Liam's POV
Aku mencengkeram setir dengan erat, sesekali melirik Hazel di kursi penumpang. Jarinya gemetar saat menggenggam ponselnya, memeriksa benda itu dengan obsesif. Pengakuan bahwa dia memiliki seorang putra telah membuatku terkejut bukan main.
"Berapa umurnya?" tanyaku, memecah keheningan yang menegangkan.
"Dua tahun," jawabnya tanpa mengangkat pandangan. "Dia tidak pernah sakit separah ini sebelumnya."
"Aku yakin dia akan baik-baik saja," kataku, mempercepat laju mobil saat lampu kuning menyala. "Anak-anak sering demam."
Akhirnya dia menatapku, mata hijaunya berkaca-kaca. "Kamu tidak mengerti. Leo adalah segalanya bagiku."
Leo. Nama itu menghantamku seperti pukulan fisik. Nama ayahku. Betapa kebetulannya?
"Kita hampir sampai," aku meyakinkannya, mengesampingkan pikiran tentang ayahku. "Gedung yang mana?"
"Yang biru di sebelah kanan." Dia menunjuk ke depan. "Lantai tiga, apartemen 302."