bab.1

Kilas Balik: Jules

Beberapa tahun sebelum malam itu, di sebuah studio kecil yang dipenuhi cahaya senja dan bau kimia cetak foto, Jules memandangi bingkai kosong di dinding bata merahnya. Ia tidak tahu mengapa ia merasa bahwa hari itu akan berbeda. Hanya ada rasa—diam tapi jelas, seperti udara sebelum hujan.

Pintu berderit terbuka.

Seorang teman membawakan Darren, dengan santai berkata, “Ini model baruku. Kamu harus lihat.”

Dan ketika Jules mengangkat wajah dari meja, waktu seolah berhenti.

Darren berdiri di sana, tubuh seperti pahatan Yunani, mata seperti laut yang tenang namun menyembunyikan badai. Tapi yang membuat Jules diam bukanlah ketampanannya. Itu adalah senyap di balik sorot mata Darren. Seolah lelaki itu tak benar-benar hadir dalam tubuhnya sendiri.

“Duduklah,” kata Jules.

Darren menurut. Tak banyak bicara.

Jules tidak segera mengambil kameranya. Ia hanya mengamati. Biasanya, para model akan berbasa-basi, atau bergaya. Tapi Darren diam. Ia seperti lukisan yang belum selesai—indah, tapi menyedihkan.

“Kenapa kamu mau difoto?” tanya Jules.

Darren mengangkat bahu. “Orang bilang aku menarik.”

“Tapi menurutmu sendiri?”

“Entahlah… aku jarang menatap diriku lebih dari lima detik.”

Jules merasa sesuatu mencubit hatinya.

---

Beberapa minggu kemudian, sesi demi sesi, mereka semakin akrab. Bukan karena banyak kata—melainkan karena diam yang terasa nyaman. Jules mulai mencetak foto Darren dalam warna monokrom, menyusun potongan wajahnya seperti puzle emosi.

Dan suatu malam, saat hujan deras menabuh atap studio, Darren berdiri di depan jendela, hanya mengenakan jeans dan luka yang tidak kasat mata.

“Apa kamu percaya orang bisa merasa kosong meski dikelilingi banyak cinta?” tanyanya lirih.

Jules menjawab pelan, “Cinta yang hanya melihat permukaan, tidak bisa mengisi rongga terdalam.”

Darren berbalik, wajahnya lembap bukan karena hujan. Ia menghampiri Jules, dan tanpa kata, meletakkan keningnya di bahu pria itu. Bukan ciuman. Bukan gairah. Hanya… istirahat. Sejenak, dari segalanya.

Dan malam itu, mereka tidur berdampingan di lantai kayu studio. Tanpa menyentuh lebih dari tangan. Tapi bagi Jules, malam itu adalah sentuhan paling dalam yang pernah ia rasakan.

---

Waktu berlalu. Darren kembali ke dunia malam, dunia yang menyambutnya dengan tawa palsu dan lampu warna-warni. Jules tidak menahannya. Ia tahu, orang yang sedang mencari dirinya sendiri, harus melewati nerakanya dulu.

Namun tiap kali melihat hasil cetakan Darren—dengan mata yang seperti bertanya pada dunia—Jules tahu: pria itu akan kembali. Entah kapan. Entah dalam keadaan seperti apa. Tapi ia akan kembali.

Karena tidak ada yang bisa benar-benar lari dari seseorang yang telah melihat mereka utuh.

---

> “Aku jatuh cinta padamu bukan karena kamu sempurna,

tapi karena kamu berhenti berpura-pura di depanku.”

—Jules

Studio foto milik Jules berada di lantai dua sebuah bangunan tua di pinggiran kota, bangunan yang sudah tak dilirik banyak orang. Ruangannya penuh cahaya alami, berantakan dengan negatif film, tali pengikat kamera, dan peta cahaya di dinding.

Sore itu, udara lembap. Jendela terbuka, tirai berkibar pelan saat Darren masuk.

Ia datang bukan seperti orang mencari pekerjaan, atau model profesional. Tidak ada senyum palsu, tidak ada basa-basi. Hanya langkah pelan dan sepasang mata yang... entah bagaimana, lelah dan liar dalam satu waktu.

“Darren,” kata lelaki itu, mengulurkan tangan.

Jules menjabatnya, hangat. “Jules. Duduklah.”

Jules menyuruh Darren duduk di kursi tua yang sering ia gunakan untuk subjek yang sulit ia pahami. Ia menatap Darren dari balik kamera—lensa yang biasanya memberinya jarak aman.

Tapi kali ini, jarak itu tidak cukup.

Wajah Darren simetris dan kuat, tapi bukan itu yang membuatnya menarik. Melainkan tatapan kosong yang seolah berkata, “Ceritakan siapa aku, karena aku sendiri tak tahu.”

---

Hari-Hari yang Perlahan Menyatu

Setiap minggu, Darren datang kembali. Awalnya, untuk pemotretan. Tapi lambat laun, mereka mulai saling duduk tanpa kamera, hanya bicara. Tentang cahaya. Tentang laut. Tentang sunyi. Jules menunjukkan kamar gelap padanya. Darren diam-diam kagum pada cara foto bisa lahir dari kegelapan.

“Kenapa kamu jarang bicara soal dirimu?” tanya Jules suatu malam.

Darren menatap jari-jarinya. “Karena kadang lebih mudah jadi misteri ketimbang menjawab pertanyaan yang menyakitkan.”

Dalam diam itu, mereka belajar satu sama lain. Darren membawa kebisingan, Jules membawa ketenangan.

---

Malam Itu – Cinta atau Pelarian?

Malam itu hujan turun sejak sore. Jalanan kosong. Listrik sempat padam satu jam. Jules menyalakan lilin di studio, menyalakan musik jazz pelan dari ponsel. Darren datang—basah kuyup, hanya dengan hoodie tipis dan jeans.

Tanpa bicara, Jules memberinya handuk. Darren berdiri dekat, menatapnya. Mata mereka bertemu. Tak ada kata. Tak ada gerakan dramatis. Hanya detik demi detik yang terisi dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan.

“Aku... capek pura-pura baik-baik saja,” kata Darren lirih.

Dan malam itu, mereka bercinta.

Bukan dengan ledakan gairah. Tapi dengan kerentanan. Darren mencium Jules dengan bibir yang bergetar. Tubuh mereka saling menuntun dengan pelan, seolah takut membuat suara terlalu keras yang bisa menghancurkan kepercayaan yang baru tumbuh.

Darren menangis di dada Jules sesudahnya. Bukan karena sakit. Tapi karena untuk pertama kalinya, ia merasa diizinkan untuk lemah.

Jules tidak bertanya. Ia hanya memeluk. Menyapu keringat dari pelipis Darren dengan ujung jari. Menyimpan momen itu dalam ingatannya seperti cetakan polaroid—sekali jadi, tak bisa diulang.

---

Retakan yang Diam

Namun hari-hari setelahnya, sesuatu berubah. Darren mulai datang lebih jarang. Jules mencium aroma alkohol di napasnya. Parfum yang bukan miliknya. Sisa-sisa malam di kulitnya.

“Kenapa kamu menjauh?” tanya Jules akhirnya, suatu sore.

Darren menatap jendela. “Karena kamu terlalu... jujur. Dan aku belum siap jujur pada diriku sendiri.”

Jules ingin marah. Tapi ia hanya diam. Karena ia tahu: memaksa Darren hanya akan mendorongnya lebih jauh.

Dan benar saja. Suatu hari, Darren tidak datang lagi.

---

Hari Terakhir

Jules mencetak satu foto terakhir Darren. Hitam putih. Tubuh telanjang dari belakang, berdiri menghadap jendela studio, siluet otot, dan sorot cahaya senja di kulitnya. Judul foto itu adalah:

“Yang Tidak Pernah Berkata Selamat Tinggal.”

Ia bingkai foto itu. Gantung di dinding. Lalu ia berhenti memotret untuk sementara waktu. Karena bagaimana mungkin ia bisa memotret siapa pun, setelah mata itu pergi?

---

> “Kamu datang seperti badai yang kupikir bisa kupahami.

Tapi kamu pergi seperti matahari yang perlahan menghilang,

meninggalkan bayangan yang bahkan tak bisa kusebut milikku.”

—Jules

"Kepada Lelaki yang Tidak Pernah Kutemukan Sepenuhnya"

—Jules

Kau datang,

dengan mata yang memanggul hujan

dan senyum yang retak,

seperti jendela tua yang tetap dibuka

meski malam terlalu dingin untuk tidur.

Kau bukan badai,

tapi luka yang berjalan dengan dada terbuka,

dan aku,

hanya pelukis sunyi

yang mencoba menggambarmu dalam cahaya

sebelum kau pergi lagi ke gelap.

Tubuhmu menciumku dengan ketakutan,

bukan nafsu.

Kau gemetar saat kulit kita bertemu,

seolah cinta adalah pintu

yang tak pernah benar-benar boleh kau buka.

Dan malam itu—

aku biarkan kau menangis di dadaku

seperti anak yang tersesat

di dunia yang tak pernah memanggil namanya dengan lembut.

Aku ingin berkata:

Kau bisa tinggal.

Tinggal sedikit lebih lama, meski tak selamanya.

Tapi lidahku hanya bisa diam,

karena aku tahu,

kau bukan untuk dikurung

bahkan oleh cinta yang lembut sekalipun.

Kini aku mencetakmu dalam pikiranku,

dalam gelap yang berbau kimia dan kopi basi.

Kau tak ada,

tapi fotomu masih hangat di bingkai kayu

yang tak pernah kubersihkan.

Jika suatu hari kau kembali,

dan bertanya apakah kau pernah benar-benar dicintai—

aku akan tunjukkan puisi ini.

Dan diam.

Karena cinta yang paling jujur,

selalu terletak di antara kata yang tidak diucapkan.

---

"Kau yang Tidak Pernah Meminta, Tapi Selalu Ada"

Kau menatapku,

bukan seperti mereka menatapku—

bukan dengan lapar, bukan dengan takjub,

tapi seperti seseorang

yang menemukan rumah di reruntuhan

dan tetap memutuskan tinggal.

Aku telanjang,

bukan karena kau meminta,

tapi karena kau tak pernah menutup matamu

saat aku melepaskan satu-satu lapisan topengku.

Kau menyentuhku pelan,

seolah tahu kulitku mengingat semua yang kasar.

Seolah tahu,

bahwa pelukan kadang lebih menyakitkan

daripada pukulan,

jika datang dari tempat yang jujur.

Aku ingin mencintaimu, Jules.

Tuhan tahu, aku ingin.

Tapi aku juga ingin hilang.

Ingin menari di atas jurang,

menertawakan langit yang tak pernah kupahami.

Kau terlalu sunyi.

Terlalu dalam.

Dan aku...

terlalu takut melihat bayanganku sendiri

di matamu.

Maaf.

Maaf karena aku tak tinggal.

Tapi terima kasih—

karena tak pernah mengikat,

walau aku diam-diam berharap,

kau akan memaksaku bertahan.

---

📓 Catatan Harian Jules (disimpan di buku kulit hitam di laci studio)

> 12 Januari

Darren tidak datang hari ini.

Entah kenapa aku masih merapikan rambutku sebelum jam lima sore.

Konyol, ya?

> 14 Januari

Aku mencetak potret telanjangnya hari ini.

Tapi bukan karena tubuhnya.

Karena matanya.

Mata itu seperti berkata “tolong selamatkan aku,”

meski bibirnya berkata “aku baik-baik saja.”

> 20 Januari

Kami tidur bersama.

Bukan seks—meski tubuh kami bersentuhan.

Ia meletakkan kepalanya di dadaku dan tertidur.

Selama dua jam, dunia diam.

Aku menangis, diam-diam.

Karena aku tahu—aku mencintainya.

Dan itu tidak akan cukup.

> 2 Februari

Aku mencium aroma wanita dari bajunya hari ini.

Ia menghindar saat kutanya.

Aku tidak marah.

Aku hanya... kosong.

> 9 Maret

Ia tidak datang lagi.

Sudah tiga minggu.

Aku menulis namanya di bagian belakang semua fotonya.

Sebuah kode kecil.

Agar aku tidak lupa,

bahwa pernah ada seseorang

yang kubiarkan masuk terlalu dalam.

📓 Catatan Harian Darren yang Tersembunyi

(Tulis tangan di buku kecil bersampul abu-abu yang biasa ia bawa, diselipkan di bawah kasur tempat tinggal sementaranya. Isinya tidak pernah dibaca siapa pun.)

> 5 Januari

Jules bilang aku tampak lelah hari ini.

Aku ingin menjawab: “Aku sudah lelah sejak umur 17.”

Tapi aku cuma tertawa.

Karena kalau aku bicara jujur,

aku takut ia akan lihat betapa rusaknya aku sebenarnya.

> 8 Januari

Dia memotretku dengan tenang, seperti merawat.

Aku belum pernah merasa diinginkan tanpa diukur dengan gairah.

Dia berbeda.

Dan itu menakutkanku.

> 14 Januari

Aku tidur di sampingnya malam ini.

Dan Tuhan... rasanya seperti pulang.

Tapi siapa bilang orang sepertiku pantas punya rumah?

> 21 Januari

Aku menyentuh pria lain semalam.

Bukan karena aku ingin.

Tapi karena aku tak tahu bagaimana caranya menolak.

Aku lihat bayangan Jules di cermin setelahnya.

Aku muntah.

> 9 Februari

Aku lihat Jules di seberang jalan, tapi aku tidak mendekat.

Karena aku tahu, kalau aku datang lagi,

aku akan berharap lebih dari yang bisa kutanggung.

> 23 Maret

Aku rindukan dia.

Tapi aku juga takut.

Karena kalau aku kembali,

aku harus mengaku:

bahwa aku mencintainya.

Dan aku bahkan belum belajar mencintai diriku sendiri.

---

(Suatu malam, Jules duduk di lantai studionya, bersandar pada dinding, memandangi cetakan foto Darren. Ia bicara sendiri, dalam suara rendah, nyaris seperti doa—atau kutukan.)

> "Aku ingat semua versimu, Darren.

Bahkan yang tidak kau tunjukkan padaku.

Versi yang tertawa kaku saat aku menyebut kata 'cinta'.

Versi yang menoleh ke jendela, padahal aku sedang bicara.

Versi yang menciumku seperti pria tenggelam yang baru merasa udara.

Dan aku menyayangimu dalam semua bentukmu.

Termasuk yang paling menyakitkan.

Tapi aku lelah mencintai seseorang

yang mengira ia harus diselamatkan untuk bisa dicintai.

Aku bukan juru selamat.

Aku hanya lelaki yang ingin memelukmu tanpa harus menyembuhkanmu.

Kini studio ini sepi.

Tapi bukan karena kau pergi.

Melainkan karena sebagian diriku ikut pergi bersamamu."