WebNovelFragile.100.00%

001 — Sunyi sebelum Badai

Novel ini menggunakan sudut pandang orang pertama, Violetta.

Enjoy(⁠◠⁠‿⁠◕⁠)

========================

Namaku Violetta, tapi orang-orang terdekat biasa memanggilku Vio.

“Kakak keren banget!” seru Clara dengan mata berbinar. Tangan kecilnya menepuk-nepuk riang, seolah memberikan tepuk tangan paling meriah di dunia. Ia duduk di pinggir halaman, menontonku berlatih dengan antusias yang tak pernah habis.

Hyah!

Siang seperti ini sering kugunakan untuk berlatih. Kadang hanya mengulang teknik dasar berpedang, kadang mencoba menguasai elemen sihir sederhana. Banyak yang bilang aku anak berbakat—di usiaku yang baru sepuluh tahun, aku sudah menjadi penyihir tingkat empat.

Aku sendiri tidak benar-benar tahu dari mana bakat ini datang. Mungkin memang karena ayah dulu seorang petualang, sekaligus penyihir tingkat tiga. Sekarang beliau bekerja di guild petualang sebagai staf administratif, meninggalkan masa-masa petualangan yang katanya penuh risiko.

Kalau siang begini, rumah terasa lebih sunyi. Ibu bekerja di restoran milik temannya dari siang sampai menjelang malam. Biasanya, beliau pulang sambil membawa makanan lezat yang langsung membuat kami berebut mencicipi. Jadi di waktu-waktu seperti ini, tugasku bukan hanya menjaga rumah, tapi juga menemani dan mengurus adik-adikku.

Latihan ini sebenarnya bukan hanya untuk melatih diriku. Aku juga sengaja melakukannya di depan Clara—adik bungsuku yang baru berusia empat tahun. Dia tidak pernah bosan menonton, selalu saja memujiku dengan kata-kata yang membuat hatiku hangat. Katanya aku hebat, kuat, keren… dan entah apa lagi. Tapi bagiku, itu lebih dari cukup untuk membuatku terus bersemangat.

Clara memang adik kecil yang manis. Aww… aku benar-benar sangat menyayanginya!

Selain Clara, aku masih punya dua adik lagi. Mira, yang usianya tujuh tahun, dan Liora, sembilan tahun. Mereka berdua sudah cukup mandiri, sering menghabiskan waktu membaca buku di kamar. Katanya membaca itu menyenangkan, meski menurut Clara kegiatan itu hanya cara lain untuk tertidur dalam lima menit.

Selesai berlatih, aku menjatuhkan diri duduk di samping Clara sambil menyeka keringat yang membasahi pelipis. Clara, dengan senyum manisnya, menyodorkan handuk kecil ke arahku. Sungguh, dia selalu tahu apa yang kubutuhkan.

“Terima kasih, Clara.” Aku mengusap kepalanya pelan. Dia langsung terkikik kegirangan, matanya menyipit bahagia.

“Kalau sudah besar nanti, aku mau jadi seperti Kakak!” serunya lantang. Mata besarnya menatapku penuh tekad.

Aku menahan tawa. “Mau jadi seperti Kakak? Heh, kalahin dulu Kakak!” balasku sambil tiba-tiba menggelitik perutnya.

Clara menjerit geli dan segera berlari ke dalam rumah sambil tertawa keras.

Aku menarik napas panjang, menenangkan diri sebelum merapikan pedang kayu dan sisa latihan. Setelah semuanya beres, aku pun masuk ke rumah dan menjatuhkan badan di sofa. Rasanya lega sekali bisa beristirahat sejenak.

“Kakak,”

Suara lembut itu datang dari samping. Aku menoleh dan mendapati Liora dan Mira berdiri berdua, saling bergandengan tangan. Di tangan Liora, ada selembar kertas kusut.

“Kami tadi cari buku bacaan di rak,” kata Liora perlahan, “terus nemu surat ini…”

Dia mengulurkan surat itu dengan ekspresi ragu.

“Sudah kalian lihat isinya?” tanyaku, berusaha tetap tenang sambil meraih surat itu.

Mira menggeleng pelan, diikuti Liora.

“Aku lapar…” celetuk Clara yang tiba-tiba muncul di samping sofa, menatapku dengan wajah penuh harap.

Aku terkekeh kecil. “Iya, iya… maaf, Kakak lupa bikin makan siang.”

Kutatap surat itu sebentar—rasa penasaran mengusik—lalu kuletakkan di meja.

“Kita makan dulu, ya!” seruku sambil berdiri menuju dapur.

Clara bersorak riang, diikuti Liora dan Mira yang langsung berbaris rapi di belakangku. Seolah makan siang adalah petualangan penting yang sudah lama mereka tunggu.

Mereka menunggu dengan sabar di meja makan. Liora dan Mira tampak sibuk bermain dengan Clara, saling melempar pertanyaan sederhana seolah sedang menguji kecerdasan adik bungsu mereka. Tawa ringan yang ceria memenuhi ruangan, membuat rumah ini sejenak terasa hangat dan damai.

Tak lama, makan siang pun siap.

“Ayo, sudah jadi. Selamat makan,” ucapku sambil meletakkan piring-piring di atas meja.

“Kalian makan duluan, ya. Kakak masih mau membereskan beberapa hal,” kataku kemudian, melambaikan tangan singkat sebelum kembali ke ruang tengah.

“Baik!” sahut Clara dengan semangat seperti biasa.

Liora mulai makan dengan tenang, sedangkan Mira duduk di sebelah Clara untuk membantu menyuapinya. Clara memang masih makan dengan agak berantakan, jadi kedua kakaknya selalu siaga membantunya.

Aku duduk kembali di sofa, menarik napas panjang. Tubuhku masih sedikit berkeringat setelah memasak. Kuteguk air untuk menyejukkan tenggorokan, lalu mataku kembali terpaku pada surat yang tadi kutinggalkan di meja.

Rasa ingin tahu perlahan mengusir kelelahan. Dengan hati-hati, aku meraih surat itu lagi. Kertasnya sudah agak lepek dan kusam, warnanya pudar dimakan waktu. Entah berapa lama surat ini tersimpan di antara tumpukan buku.

Perlahan aku membuka lipatannya. Tulisan tangan yang sedikit miring memenuhi halaman, jelas ditujukan pada satu orang. Ibuku.

Aku mulai membaca pelan, berusaha memahami setiap kata.

Tertulis:

___________

"Morgana, ini teman lamamu.

Aku menggunakan sihirku untuk meramal masa depan desa ini, dan hasilnya... mencengangkan. Dalam beberapa tahun ke depan, akan terjadi tragedi berdarah di sini. Aku tidak ingin itu terjadi—atau lebih tepatnya, aku tidak ingin dipersalahkan atas semuanya.

Aku tak bisa tinggal di sini lagi. Aku harus pergi.

Maaf karena semua ini begitu mendadak. Maaf karena kita tak bisa lagi bersenang-senang seperti dulu.

Aku masih mencintaimu, hingga detik ini, dan itu tidak akan berubah sampai kapan pun.

Aku harap kau tetap bahagia di sana. Dan aku berharap kepergianku ini, entah bagaimana caranya, bisa mengubah nasib buruk yang merundung desa ini."

__________

Surat itu berhenti di situ. Tak ada tanggal. Tak ada nama penulis.

Aku menatap surat itu lama sekali. Kata-kata di dalamnya terdengar aneh… terlalu serius, terlalu asing. Siapa penulisnya? Kenapa baru sekarang aku menemukannya?

Aku belum pernah mendengar Ibu bercerita soal ramalan semacam ini, apalagi tentang teman lama yang mengaku masih mencintainya.

Aku mengerutkan alis, memutar surat itu, berharap ada petunjuk lain—apa saja—yang bisa menjelaskan semuanya. Tapi kertas itu tetap diam, hanya menatapku balik dengan warnanya yang pudar.

Yang pasti, surat ini sudah ada di sini lebih dari beberapa tahun. Dan entah kenapa, rasanya semua jadi sedikit… membingungkan.

Untuk saat ini, aku memutuskan menyimpan surat itu sendiri. Rasanya lebih baik menanyakannya langsung pada Ibu nanti, daripada membuat semua orang khawatir.

Setelah membereskan meja dan memastikan semuanya rapi, aku akhirnya bergabung makan bersama adik-adikku. Tak ada yang istimewa—hanya makan siang sederhana dengan suara ceria mereka.

Seperti biasa, Clara makan dengan lahap sampai akhirnya tertidur di sofa. Itu sudah jadi kebiasaan sehari-hari, jadi aku membiarkannya saja di sana. Sementara itu, aku memilih beristirahat sambil membaca buku, menikmati waktu tenang. Hari ini giliran Liora dan Mira yang bertugas membersihkan rumah, jadi aku tak perlu banyak bergerak lagi.

Sore pun tiba. Clara sudah bangun dan membersihkan diri, begitu juga Liora dan Mira. Rumah kembali rapi dan wangi.

Tak lama kemudian, Ayah pulang. Begitu pintu terbuka, Clara langsung berlari menghampirinya dan melompat ke pelukannya. Dia mulai bercerita panjang lebar—tentang latihanku, makan siang, dan semua hal kecil yang membuatnya antusias.

Ayah mendengarkan sambil tersenyum, menatap kami satu per satu dengan tatapan lembut yang kurindukan setiap hari.

Beberapa saat kemudian, Ibu akhirnya tiba di rumah. Kami semua menyambutnya bersama-sama. Seperti biasa, Ibu membawa kantong kain berisi makanan enak dari tempat kerjanya.

Malam itu, kami makan bersama. Tak ada yang lebih menenangkan daripada suara sendok beradu piring dan tawa yang memenuhi ruang makan kecil kami.

Malam pun tiba, dan seperti biasa, kami mulai bersiap untuk tidur. Liora dan Mira yang kelelahan lebih dulu terlelap di kamar. Ayah bahkan sudah tertidur sejak beberapa waktu lalu, masih dengan seragam kerjanya.

Sementara itu, Clara masih duduk di ruang tengah, asyik bermain sendiri sambil berceloteh dengan bonekanya. Imajinasinya memang tak pernah habis. Yah, ini belum terlalu malam, jadi aku membiarkannya bermain sebentar lagi.

Aku duduk di sampingnya sambil membaca buku, tapi entah kenapa pikiranku tak bisa fokus. Rasanya suntuk. Setelah beberapa halaman, aku memutuskan untuk bangkit dan membasuh muka.

Saat berjalan melewati rak buku, aku sekilas melihat Ibu berdiri di depannya, terlihat sedang mengutak-atik susunan buku—seperti mencari sesuatu.

Beberapa menit kemudian, setelah wajahku sedikit lebih segar, aku kembali melirik ke arah rak buku. Ibu masih di sana. Gerak-geriknya terlihat agak terburu-buru, seperti sedang gelisah.

Penasaran, aku mendekat dan bertanya pelan, “Ibu lagi cari apa? Dari tadi aku lihat bolak-balik di situ.”

Ibu menoleh cepat, lalu tersenyum—tapi senyumnya tidak penuh, agak canggung. “Ah… Ibu sedang cari buku... buku masakan.” katanya, terdengar agak ragu.

“Oh, buat kerja di restoran ya?” sahutku santai, tak terlalu memikirkan nada bicaranya. Aku membuka tangan, memperlihatkan buku yang tadi kubaca. “Ini, barusan aku selesai baca. Hehe, maaf ya kalau ternyata ini yang Ibu cari dari tadi!”

Ibu tertawa kecil, lalu mengelus kepalaku dengan lembut. “Iya sayang, pantesan saja Ibu nggak nemu. Makasih, ya.”

Ia mengecup keningku dengan hangat, lalu berkata pelan, “Sekarang sudah malam. Waktunya istirahat, ya. Mimpi yang indah.”

Setelah itu, Ibu mendekati Clara dan membujuknya untuk tidur. Seperti biasa, Clara sempat merengek karena masih ingin bermain, tapi akhirnya ia menurut juga.

Aku kembali ke kamarku. Tapi entah kenapa, ada rasa aneh yang menggelitik pikiranku. Tatapan Ibu, gerak-geriknya… seolah ia sedang menyembunyikan sesuatu.

Tapi aku menepis pikiran itu. Malam sudah larut. Jadi, seperti anak baik pada umumnya, aku menarik selimut dan menutup mata.

Mungkin… hanya perasaanku saja.

-Bersambung-