Bagian 1: Kemunculan Bayangan Memori
Setelah ditelan oleh celah waktu yang terdistorsi, pandangan Ling Yu gelap, dan dia mendapati dirinya berada di ruang kuno yang menyerupai papan catur. Tanah terdiri dari kotak-kotak dengan ukuran berbeda, masing-masing berkedip dengan cahaya abu-abu dalam berbagai nuansa, seolah-olah jalur takdir yang tak terhitung saling bersilangan. Tidak ada dinding atau langit-langit, hanya suara dengungan rendah yang terputus-putus, seperti lonceng raksasa yang berdentang bersamaan di kejauhan, atau jiwa-jiwa yang saling memanggil di jurang.
Dia menarik napas dalam-dalam dari udara keruh, tubuhnya seakan melayang di kekosongan, namun dia Official could still feel the pain in his chest with each breath. Tanda lingkaran bintang di pergelangan tangannya bergetar hebat, menariknya kembali dari kebingungan. Ling Yu menatap cahaya emas yang berputar di telapak tangannya, diam-diam mengulang dalam hatinya: “Aku tidak boleh berhenti; bahkan sedikit ketakutan harus diubah menjadi dorongan untuk maju.”
Tiba-tiba, beberapa kotak di tengah papan catur menyala dengan cahaya putih yang menyilaukan, seperti percikan api yang menyalakan awan gelap, menembus segala kekosongan. Sebuah wajah perlahan muncul dari cahaya putih, matanya dalam dan sedih, bahkan membawa sentuhan kelembutan yang sulit terlihat. Wajah itu tampak akrab namun jauh—bayangan memori dari kedalaman kesadaran Ling Yu.
Cahaya dan bayangan bergabung, dan sosok itu akhirnya melangkah keluar dari cahaya putih ke papan catur. Setiap langkahnya meninggalkan pola emas di kotak di bawah kakinya, menghubungkan garis-garis abu-abu di sekitarnya, seolah menggambar urat takdir baru. Wanita itu mengenakan jubah putih bulan yang halus, langkahnya ringan, matanya mencerminkan pengalaman hidup dan mati.
Jantung Ling Yu berdetak kencang, dan dia berseru, “Siapa… siapa kamu?”
Dia berhenti di tengah papan catur dan tersenyum lembut, senyum yang seakan membawa cerita ribuan tahun: “Aku adalah bayanganmu, dan juga kemungkinan yang telah kamu lupakan. Kamu boleh memanggilku—Qing Yin.”
“Qing Yin?” Ling Yu bergumam, ekspresi rumit di matanya. “Aku tidak ingat kamu.”
Qing Yin menundukkan matanya dan menyentuh lembut sebuah kotak di papan catur dengan ujung jarinya. Kotak itu seketika berubah menjadi cermin seperti kaca, memantulkan memori yang tidak termasuk dalam jalur hidup utama Ling Yu: pada suatu malam, dia menekan tangannya ke cermin, menatap kosong pada versi dirinya yang terus mundur, berbisik dengan suara gemetar, “Selamatkan aku, jangan biarkan aku lupa.”
Pupil Ling Yu menyempit tajam: “Itu adalah mimpi…”
Qing Yin mengangkat bibirnya, suaranya seperti air mengalir: “Tidak, itu adalah memori yang sengaja kamu segel. Kamu memilih untuk mengabaikan aku dan meninggalkan memori itu, menganggapnya sebagai pelarian. Tapi aku selalu ada di sana, di cerminmu, menunggu kedatanganmu.”
Dia menoleh ke arah celah, sedikit kesedihan melintas di matanya: “Jaring takdir sedang runtuh. Kamu membutuhkan memori ini untuk memperbaiki inti spiritualmu. Kalau tidak, pecahan yang banyak akan menelan kesadaranmu, dan dirimu yang sebenarnya akan hilang di antara versi yang tak terhitung.”
Tenggorokan Ling Yu bergerak, dan dia akhirnya melangkah menuju Qing Yin. Dia meraih ujung jarinya, merasakan energi hangat yang seketika menyebar ke seluruh tubuhnya, seperti getaran saat diakui untuk pertama kalinya.
Pada saat itu, seluruh papan catur tiba-tiba bergetar seolah terbalik, kotak-kotak abu-abu runtuh, dan sebuah jalur spiral menuju kekosongan perlahan terbentuk. Qing Yin berkata pelan, “Masuklah, itu adalah—Suaka Memori. Hanya dengan menyelesaikan ujian di sana, kamu bisa benar-benar menguasai dirimu dan melanjutkan perjalanan.”
Ling Yu menarik napas dalam, mencengkeram emblem di tangannya erat-erat, tatapannya teguh: “Aku siap.”
Dia dan Qing Yin melangkah ke dalam jalur bersama, meninggalkan pola emas yang berkilau di papan catur, seolah menggambar jalur baru untuk takdir.
Di dalam jalur, semua suara seakan tersedot, hanya aliran cahaya tak berujung yang meluncur perlahan di kedua sisi, seperti serpihan memori yang terlupakan namun belum hilang dalam kesadaran Ling Yu. Setiap jejak cahaya berkedip dengan adegan kemungkinan yang belum terwujud—surat yang tak terkirim, pengakuan yang tak terucap, pertempuran yang belum selesai.
Ling Yu berjalan berdampingan dengan Qing Yin, merasakan aura yang perlahan memancar dari tubuhnya—itu bukan energi spiritual biasa, melainkan aliran qi yang sangat selaras dengannya, seperti benang sutra yang membelai jiwanya, secara bertahap menenangkan getaran yang tidak stabil di kedalaman kesadarannya.
“Siapa sebenarnya… kamu?” Ling Yu bertanya lagi.
Tatapan Qing Yin tidak menghindar; dia hanya sedikit menoleh, matanya tertuju pada tanda lingkaran bintang di tubuhnya. “Aku adalah bayangan dari salah satu kesadaran paralelmu yang tak terhitung, namun aku adalah satu-satunya yang memilih untuk tinggal dan hidup berdampingan denganmu.”
“Melalui perpecahan dan rekombinasi yang tak terhitung, seharusnya aku sudah lama lenyap. Tapi pada suatu malam, dengan sisa terakhir kesadaranmu, kamu menyegelku di ruang ini—hanya untuk menunggu momen ini.”
Ling Yu terpaku, saat memori samar itu perlahan muncul dengan kata-kata Qing Yin. Dia ingat suatu malam, di ambang kehancuran kesadaran, dia berseru ke kekosongan, berharap ada satu “diri” yang bisa tinggal, mengingat ketakutan dan keyakinannya, mengingat alasan sebenarnya “mengapa berangkat.”
Qing Yin berhenti dan mengangkat tangannya menunjuk ke depan. Ada sebuah suaka yang melayang di atas kekosongan tak berujung, seolah dibangun dari cahaya dan kehendak, garisnya terus berubah, dengan tiga pintu melayang di tengahnya.
Di setiap bingkai pintu terukir kalimat kuno—bukan dalam bahasa apa pun, melainkan dalam arketipe yang bisa dipahami oleh “naluri kesadaran”:
• “Pilih dirimu yang terlupakan.”
• “Pilih dirimu yang ingin kamu jadi.”
• “Pilih dirimu yang tidak bisa kamu akui.”
Suara Qing Yin menjadi lembut dan etereal: “Ketiga pintu ini sesuai dengan tiga persona memori yang pernah kamu tinggalkan. Hanya dengan memilih salah satu, menghadapinya, menerimanya, dan mengintegrasikannya, kamu bisa memasuki jantung lapisan berikutnya dari Sistem Pengamatan Takdir.”
Ling Yu menengadah ke tiga pintu, hatinya bergelombang. Ini bukan sekadar memilih memori, melainkan menerima keberadaan yang tidak ingin dia hadapi. Ini adalah tantangan dari kedalaman jiwanya.
“Aku akan menemanimu melewati ini,” kata Qing Yin pelan, berdiri di sampingnya, nadanya tegas dan tak terbantahkan.
Ujung jari Ling Yu sedikit gemetar, tetapi tatapannya tidak lagi goyah. Dia melangkah maju, menuju pintu tengah—itulah “Pilih dirimu yang ingin kamu jadi.”
Karena dia tahu itulah yang paling dia takuti—diri ideal yang kuat dan sempurna yang pernah menjadi mimpinya yang paling gigih dan juga rasa malunya yang terdalam.
Saat ujung jarinya menyentuh gagang pintu, seluruh suaka bergetar hebat, dan suara aneh datang dari dalam pintu: “Kamu tidak di sini untuk memilih, melainkan untuk membuktikan—bahwa kamu layak memiliki pilihan.”
Ling Yu terkejut, dan sebelum dia bisa bereaksi, pintu terbuka dengan sendirinya, dan cahaya kuat menyelimutinya sepenuhnya.
Dia merasa seolah tubuhnya tercabik dan terlempar ke ruang lain, di mana waktu dan memori saling terdistorsi—dan ujiannya baru saja dimulai.
Ling Yu terjatuh dari cahaya terang, mendarat di ruang yang tak terlukiskan. Di sekelilingnya adalah dunia yang terdiri dari “diri” yang tak terhitung. Ke mana pun dia berjalan, versi dirinya yang tak terhitung muncul—beberapa berdiri di podium, bersinar seperti guru; beberapa mengenakan seragam penjara, wajah penuh penyesalan; yang lain berlumuran darah, mata kosong, seperti roh yang baru saja mundur dari medan perang. Mereka diam, hanya menatapnya, seperti hakim atau sisa-sisa yang menunggu penebusan.
Setiap diri seperti keberadaan yang pernah dia tinggalkan, tolak, atau tekan.
Langkah Ling Yu tak sadar berhenti di depan satu “Ling Yu”—berpakaian rapi, sikap dingin, mata setajam pisau, seakan mengendalikan segalanya. Dia berdiri di tempat tinggi, memegang lingkaran bintang dan kunci, dan saat menatap Ling Yu saat ini, suaranya rendah dan tegas: “Kamu pernah mendambakan menjadi aku. Tapi saat takdir menuntutmu menjadi aku, kamu memilih melarikan diri.”
Kata-kata ini menghantam seperti petir, mengenai rasa rendah diri dan penolakan terdalam di hati Ling Yu. Dia tahu inilah pintu yang dia pilih—“diri yang ingin dia jadi tetapi tidak bisa.”
“Kamu hanya berani bersembunyi di balik pilihan, menyamarkan ketidakbertindakan sebagai kerendahan hati, menafsirkan mundur sebagai penghormatan. Kamu bilang kamu menunggu saat yang tepat, padahal… kamu hanya takut mengambil tanggung jawab.”
Setelah berbicara, “dia” tiba-tiba melempar lingkaran bintang di tangannya, yang berubah menjadi pusaran emas hitam yang menangkap dada Ling Yu. Rasa tercabik yang kuat memaksa Ling Yu berlutut, batuk hebat, hampir tak bisa bernapas. Dia melihat tubuhnya perlahan memucat saat untaian energi ditarik dari dalam dirinya dan masuk ke “dia.”
Dia menyadari dengan terkejut bahwa ini bukan ujian melainkan penyerapan kepribadian.
“Apakah ini… pembalikan kepribadian?” dia berteriak dari kedalaman kesadarannya.
Pada saat itu, suara Qing Yin turun seperti cahaya bulan, lembut namun tegas menembus ruang: “Ling Yu, ujian ini bukan tentang mengalahkannya, melainkan apakah kamu bisa mengakui bahwa dia adalah bagian dari dirimu.”
Ruang tiba-tiba membeku. Ling Yu menengadah melihat “dia” yang dingin perlahan berjalan ke arahnya, langkahnya berat. Setiap langkah seakan menghancurkan pilihan yang dia hindari di masa lalu. Dia ingin melarikan diri, tetapi kakinya tak bisa bergerak. Dia ingin melawan, tetapi mendapati sebagian besar energinya telah terkuras.
“Aku mengakui kamu,” kata Ling Yu pelan, nadanya gemetar namun teguh.
“Aku iri pada ketegasanmu dan takut menjadi kamu. Tapi kamu adalah aku.”
“Dia” sedikit gemetar, langkahnya terhenti. Pusaran mulai berbalik pada saat itu, dan energi yang diambil dari Ling Yu perlahan mengalir kembali ke dalam dirinya, kini diresapi dengan kualitas yang lebih dalam dan tenang.
Cahaya dan bayangan hancur, dan persona itu larut seperti kristal es, lenyap ke udara. “Diri” lainnya di sekitar juga berubah menjadi titik cahaya satu per satu, seolah mencapai pembebasan bertahap.
Ling Yu berdiri, tubuhnya masih berat, tetapi hatinya tenang seperti belum pernah. Dia menengadah dan melihat perubahan baru di pusat suaka yang terdiri dari tiga pintu. Satu pintu sedikit terbuka, dan dari belakangnya terdengar bisikan dan mantra samar, seolah dari catatan sejarah yang belum pernah dilihat.
Suara Qing Yin terdengar lagi: “Ling Yu, kamu telah menyelesaikan integrasi kepribadian tingkat pertama. Tapi ingat, dengan setiap ujian yang diselesaikan, kamu akan kehilangan sebagian dari dirimu yang lama dan mendekati diri sejati tertentu.”
Ling Yu bergumam pada dirinya sendiri, “Jika setiap diri layak diingat, apa yang akan aku jadi pada akhirnya?”
Dia tidak tahu jawabannya, tetapi dia tahu—dia sedang berjalan di satu-satunya jalan yang bisa menuju kebenaran.