malam itu, sesuatu berubah

Suara bel sekolah yang memekakkan telinga menjadi pertanda hari itu berakhir. Haru bangkit dari kursi tanpa bicara, menundukkan kepala dan berjalan keluar kelas sebelum keramaian dimulai.

Di lorong, suara tawa dan obrolan teman-teman sekelasnya menggema.

Mereka bercanda, tertawa lepas, saling mendorong, seolah dunia ini adalah tempat yang menyenangkan.

Haru menatap mereka sebentar, lalu menarik napas pelan.

"Kayaknya gue emang gak cocok di dunia kayak gitu."

Pikirnya sambil melanjutkan langkah.

“Oiii, Haru!”

Sebuah suara cowok meneriakkan namanya dari kejauhan.

Haru hanya menoleh sekilas. Ia mengangkat tangan sebentar sebagai balasan, lalu kembali berjalan tanpa berkata apa-apa.

Di belakang, seorang cewek memperhatikan punggung Haru yang semakin menjauh.

“Eh, Ryo… kamu kenal dia?” tanyanya.

“Iya, dia teman sekelas gue,” jawab cowok itu santai.

“Kok gak nyamperin kamu?”

Ryo tersenyum kecil. “Dia itu tipe orang yang capek cuma buat nyapa. Introvert, ngerti kan?”

---

Sesampainya di rumah, Haru membuka pintu dan langsung dilempar ke pemandangan khas miliknya:

Kamar berantakan. Bungkus mie instan berserakan. Piring kotor numpuk di pojok. Udara lembap yang nggak enak dihirup. Dan kasur... satu-satunya tempat nyaman di dunia ini.

Tanpa melepas tas, dia rebahkan badan. Ponsel diambil. Game favorit dibuka.

"Cuma di sini gue bisa bebas. Gak ada basa-basi. Gak ada tatapan aneh. Gak ada suara ribut."

Jari-jarinya menari di layar. Level naik. Skill unlock. Misi selesai.

Waktu terasa berjalan cepat saat sendirian. Tiba-tiba matahari sudah lenyap, dan malam menyelimuti kota.

---

Perutnya berbunyi keras.

Dia melihat jam di layar: 00:41

Matanya menyipit.

"Keasyikan main lagi."

Tangannya mengusap perut.

Dia berdiri, menggeliat malas sambil menatap seisi kamar.

"Masak? Gak bisa. Pesan online? Udah tutup. Yaudah, supermarket aja."

Dengan hoodie usang yang dia pakai berhari-hari, Haru pun melangkah keluar rumah.

Angin malam menyapa kulitnya. Dingin. Sepi. Jalanan sunyi, cuma ada lampu jalan dan beberapa motor lewat.

"Seandainya dunia nyata kayak game… semua hal punya aturan jelas. Gak perlu tebak-tebakan niat orang."

Dia melangkah sambil menyimpan ponsel di saku. Supermarket 24 jam di ujung blok masih buka.

---

Lampu putih menyilaukan menyambutnya. Haru mengambil roti dan air mineral, lalu ke kasir.

“Terima kasih sudah datang,” ucap pegawai supermarket dengan nada sopan.

Haru cuma mengangguk pelan. Sambil membuka bungkus roti, dia keluar dari toko.

Langkah Haru terhenti saat suara ribut terdengar dari gang sempit di sebelah supermarket.

“Lepasin! Aku mau pulang!”

“Heh, udah ikut aja. Lo juga bakal seneng nanti.”

Suara cewek. Panik.

Haru menoleh. Di sana, tiga pria mengelilingi seorang gadis dengan tubuh gemetar. Satu orang memegang lengannya, dua lainnya ketawa sambil memandanginya kayak mangsa.

Haru menghela napas. Sisa roti dia genggam erat.

Matanya menajam. Langkahnya pelan... tapi mantap.

Dia berdiri di ujung gang.

Suaranya pelan, tapi nadanya menusuk.

“Lepaskan dia.”

Tiga pria itu menoleh bersamaan.

“Hah? Siapa lo, bocah? Suka ikut campur urusan orang?”

Salah satunya maju, badannya lebih besar dari Haru.

Haru gak menjawab. Cuma menatapnya dingin.

Tangannya terangkat, lalu dia mencengkeram pergelangan si pria yang nyentuh si cewek.

“Gue bilang... lepasin.”

Pria itu mendorong Haru dengan kasar. Haru mundur setapak. Tapi dia gak gentar.

Begitu si pria maju lagi, Haru langsung balas dengan satu pukulan telak ke rahang.

“Akh—! Dasar brengsek!”

Pria itu terhuyung. Dua temannya langsung maju, dan perkelahian pun pecah.

Tiga lawan satu.

Haru sempat kena dorong ke tembok. Sikutnya dihantam, tubuhnya ditahan dari belakang. Tapi dia tetap melawan.

“ARGH!!”

Dengan posisi terdesak, Haru menyeruduk pria yang nahan tangannya, lalu menendang lutut satu orang lain hingga terjatuh.

Dia ngos-ngosan. Matanya sayu. Tapi tekadnya gak luntur.

Tangannya berdarah. Pipi sobek. Tapi dia masih berdiri.

“Gue gak ulang dua kali... cabut, sebelum gue bener-bener hajar kalian satu-satu.”

Sorot matanya dingin. Gak keras, tapi menekan.

Tiga pria itu mulai ragu. Tapi sebelum mereka bisa nyerang lagi...

WEEEE WOOO WEEE WOOO!!!”

Sirene polisi meraung keras. Lampu merah-biru menyala di ujung jalan.

Pegawai supermarket yang dari tadi panik rupanya udah nelpon polisi.

Polisi datang dan langsung nahan keempatnya.

---

Beberapa menit kemudian, si cewek—masih shock tapi tegar—memberi penjelasan ke petugas.

“Dia gak salah. Dia yang nolongin saya. Tiga orang itu yang mulai.”

Setelah pemeriksaan singkat, Haru dibebaskan. Tapi luka di wajahnya tetap nyata.

---

Di luar kantor polisi, gadis itu menghampirinya.

“Makasih banget ya... aku gak tahu gimana jadinya kalau kamu gak dateng.”

Haru duduk di trotoar, memegang pipinya yang mulai membiru.

Dia mengangguk pelan, tidak menatap langsung.

“…bukan apa-apa.”

“Namaku Sora. Kamu siapa?”

“…Haru.”

Mata Sora membulat.

“Eh? Haru? Yang tadi sore itu ya? Temennya Ryo?”

Haru mengernyit. “...Ryo?”

Setelah mikir sebentar, dia ingat. Cowok yang manggil namanya pas pulang sekolah.

Sora tersenyum, tapi ekspresinya langsung berubah saat melihat pipi Haru.

“Eh!? Pipi kamu berdarah!”

Dia panik, mencoba mendekat.

Haru buru-buru berdiri, menarik hoodie-nya menutupi luka.

“Gak apa-apa. Lain kali jaga diri baik-baik. Selamat tinggal.”

Suaranya datar seperti biasa, tapi kali ini... ada sedikit berat di nada akhirnya.

Haru melangkah pergi.

Sora hanya bisa berdiri, menatap punggungnya yang menjauh di tengah malam.