastian kemarin. Kekhawatiran tulus dalam suaranya masih terngiang di telingaku, membuatku merasa bersalah karena reaksiku yang dingin. Dia hanya mencoba membantu, dan aku mendorongnya menjauh seolah-olah perhatiannya adalah gangguan.
Pikiranku terganggu oleh ketukan pelan di pintu. Quentin berdiri di sana, laptop di tangan, ekspresinya bersemangat namun profesional.
"Selamat pagi," katanya. "Siap melanjutkan dari tempat kita berhenti kemarin?"
Aku mengangguk, memaksa diriku untuk fokus pada pekerjaan. "Tentu. Mari gunakan ruang konferensi lagi."
Saat kami berjalan menyusuri lorong, tanpa sadar aku menyentuh benjolan di dahiku. Masih terasa nyeri tapi tidak terlalu bengkak berkat kompres es yang Quentin paksa kemarin.
"Bagaimana kepalamu?" tanyanya, menyadari gesturku.
"Lebih baik," akuku. "Terima kasih atas bantuanmu kemarin."