Keesokan harinya aku muali kegiatanku seperti biasa bekerja sebagai kurir, tak kusangka ada paket untuk Rita.
Aku berdiri di depan pagar rumahnya sambil memegang paket kecil berisi kosmetik impor. Nama pengirimnya tertulis "Rita Kosmetik", tapi penerimanya… jelas tertulis: hatinya yang belum sembuh.
Belum sempat kuketuk pintu, suara Rita terdengar dari dalam rumah.
> "Raksa?"
> "Iya, saya. Paket buat Bu Rita, kayak biasa."
> "Buka aja, saya lagi masak."
Aku masuk dengan hati yang tak seberani kemarin. Jujur saja, efek dari sentuhan singkatnya masih menempel—bukan di kulit, tapi di dada. Ada sesuatu yang belum selesai dari momen itu. Dan sekarang, aku takut—takut berharap lebih dari sekadar tugas sistem.
Rita muncul dari dapur, rambut diikat asal, kaus longgar, dan aroma bawang putih bercampur wangi tubuhnya sendiri. Natural. Tidak dibuat-buat. Dan justru itu yang bikin bahaya.
> "Taruh aja di meja," katanya sambil menyeka tangan dengan handuk kecil.
Aku menurut. Tapi saat aku menoleh untuk pamit, dia berkata:
> "Eh... kamu sempat mikir yang aku bilang kemarin?"
Aku berhenti.
> "Yang mana ya?"
> "Yang tentang... menyentuh orang."
Aku menatapnya. Kali ini bukan dengan skill, tapi dengan naluri seorang lelaki yang mulai tak yakin batas antara misi dan perasaan.
> "Saya nggak bisa lupa."
Rita tertawa pelan, lalu menunduk.
> "Saya juga gak biasa ngomong kayak gitu ke orang baru. Tapi entah kenapa, kamu…"
> "Saya bukan orang baru, Bu. Saya cuma orang yang belum sempat kamu kenal."
Rita menoleh. Ada secercah senyum di sana. Tapi cepat menghilang.
> "Kamu pintar, ya. Tapi hati-hati."
> "Hati-hati?"
> "Kamu tahu gimana rasanya kalau terlalu banyak wanita nyaman sama kamu?"
"Mereka bukan saling menyayangi, Raksa. Mereka saling membunuh secara halus."
---
Kalimat itu menghantam lebih keras daripada notifikasi sistem manapun.
Aku diam. Tak ingin membantah, tak ingin menyangkal. Karena mungkin, itu peringatan… atau ancaman lembut dari masa lalunya.
> "Makasih paketnya," katanya pelan. "Besok tolong ambilin yang dari supplier Cina ya. Harusnya datang malam ini."
> "Siap, Bu."
Aku keluar rumah dengan langkah pelan. Kali ini, aku tidak dikejar sistem. Tapi... dikejar rasa bersalah yang belum jelas bentuknya.
---
[SISTEM: TARGET DALAM MODE DEFENSIF]
> Kemungkinan pujian emosional: Rendah
Rekomendasi: Alihkan fokus ke target alternatif
---
> "Dina…" gumamku.
Belum sempat melangkah jauh, suara sistem kembali masuk:
[SISA WAKTU UNTUK MISI SUGESTI VERBAL: 68 JAM]
---
dengan target baru, strategi baru dimulai
---
Warung tempat biasa aku ngopi di sore hari itu nggak ramai. Hanya ada dua bapak-bapak yang sedang main gaple dan satu penjual gorengan yang sibuk mengipasi tahu isi.
Aku duduk di bangku kayu dekat dinding, menuang kopi sachet ke gelas plastik, dan mulai menenangkan pikiran. Rita terlalu rumit untuk disentuh, dan sistem memberiku tenggat waktu yang semakin sempit.
> "Kok sendirian aja, Mas Kurir?"
Aku menoleh pelan.
Dan di sanalah dia.
Feby.
Tanpa seragam sekolah, tanpa sorot tajam penuh hinaan. Hari ini dia pakai kaus putih ketat dan celana jeans robek-robek, rambutnya dikuncir ke samping. Tapi yang paling mengejutkan… dia tersenyum.
> "Kamu… nongkrong juga di sini?"
> "Dari dulu," jawabku datar.
> "Dari dulu aku nggak pernah lihat."
> "Dulu kamu ngelihatnya ke arah lain."
Dia terkekeh kecil, duduk di depanku tanpa izin.
Membeli es teh, lalu menyeruputnya dengan gaya santai, seolah kita sahabat lama yang tak pernah bertengkar.
---
[SISTEM: EMOSI TARGET FLUKTUATIF]
> Motivasi Feby: 43% penasaran, 27% dendam, 30% tak terdeteksi
Status: Bahaya tersembunyi. Waspadai manipulasi balik.
---
> "Dulu kamu kurus. Sekarang… lumayan," katanya sambil memiringkan kepala.
> "Lumayan apa?"
> "Lumayan bikin penasaran."
Aku tak menjawab. Mataku menatap matanya. Ingin kutembus permainan ini, tapi dia terlalu lihai menyamarkannya.
> "Kamu nunggu siapa?" tanyanya.
> "Nunggu jam kerja selesai."
> "Aku pikir kamu nunggu aku nyesel."
Aku menahan napas sesaat.
Feby menatapku lama, lalu mengerucutkan bibir, pura-pura ngambek.
> "Diem amat. Dulu kamu cerewet banget, ingat gak waktu kamu ngajak aku ke taman dan bilang aku kayak bulan?"
Aku tersenyum tipis.
> "Dulu aku polos. Sekarang aku mikir dua kali sebelum nyebut cewek kayak bulan… karena bulan pun bisa menghilang."
---
[SISTEM: EMOSI FEBY TERSENTIL – RASA HORMAT +5%]
> Status: Masuk ke fase tarik-ulur. Potensi pujian: 42% jika diberi dorongan emosional
---
Feby mendekat sedikit.
> "Tapi serius, Raksa… kamu udah berubah. Mungkin aku yang salah liat waktu itu."
> "Atau kamu gak pernah mau lihat."
Dia tidak membalas. Hanya menatap ke meja, menggambar-gambar pakai sedotan plastik di atas embun.
> "Eh…" katanya pelan, "kamu nggak marah aku ngajak kamu ciuman waktu itu?"
> "Aku masih nyari tahu, itu karena kamu pengen… atau karena kamu pengen permalukan aku."
Feby tertawa, tapi… nervous.
> "Kamu pintar juga, ya. Dulu kamu bodoh banget."
> "Dulu aku gak punya sistem," batinku dalam hati.
---
Dia berdiri tiba-tiba.
> "Aku cabut dulu. Kalau sempat, mampir ke rumah aku, ya. Aku lagi sendirian."
Dia menyeringai sebentar, lalu melangkah pergi.
---
[SISTEM: TARGET MEMBERI UNDANGAN TIDAK LANGSUNG]
> Mode: "Tes dan Umpan"
Peluang Pujian Emosional: 58% jika MC hadir dan mengendalikan percakapan
---
Aku menghela napas panjang.
Feby bukan lagi cewek populer yang dingin. Tapi bukan juga wanita yang siap menyerah. Dia bermain. Dan aku harus lebih pintar... atau jatuh ke dalam permainannya sendiri.
---
Aku duduk sendirian di atas motor yang belum kunyalakan. Sore mulai menguning, dan udara membawa aroma gorengan dari warung. Tapi pikiranku tidak bisa ikut tenang.
---
[SISTEM: PEMBARUAN MISI UTAMA – "SUGESTI VERBAL"]
> Sisa waktu: 67 jam 12 menit
Dua Target Terdaftar:
Rita: Peluang pujian emosional 32%
Feby: Peluang pujian emosional 58% (Namun potensi manipulasi tinggi)
> Rekomendasi:
Lanjutkan interaksi dengan Feby untuk aktivasi skill dengan risiko emosi tidak stabil
atau
Perkuat pendekatan terhadap Rita meskipun lambat dan menuntut kesabaran
---
Aku mendesah.
> "Feby lebih cepat. Tapi dia licin.
Rita lebih dalam. Tapi dia pelan."
Keduanya punya luka. Keduanya punya dinding yang belum kutembus. Tapi sistem tidak peduli luka mereka, hanya peduli statistik dan waktu.
> "Ini baru dua. Dan aku harus menaklukkan sembilan."
Tiba-tiba sistem menampilkan grafik bar biru di udara.
---
[PROGRES MC]
V Skill "Tatapan Halus"
V Skill "Sentuhan"
= Target Skill: "Sugesti Verbal"
X Skill "Harmoni Harem"
X Skill "Stamina"
X Skill "Dominasi Lembut"
---
> "Baru dua. Tapi rasanya kayak lima."
Sistem kembali menampilkan notifikasi:
---
[NOTIFIKASI INTERNAL]
> "Aktivasi ketiga skill dasar akan membuka level misi utama berikutnya."
"Setelah skill Sugesti aktif, target selanjutnya: menciptakan konflik antar dua wanita dan menyatukan mereka tanpa kehilangan keduanya."
---
Aku menunduk, memandangi bayangan sendiri di tangki motor.
> "Jadi setelah ini, mereka berdua akan... bersinggungan?"
Mataku menatap jauh ke arah tikungan. Di sanalah rumah Rita. Tapi di belakangku, jalur kecil ke arah perumahan Feby juga menunggu.
> "Satu jalan menuju perlahan, satu jalan menuju bahaya."
Kupasang helm. Tapi belum kuputar kunci mot
or.
> "Apa aku bisa... membuat mereka sama-sama percaya padaku? Atau ini semua akan meledak di mukaku sendiri?"
---
[SISTEM: PILIHAN TERBUKA]
1. Pergi ke rumah Rita – butuh ketulusan, tidak ada kepastian
2. Pergi ke rumah Feby – penuh peluang, tapi ada jebakan psikologis
---
Kupencet gas, tapi motor tetap diam.
Karena bukan tangan yang ragu. Tapi hatiku yang belum memilih.