Malam hari di apartemen Kazuki.
Aika berdiri di depan cermin, mengenakan jaket hitam Kazuki. Ia melihat bayangannya sendiri — dulu rapuh, sekarang dingin dan tegar. Di tangannya, sepasang sarung tangan lateks putih.
Kazuki duduk di kursi, memeriksa pisau lipat dan peta sekolah yang sudah dicoret di beberapa bagian.
“Malam ini, guru itu akan diam selamanya,” kata Kazuki datar.
Aika mengangguk. “Biar aku yang lakukan.”
Kazuki menatapnya sejenak, lalu bangkit, menyerahkan sebuah ponsel kecil. “Ini buat komunikasi. Tapi ingat... jangan ragu.”
Sekolah, pukul 11 malam.
Pak Hayama masih di ruang guru, lembur. Lampu neon berkedip samar. Dia membaca laporan absensi siswa yang makin banyak kosong.
Tiba-tiba—lampu padam.
Gelap.
“Siapa di sana!?” teriaknya.
Langkah pelan mendekat. Lalu muncul Aika, berdiri di ambang pintu dengan wajah tanpa ekspresi.
“Kamu... Aika?”
Dia tak sempat bicara lebih jauh. Aika menutup pintu, menekan tubuh Pak Hayama ke dinding, dan menyuntikkan cairan bius dari Kazuki.
Pak Hayama meronta... lalu tubuhnya lemas. Napas pelan. Tidak mati — belum.
Kazuki masuk dari jendela belakang, membawa kantong plastik besar dan botol bensin.
“Bagus. Kau tak ragu.”
Aika menatap tangan bergetarnya. Tapi kemudian berkata, “Aku ingin menyingkirkan semuanya... agar kita bisa hidup bebas.”
Kazuki tersenyum samar. “Kau sempurna.”
Beberapa hari kemudian…
Sekolah gempar karena Pak Hayama menghilang. Polisi datang, tapi tidak menemukan jejak apa pun. Aika dan Kazuki duduk berdampingan di kelas, wajah tenang, seolah tak pernah terjadi apa-apa.
Di mading sekolah, pengumuman kelulusan sudah dekat.
Kazuki berbisik ke Aika,
“Satu langkah lagi, lalu kita bisa bersih. Kita akan hilang… dan dunia takkan tahu.”
Aika menggenggam tangan Kazuki di bawah meja.