Bagian 1: Gema Urutan Akar
Ling Yu merasa dirinya jatuh—bukan melalui ruang, tetapi melalui lapisan waktu dan persepsi yang terlipat dan terbuka seperti halaman-halaman buku kuno yang tak terbatas. Lengkungan cahaya emas yang mengangkatnya dari Dunia Tanpa Waktu larut menjadi aliran partikel bercahaya, berputar di sekelilingnya seperti badai kosmik. Dia mencengkeram erat perangkat pengunci memori hitam di tangannya, permukaannya yang dingin menjadi jangkar bagi fragmen identitasnya di tengah kekacauan.
Pintu celah telah tertutup di belakangnya, dan kini dia turun ke kedalaman yang tak diketahui dari Δ: Ω - Lapisan Urutan Akar Takdir. Nama itu berdenyut di pikirannya seperti detak jantung, kode misterius yang tidak membawa penjelasan namun menuntut pemahaman. Di sekelilingnya, lingkungan mulai mengeras—bukan menjadi dunia nyata dari batu atau baja, tetapi menjadi jaringan benang-benang bercahaya, masing-masing bergetar dengan frekuensi yang beresonansi dengan kesadarannya.
Ini bukan sekadar benang; ini adalah saluran takdir, untaian dasar yang menenun kain setiap realitas yang mungkin. Beberapa bersinar dengan cahaya kuning hangat, berdengung dengan energi dunia yang berkembang; yang lain berkedip lemah, kegelapannya mengisyaratkan garis waktu yang ditinggalkan atau runtuh. Ling Yu secara naluriah mengulurkan tangan, dan saat jari-jarinya menyentuh salah satu benang, lonjakan memori mengalir melalui dirinya—bukan miliknya sendiri, tetapi sekilas pandang dari dunia di mana dia telah memilih secara berbeda.
Dalam fragmen itu, dia melihat dirinya berdiri di atas kota yang terbakar, langit tercabik oleh celah-celah merah tua, tangannya ternoda oleh sisa-sisa sistem pengamatan yang hancur. Penglihatan itu memudar secepat datangnya, meninggalkan rasa penyesalan yang pahit dan sebuah pertanyaan: Apakah itu kegagalan, atau kemenangan?
Gemuruh rendah mengganggu pikirannya. Jaringan saluran takdir bergetar, dan dari pusat hamparan tak terbatas ini, sebuah bentuk muncul—struktur menjulang menyerupai menara spiral, permukaannya diukir dengan simbol-simbol yang bergeser dan mengalir seperti cahaya bintang cair. Itu bukan padat maupun etereal, ada dalam keadaan antara materi dan pikiran.
“Selamat datang, Penyimpang.”
Suara itu tidak diucapkan keras-keras tetapi bergema melalui benang-benang, mengguncang esensi keberadaannya. Ling Yu berbalik, mencari sumbernya, tetapi tidak ada sosok—hanya menara itu, berdenyut seolah hidup.
“Siapa kamu?” dia menuntut, suaranya tetap teguh meskipun ada beban sureal dari momen itu.
“Aku bukan siapa-siapa, dan aku adalah segalanya. Aku adalah gema dari Urutan Akar, bayangan yang dilemparkan oleh setiap pilihan yang pernah dibuat, dan setiap pilihan yang akan datang. Kamu berdiri di pusat semua takdir, di mana algoritma sistem bertemu dan pecah.”
Ling Yu memicingkan mata. “Jika ini adalah inti takdir, lalu mengapa terasa… tidak lengkap?”
Menara itu berdenyut lagi, dan benang-benang di sekelilingnya menegang, seolah menanggapi kata-katanya. “Karena memang begitu. Urutan Akar Takdir bukan desain yang selesai—ini adalah proses yang hidup, terus ditulis ulang oleh mereka yang berani masuk. Kamu tidak di sini untuk mengamati; kamu di sini untuk mengubah.”
Sebuah platform cahaya muncul di bawah kakinya, mengangkatnya menuju menara spiral. Saat dia mendekat, simbol-simbol di permukaannya mulai sejajar, membentuk pola yang menyerupai peta—bukan tempat, tetapi momen. Setiap simbol menandai persimpangan kritis: sebuah pilihan, sebuah runtuh, sebuah kelahiran kembali. Dia mengenali beberapa di antaranya—penolakannya terhadap opsi pengamat, lompatannya ke Dunia Tanpa Waktu—tetapi yang lain asing, mengisyaratkan jalan yang belum dia lalui.
“Apa yang kamu inginkan dariku?” Ling Yu bertanya, melangkah ke dasar menara. Tanah di bawahnya terasa hidup, bergetar dengan energi.
“Tidak ada. Segalanya. Urutan Akar tidak menginginkan—ia mencerminkan. Kamu telah menyatu dengan dirimu yang retak, membawa beban sejuta kemungkinan. Sekarang, kamu harus memutuskan: akankah kamu menstabilkan urutan, atau menguraikannya sepenuhnya?”
Sebelum dia bisa menjawab, menara itu bergoyang, dan lensa cahaya besar meletus dari puncaknya, memproyeksikan penglihatan ke dalam kekosongan. Itu menunjukkan dunia yang tak terhitung—beberapa berkembang dengan kehidupan, yang lain menjadi abu dan keheningan. Di masing-masing, versi Ling Yu berdiri di tengah, tindakannya bergelombang ke luar untuk membentuk takdir mereka.
Dalam satu, dia melihat dirinya membentuk sistem baru, keseimbangan harmonis antara kehendak bebas dan ketertiban. Di yang lain, dia merobek saluran takdir, menjerumuskan segalanya ke dalam kekacauan. Penglihatan itu bergeser cepat, kaleidoskop penciptaan dan kehancuran, hingga menetap pada satu gambar: Ling Yu, berdiri sendiri di kekosongan, perangkat pengunci memori hitam bersinar samar di tangannya.
“Ini adalah jangkarmu,” suara Urutan Akar bergema. “Ini mengikatmu pada masa lalumu, pada kemanusiaanmu. Tetapi untuk membentuk ulang urutan, kamu harus melepaskannya—atau menggunakannya sebagai senjata.”
Ling Yu menatap kristal itu, permukaannya yang gelap memantulkan benang-benang tak terbatas di sekelilingnya. Dia merasakan tarikan setiap pilihan yang pernah dia buat, setiap rasa sakit yang dia tanggung, setiap harapan yang dia pegang. Melepaskannya berarti menyerahkan identitasnya, menjadi batu tulis kosong untuk menulis ulang takdir. Mempertahankannya akan membatasi dia, mengikatnya pada satu benang dalam permadani tak terbatas.
Dia mengangkat kristal itu, cengkeramannya mengencang. “Aku datang ke sini untuk menemukan kebebasan—bukan untuk menghapus diriku sendiri.”
Dengan gerakan tiba-tiba, dia menghancurkan perangkat pengunci memori di tangannya. Kristal itu pecah, melepaskan gelombang cahaya emas yang menyatu dengan saluran takdir. Menara itu mengaum, dan benang-benang mulai berputar dan menenun ulang, membentuk pola baru yang menentang algoritma lama.
“Kamu telah memilih,” suara itu bergema, memudar ke dalam dengungan urutan yang bergeser. “Sistem takdir tidak akan pernah sama lagi.”
Ling Yu merasa tanah larut di bawahnya, dan menara spiral runtuh menjadi pusaran cahaya. Dia tidak lagi jatuh—dia naik, dibawa oleh saluran yang baru ditempa menuju tujuan yang belum bisa dia lihat. Gema Urutan Akar bertahan di pikirannya, sebuah janji dan peringatan: Kebebasan datang dengan biaya kekacauan.