Sebelum waktu menoleh ke belakang, sebelum bintang pertama menatap kehampaan dan menyebutnya langit,
ia sudah ada.
Ia tidak lahir.
Tidak diciptakan.
Tidak dibentuk oleh doa,
kutukan,
atau keinginan.
Ia tidak diberi nama, karena belum ada lidah yang mampu menyebut.
Namun nanti, setelah cukup banyak yang mati, mereka akan memanggilnya satu nama.
KAEL
Malaikat pencabut nyawa.
Bukan simbol penghakiman atau kemanusiaan hanya kehampaan.
Bukan bagian dari perang atau kedamaian hanya penutup tirai.
Ia tidak mengikat jiwa pada timbangan, ia mencabutnya.
Ia tidak menimbang dosa dan pahala, ia mengabaikannya.
Sebab tugasnya bukan menilai hidup, tapi mengakhirinya.
Ia hadir di antara denyut pertama semesta yang belum mengenal arah.
Sebuah keberadaan yang tidak bersuara, tidak berkedip, namun tak pernah berhenti. Dunia belum mengenal dosa, belum mengenal pahala, dan belum memerlukan keadilan tapi Kael sudah ada.
“Keadilan dan dosa adalah kata-kata. Aku hadir sebelum kata ada.”
Kalimat itu melintas seperti embusan tak bernama di ruang di mana bahasa belum menemukan bentuknya.
Ia tidak menyampaikan pemikiran karena ia tidak pernah memiliki kebutuhan untuk berpikir.
Ia ada, dan keberadaannya sendiri adalah kepastian.
Kepastian bahwa segala sesuatu, betapapun indah atau buruknya, akan berakhir.
Ia adalah akhir.
Bukan karena ia menginginkannya. Tapi karena akhir memang selalu datang—tanpa permisi, tanpa alasan.
Iblis memiliki kekuatan penghancuran,
Sementara malaikat memiliki kekuatan penciptaan.
Dalam sistem surgawi, itu adalah hukum mutlak dan tak berubah sejak penciptaan pertama.
Iblis mengurai keteraturan menjadi kekacauan. Sementara Malaikat menata kekacauan menjadi harmoni.
Tapi Kael...
Kael adalah pengecualian.
Ia adalah malaikat, namun membawa kekuatan penghancuran.
Sebuah paradoks yang menggetarkan surga dan neraka.
Di antara semua malaikat terdapat yang paling bercahaya, terdapat yang paling bijak,
Tapi kekuatan sejati bukanlah cahaya, atau kebijaksanaan.
Itu adalah kepastian yang tak bisa ditolak.
Dan hanya Kael yang membawa kepastian itu.
karena ia menghancurkan bukan dari kebencian, tapi dari kehampaan.
Tanpa niat. Tanpa tujuan.
Ia tidak menghancurkan karena ingin…
Ia menghancurkan karena ia ada.
Ia disebut malaikat, tapi bukan seperti yang mereka bayangkan di surga.
Ia disebut tidak berdosa, tapi bukan karena suci melainkan karena tak mengenal kehendak.
Iblis melihatnya dan berbisik, “Dia bukan milik kami.”
Malaikat melihatnya dan diam. Karena mereka pun tak yakin.
Ia tidak ditempa oleh kehendak ilahi, dan tidak dicemari oleh nafsu neraka. Tapi para malaikat menghormati nya. Dan para iblis memerhatikannya dengan takut. Dalam ketidakseimbangan mereka, ia seperti poros tak bernama yang terus berputar, tak tergoyahkan, dan selalu menunggu.
Ia pernah mencabut nyawa raja terakhir dari kota tenggelam bernama Avarim, tempat langit dipuja sebagai makhluk hidup, dan doa dipahat di atas tulang paus.
Ia pernah menyentuh dahi seorang pemahat di Mador’kh, yang mengukir cerita tentang dewa pelupa di bawah tanah ribuan cahaya lilin.
Ia melihat kerajaan bernama Saedrion yang membakar waktu sendiri demi memperpanjang siang dan jatuh karena melupakan bagaimana merindukan malam.
Kael tidak tahu apa itu keinginan. Ia tidak tahu apa itu pilihan. Ia tidak merasa lapar, tidak merasa kesepian, tidak merasa benar atau salah. Ia adalah mekanisme. Gerigi dalam jam kosmik yang berputar tanpa suara, mencatat kematian tanpa niat.
Namun ia bisa heran.
Dan keheranan itu lahir saat ia mulai mencabut nyawa manusia.