Setelah kemenangan Desa Virnath melawan Zerik dan pasukannya, seluruh desa merayakan kemenangan kecil yang terasa seperti keajaiban. Mereka bersorak gembira, akhirnya bisa mempertahankan hak dan hasil panen mereka tanpa harus menyerahkannya ke tangan Norgerath. Namun, di balik tawa dan senyuman itu, ada keluarga yang berduka, kehilangan ayah, saudara, atau anak yang gugur dalam pertempuran.
Tanpa disadari oleh siapapun, badai yang lebih besar sedang bergerak perlahan menuju desa mereka.
Pagi itu, matahari menyinari ladang yang basah oleh embun. Udara terasa segar, namun ketegangan masih menggantung tipis di antara semangat warga.
Di klinik desa, Liora masih sibuk merawat warga yang terluka. Tangannya bergerak cepat, namun matanya terlihat kelelahan. Aroma ramuan herbal dan kain basah memenuhi ruangan.
Sementara itu, di teras klinik, Alden duduk bersama Lecraa. Mereka memandangi desa yang perlahan mulai kembali hidup.
Alden: “Tuan Lecraa, setelah melihatmu bertarung kemarin… jujur saja, aku sangat kagum. Sihir ledakanmu itu… luar biasa.”
Lecraa: “Sebenarnya itu belum kekuatan penuhnya. Kalau aku mengeluarkannya secara penuh… mungkin setengah hutan akan lenyap bersamaan.”
Ia berkata santai, namun tatapan matanya tajam, menyimpan banyak luka masa lalu.
Alden: “Kalau begitu… apa rencanamu sekarang? Kau bukan lagi Great Arcanist dari Norgerath.”
Lecraa: "(sejenak terdiam) Sekarang, aku hanya punya satu tujuan… menghancurkan Norgerath.”
Alden menoleh dengan ekspresi terkejut.
Lecraa: “Itu bukan ambisi kosong. Mereka telah mengkhianatiku, menyiksa orang-orang tak berdosa… dan kini telah menaklukkan kerajaan tetangganya, termasuk Vosterland. Jika dibiarkan, mereka akan menelan dunia.”
Di hutan utara desa, Zeiyu, Mira, Harven, dan Regar tengah menyusuri rimbunnya dedaunan dan pepohonan. Cahaya matahari menyusup lewat celah-celah daun, menciptakan bayangan bergerak.
Mira: “Kalian tahu nggak, Zeiyu pernah nyasar di hutan ini. Untung aja aku nemuin dia waktu itu.”
Zeiyu: “Diam, Mira. Itu cuma karena aku salah baca arah mata angin... Lagipula, hutan ini mirip semua jalurnya.”
Harven: “Haha, tapi bener juga sih. Ngomong-ngomong, gimana kondisi Regar?”
Zeiyu: “Dia kena sihir api kemarin. Liora bilang penyembuhannya bakal lama, jadi kita disuruh cari tanaman herbal buat bantu.”
Harven: “Kasihan juga sih. Dia terlalu percaya diri, nggak nyangka kalau pasukan Norgerath bisa pakai sihir.”
Mereka akhirnya berhasil mengumpulkan sepuluh tanaman herbal. Mira memetik tanaman terakhir sambil tersenyum lega.
Mira: “Akhirnya, selesai juga. Sekarang kita bisa bantu yang lain pulih.”
Siang harinya, setelah menyerahkan tanaman pada Liora, mereka langsung menuju lapangan latihan dekat ladang Alden. Lecraa sudah menunggu, berdiri tegap dengan jubahnya yang berkibar pelan tertiup angin.
Satu per satu, mereka menunjukkan kemampuan mereka, Zeiyu menampilkan teknik dasar berpedang, serta kombinasi elemen angin dan kristal dalam bentuk serangan kecil. Mira memperlihatkan presisi memanah yang mengesankan, disertai tembakan sihir api berbentuk spiral. Harven dengan mantap menunjukkan teknik tebasan cepat, meski sihir elemennya masih tampak kaku.
Lecraa menilai mereka dengan tatapan tajam, lalu berkata:
Lecraa: “Masing-masing dari kalian punya ciri khas bertarung. Mira, akurasimu dalam memanah luar biasa, dan kendalimu atas elemen angin sudah stabil.
Harven, teknik pedangmu kuat dan matang, tapi kau masih butuh pelatihan dalam mengontrol sihir.
Zeiyu… teknikmu bagus, dan kau cukup seimbang dalam sihir dan pedang. Tapi… ada satu hal.”
Zeiyu menatapnya penuh penasaran.
Lecraa: “Kau tidak bisa mengeluarkan sihir sebanyak yang lain. Kapasitas mana-mu lebih kecil dari rata-rata.”
Zeiyu hanya diam. Namun, dalam diamnya, matanya tidak menunjukkan rasa minder, justru memancarkan tekad untuk tetap maju.
Dari kejauhan, Alden mengamati mereka dari ladang. Ia tersenyum tipis.
“Dia masih baru di dunia ini… tapi semangatnya seperti bara yang belum padam. Cepat atau lambat, dia akan menyusul mereka semua.”
Sementara itu, jauh di ibu kota Imperial Norgerath, Ashenfort, langit dipenuhi awan tebal. Di dalam ruang ritual megah yang dikelilingi pilar emas dan simbol kuno, para Arcanist kerajaan menyelesaikan pemanggilan pahlawan.
Cahaya biru meledak di tengah ruangan. Seorang pemuda berambut hitam muncul, tubuhnya bersinar dengan energi sihir. Namanya, Kaito Shimizu, 18 tahun, asal Jepang.
Pemimpin Ritual: “Pemanggilan berhasil! Segera berikan buff dan persenjataan pada sang pahlawan!”
Kaisar Altheras Magnor yang duduk di singgasana megah tersenyum puas.
Altheras: “Sekarang... kekuatan kekaisaran kita akan semakin mutlak.”
Kaito menerima buff peningkatan mana, kekuatan fisik, dan sebuah pedang kerajaan senjata sakral yang hanya bisa dipakai oleh pahlawan terpilih.
Kaito (dalam hati): “Ini gila... persis seperti anime isekai… Tapi ini nyata! Aku… jadi pahlawan?!”
Para penyihir kemudian menjelaskan bahwa ia adalah “yang terpilih untuk menyatukan umat manusia di bawah satu pemimpin yang benar” padahal itu hanyalah doktrin manipulatif dari kekaisaran.
Setelah penyambutan, Kaito berkeliling istana megah. Ia merasa seperti bangsawan. Tak lama kemudian, ia bertemu dengan pahlawan pertama:
Kaito:
“Hai, aku Kaito Shimizu. Kau pasti pahlawan pertama?”
Haruki:
“Aku Haruki Tsukino. Selamat datang. Sekarang, kita berdua akan menyelamatkan dunia bersama… atau lebih tepatnya, membawanya tunduk di bawah kekaisaran.”
Kaito:
“Hehe, dengan kekuatanku, itu pasti mudah.”
Haruki:
“Ngomong-ngomong, aku ada urusan dengan gadis-gadisku. Kita ngobrol nanti.”
Haruki pergi tanpa menunggu jawaban.
Saat berjalan keluar istana, Kaito bertemu pelayan wanita dan mulai menggoda. Gadis itu tersipu malu dan terpesona dengan status “pahlawan” membuatnya jadi idola seketika.
Namun, kesenangan Kaito tak berlangsung lama. Ia langsung diberi tugas pertamanya oleh kekaisaran untuk menangkap seorang "penjahat" yang dianggap mengancam keamanan kota.
Tanpa pikir panjang, Kaito memburu pria tersebut dan mengikatnya dengan sihir rantai.
Namun kenyataannya, pria itu bukanlah kriminal biasa. Ia adalah politikus yang baru saja mengkritik Altheras dalam rapat tertutup.
Tanpa tahu apa pun, Kaito menyeretnya ke penjara bawah tanah. Sang politikus hanya bisa menatap tajam dengan amarah dan rasa kecewa pahlawan dari dunia lain yang seharusnya menjadi harapan, malah menjadi alat tirani.