Surabaya, pukul 05.30 WIB
Kabut pagi masih menyelimuti jalanan Gunungsari ketika Rayya Ataxaria terbangun oleh dering alarm dari Xiaomi Redmi Note 5-nya yang layarnya retak di sudut kanan atas. Tangannya yang kurus meraba-raba di atas meja samping tempat tidur, mematikan suara yang mengganggu itu. Batuk kering mengguncang tubuhnya, membuatnya harus meraih sebotol air mineral yang sudah setengah habis.
"Dua bulan lagi," bisiknya sambil menatap kalender di dinding yang menandai tanggal ulang tahunnya yang ke-18. Tanggal yang mungkin tak akan pernah ia rayakan.
---
Di kamar mandi sempit apartemen 2x3 meter itu, Ray menatap bayangannya di cermin yang sudah buram. Mata cokelatnya yang biasanya tajam kini terlihat redup, dengan lingkaran hitam yang semakin dalam.
"Kau harus bertahan," gumamnya sambil menekan dada kirinya yang sesak.
Ibunya, seorang akuntan di perusahaan kecil, sudah pergi sejak pukul 5 pagi. Di atas meja makan tersedia sepiring nasi goreng sederhana dan secangkir teh hangat. Ray menyimpan makanannya ke dalam kotak bekal, memastikan tak ada yang terbuang.
Getar. HP-nya menyala.
GJE Permata
[Rizal] "Bro, ada bocoran soal kalkulus nggak? Besok ulangan nih!"
[Nadia] "Iya dong, anak beasiswa kan wajib berbagi~"
Jari-jarinya yang panjang mengetik cepat:
"Cari sendiri. Gue bukan bank."
Lalu ia mematikan data selulernya.
---
Motor Honda Beat 2010-nya yang sudah penuh baret mengeluarkan suara menggerutu ketika dihidupkan. Ray menyusuri jalanan Surabaya yang mulai ramai, melewati deretan ruko di Jalan Dharmahusada. Bau polusi dan aroma sarapan pagi bercampur menjadi satu.
Di lampu merah sebelum sekolah, matanya tertarik pada billboard raksasa yang menampilkan wajah familiar - keluarga Wijaya, pemilik Grup Wijaya Corporation. Di sebelah kiri, ada wajah gadis bermata biru yang ia kenal terlalu baik dari berita-berita sosialita.
Kimberly Wijaya.
"Dunia mereka berbeda dengan kita," Ray menggerutu dalam hati sambil menggenggam setang motor lebih kencang.
---
Gerbang SMA Permata berdiri megah dengan pilar-pilar marmernya. Ray memarkir motor di area terjauh, seperti biasa. Tapi hari ini, nasib sedang tidak memihak.
"Awas!"
Suara perempuan itu disusul oleh dentuman keras. Tumbler Starbucks Limited Edition jatuh tepat di depan kakinya, menyiramkan kopi vanilla latte ke sepatu sekolahnya yang sudah usang.
"Nggak lihat jalan ya?"
Ray mengangkat pandangan. Di depannya berdiri sosok yang baru saja ia lihat di billboard. Kimberly Wijaya - rambut hitamnya diikat messy bun, mata birunya tajam seperti kristal, dan seragam yang terlihat berbeda karena pasti disetrika oleh pembantu rumah tangga.
"Ini," Ray mengulurkan tumbler itu tanpa ekspresi.
Kim menyambutnya dengan gerakan kasar. "Lo anak baru? Kok nggak pernah liat di circle gue?"
"Bukan. Gue Rayya, kelas XI IPA 3."
"Oh... si kutu buku beasiswa!" Kim menyeringai. "Denger-denger lo jago fisika. Bisa bantu gue ngerjain tugas nggak? Bayar deh."
Ray menghela napas panjang. "Nggak tertarik."
Ia berbalik pergi, tapi tiba-tiba lengannya dicengkeram. "Lo tahu nggak, gue bisa bikin lo dikeluarin dari sekolah ini dalam satu telepon?"
Mata Ray berkedip perlahan sebelum ia melepaskan genggaman Kim dengan gerakan tegas. "Silakan. Tapi ayah lo pasti lebih butuh murid berprestasi untuk pajak perusahaan daripada anak manja yang nggak bisa ngerjain tugas sendiri."
Wajah Kim memerah. Tak ada yang pernah berani bicara seperti itu padanya.
---
Kantin SMA Permata berisik dengan obrolan tentang liburan ke Paris dan mobil baru. Ray memilih sudut paling pojok, mengeluarkan bekal nasi gorengnya yang sudah dingin.
Geser.
Nampannya tergeser ketika Kim duduk di depannya dengan membawa salad quinoa dan air mineral impor.
"Kenapa lo jauhin gue tadi?"
Ray terus makan, mengabaikannya.
"Diem aja terus sih!" Kim mendecak. "Gue cuma mau kenalan. Lo satu-satunya orang yang nggak mau deketin gue."
Sendok plastik di tangan Ray berhenti bergerak. "Cari hiburan lain, Kim. Aku bukan mainan."
Tapi senyum Kim justru semakin lebar. "Justru itu yang bikin lo menarik."
---
Sore itu, langit Surabaya mendadak gelap. Ray terjebak di bawah atap sekolah karena hujan deras. Motor tuanya diparkir 500 meter jauhnya - ia tak mau terkena ejekan lagi karena kendaraannya yang usang.
"Nggak ada yang jemput?"
Kim muncul tiba-tiba dengan payung transparan bergambar sakura.
"Gue naik motor," jawab Ray singkat.
"Hah? Basah-basahan gitu?" Kim mengangkat alis. "Nih, gue anterin."
"Nggak usah."
Tapi Kim sudah menarik lengannya. "Jangan keras kepala! Lo mau batuk lagi kayak tadi di kelas?"
Ray terkejut. "Lo... perhatikan?"
Kim tiba-tiba diam. Rintik hujan menciptakan jarak aneh antara mereka.
"Gue... cuma nggak mau utang budi," akhirnya Ray bergumam.
Kim tersenyum kecil. "Udah, jangan bawel. Ajak gue naik motor lo, terus beliin es teh di warung depan sekolah. Deal?"
Saat itulah Ray menyadari sesuatu yang berbahaya - ada ketulusan di balik sikap manja Kimberly Wijaya. Dan itu lebih menakutkan daripada semua ancaman yang pernah diucapkannya.