prologue 2 : Akhir Segalanya

Langit pecah ketika ia turun.

dimensi terobek dengan kobaran api.

Ia muncul di samping tempat tidur seorang lelaki tua, seolah-olah ia sudah berdiri di sana sejak awal.

Lelaki itu menghela napas panjang. Tangannya gemetar, menggenggam potret kusam,gambaran seorang perempuan muda yang tersenyum dalam musim gugur yang telah lama hilang.

Kael menyentuh dahi lelaki itu.

Sentuhan tanpa kehangatan,

Wajah lelaki itu berkedut.

Air mata jatuh.

Bibirnya bergerak, membentuk sebuah kata terakhir yang tak pernah selesai.

Dan kemudian, Kael melihatnya.

Kilatan memori.

Seperti tirai yang ditarik paksa terbuka—gambar demi gambar melintas tanpa suara: pelukan anaknya di waktu pagi, hujan yang mengguyur kepala tanpa payung, langkah pincang saat melarikan diri dari perang, detak jantung ketika memegang tangan perempuan yang telah lama mati.

Semua itu… terpantul dalam diri Kael.

Namun Ia tidak mengerti.

Kael tidak mengerti.

Tapi wajah itu… ada sesuatu yang saling bertabrakan di dalamnya.

Mata yang basah tapi tersenyum. Nafas terakhir yang terasa ringan, tapi berat.

Apakah ini… dua rasa yang saling bersandar?

Kael tidak mencoba memahami. Ia tidak bisa.

Tapi ia heran.

Dan itu cukup untuk membuatnya menoleh.

Ia terus mencabut nyawa.dari gubuk penuh lumpur hingga istana emas yang sepi.

Ia menyaksikan manusia menjerit dan tertawa ketika ajal datang, menggenggam boneka lusuh atau buku suci, atau hanya meraba dada sendiri seperti mencari denyut yang sudah tak ada.

Beberapa berdoa.

Beberapa mencaci.

Sebagian diam.

Bahkan ada yang tertawa.

Tapi wajah mereka selalu menunjukkan sesuatu yang Kael tidak miliki.

Makna.

Itu bukan sesuatu yang Kael pahami.

Ia hanya mencatat, seperti bayangan yang selalu mengikuti cahaya.

Tapi lama-lama, ia mulai menyimpan wajah-wajah itu.

Bukan dalam bentuk kasih atau kenangan, tapi seperti seorang pelukis buta yang menggoreskan garis tanpa tahu warna.

Malaikat lainnya memegang keadilan seperti pedang yang bersinar.

Iblis memeluk keinginan seperti bara yang tak pernah padam.

Tapi Kael?

Kael tidak menggenggam apa pun.

Ia tidak percaya pada keadilan seperti para malaikat, atau pada kehendak bebas seperti para pemberontak neraka.

Ia tidak sedih atas kematian, tidak bahagia atas kelahiran, tidak mencintai ciptaan, tidak membenci kehancuran.

Tidak merasa bersalah, tidak pula takut.

Ia tidak mengerti mengapa manusia menangis saat kehilangan, mengapa iblis tertawa saat membunuh.

Ia tidak tahu bedanya pilihan dan perintah. Tidak mengenal identitas, tidak memahami ejekan atau lelucon.

Tak satu pun nilai sosial menempel padanya.

Kael bukanlah makhluk yang "ada" di antara dua sisi.

Namun Ia mulai mengenali pola: manusia yang kehilangan cinta, seringkali menangis.

Manusia yang memelihara dendam, mati dalam diam.

Anak-anak kadang tersenyum… bahkan saat tubuh mereka berhenti.

Apa itu?

Apa yang membuat mereka tersenyum saat hilang?

Apa yang membuat mereka ketakutan saat mereka tahu tak ada jalan keluar?

Kael tahu ini bukan pertanyaan.

Karena ia tidak bisa bertanya.

Tapi setiap wajah yang ia cabut, meninggalkan sebuah getaran.

Tidak mengguncangnya.

Hanya… mengusiknya. Seperti suara kecil di luar jangkauan telinga, tapi cukup nyaring untuk membuatnya diam sejenak lebih lama.

Kael tidak hidup dalam waktu.

Ia tidak terjebak dalam sebab-akibat.

Ia bisa mencabut nyawa seseorang yang belum lahir, atau yang sudah mati ribuan tahun lalu jika ajal sudah tertulis oleh kosmik.

Surga tak bisa memerintahnya. Neraka tak bisa memanipulasinya.

Ia bukan bagian dari hirarki para malaikat, bukan dalam lingkaran tertutup para iblis agung. Ia adalah fungsi. Dan seperti semua fungsi, ia terus berjalan… sampai segalanya rusak.

Dan segala sesuatu mulai membusuk.

Saat Surga bersinar dengan nyala kehendak Ilahi dan Neraka terbakar oleh hasrat pemberontakan, dunia berguncang oleh perang yang tak pernah usai.

Barisan malaikat menjatuhkan pilar cahaya ke lembah-lembah kutukan, dan legiun iblis memuntahkan kabut hitam yang melahap kota-kota suci.

Tapi Kael tidak berdiri di kedua sisi medan perang.

Ia tidak pernah memihak, tidak pernah ikut membunuh, tidak pernah menyelamatkan.

Ia muncul ketika suara takdir yang hanya bisa didengar oleh eksistensi tertentu telah mengukir kematian ke dalam waktu.

Ia mencabut nyawa tanpa pertimbangan, tanpa kasih, tanpa benci.

Baginya, tidak ada musuh dan tidak ada korban.

Hanya satu hal: waktu yang telah selesai.

Ia hanya mencabut nyawa jika ajalnya sudah tertulis dalam kosmik.

Tugas-tugas menjadi kabur. Malaikat mulai memilih siapa yang layak hidup. Iblis mulai mencipta kehidupan untuk disiksa.

Kael tahu satu hal: semua yang rusak akan mati.

Dan jika semua akan mati...

Ia hanya perlu menunggu.

Ketika keabadian menjadi ruang kerja, waktu berhenti bermakna.

Dan Kael yang tak mengenal kata "waktu" telah berdiri di ambang ajal semesta sejak sebelum sesuatu pun dimulai.

Ia tidak meramal kehancuran.

Ia tidak mencegahnya.

Ia hanya tahu, seperti sungai yang tahu akan sampai ke laut, bahwa segala sesuatu akan menemukan ujung.

Malaikat dan iblis telah menyentuh batas. Dan batas yang disentuh, meski tanpa niat, adalah batas yang akan patah.

Langit bergemuruh bukan karena perang, tapi karena makna dari "langit" sendiri mulai terurai.

Iblis menciptakan kehancuran bukan lagi sebagai reaksi, tapi sebagai tujuan. Mereka mulai melahirkan makhluk yang bahkan neraka enggan menerima.

Mereka menulis simfoni dari jeritan, memahat kebencian menjadi hukum, dan menamai semua itu sebagai “kebebasan.” Neraka bukan lagi tempat pembuangan; ia menjadi ladang panen.

Malaikat pun mulai mencemari ciptaan. Mereka tidak lagi melayani kehidupan, tapi membentuknya ulang sesuai ideal mereka. Mereka memahat jiwa, memutuskan siapa yang suci, siapa yang kotor. Mereka menjahit surga dengan benang kehendak, dan menyebut diri mereka “pemandu.” Tapi pemandu pun bisa tersesat saat merasa terlalu tinggi untuk melihat tanah.

Kael menyaksikan semua itu.

Diam.

Tanpa keberpihakan.

Namun semesta tidak diam.

Semesta merintih dalam patahan aturan yang dulu sakral. Hukum-hukum lama mulai tersedak. Batas antara hidup dan mati menjadi kabur. Beberapa jiwa menolak mati. Beberapa menolak hidup. Dan yang lain, mulai mengembara dalam kekacauan.

Tatanan kosmik mengirimkan gema… bukan sebagai perintah, tapi sebagai pengakuan. Sebuah desahan tak terdengar:

Semua telah sampai pada ajalnya.”

Dan karena itulah Kael bergerak.

Ia datang ke medan perang tempat para malaikat bersinar dengan luka dan doa, sementara iblis mencakar realitas dengan lidah api dan tawa yang pecah.

Tidak ada yang menyambutnya.

Karena tidak ada yang bisa.

Keberadaannya tidak bisa dipahami sebagai ancaman. Ia bukan musuh. Ia bukan penyelamat. Ia adalah ketiadaan tujuan dalam bentuk sempurna.

Dan ketika ia mulai menyentuh, satu per satu, langit runtuh tanpa ledakan.

Ia tidak menyerang.

Ia tidak bertarung.

Ia hanya berjalan, atau lebih tepatnya, ada di sana.

Seorang iblis agung, tubuhnya membentang dari gunung ke gunung, matanya berkobar dengan nyala konsep kehendak bebas, meraung, “Aku abadi! Aku kehendak yang tak bisa dipadamkan!”

Kael menyentuh dahinya.

Dalam sekejap, tubuh raksasa itu runtuh menjadi tiupan debu.

Tidak terbakar.

Tidak meledak.

Hanya… menghilang.

Memori melintas dalam Kael,bukan miliknya, tapi milik yang mati. Seekor ular yang dipuja, merangkak dalam kehancuran, memeluk anak kecil yang dilahirkannya dari nyawa manusia.

Kael tidak mengerti.

Ia mencatat sesuatu yang aneh: makhluk ini menjaga sesuatu, membentuknya, lalu menghancurkannya sendiri.

Bukan karena benci. Tapi karena… terlalu banyak rasa.

Kael tidak tahu namanya, tapi ia mengingat gema dalam ingatan itu menyebutnya: "cinta".

Ia berjalan lagi.

"Kebebasan adalah hak. Mereka memilih penderitaan karena hanya di situlah mereka bebas dari surga palsu!"

Kael menyentuh dahinya. Ia menghilang.

Namun dalam memorinya, manusia yang ia ciptakan menangis saat sendirian dan memanggil ibunya.

Seorang malaikat bersayap dua belas, sinarnya menggores cakrawala, menyanyikan ayat dari Kitab Cahaya sambil menebaskan pedang ke arah iblis terakhir yang tersisa. Tapi pedangnya tak lagi memotong. Lagunya penuh retakan.

“Aku adalah kehendak suci. Aku menimbang kehidupan!”

Kael menyentuhnya dahinya.

Dan sang malaikat berhenti bernyanyi. Sayapnya luruh. Tubuhnya larut seperti garam dalam air yang tak mengalir.

Kael melihat memori dari sang malaikat. Seruan jutaan umat. Harapan dari mereka yang berdoa dalam gelap. Tapi juga kesombongan saat ia menolak mencabut kutukan dari bayi yang lahir “terlalu hina”.

Kael tidak merasa sedih. Ia tidak menghakimi.

Ia berjalan lagi

"Aku membunuh anak itu karena kutukannya akan merusak tiga generasi. Aku... menyeimbangkan harapan."

Tapi memori setelah kematian menunjukkan sang anak berdoa setiap malam agar tidak menyakiti siapa pun.

Ia melangkah ke perbatasan dimensi tempat malaikat dan iblis terakhir berdiri, saling mencengkeram dalam luka dan dendam.

Mereka mencoba menggabungkan kekuatan untuk terakhir kalinya. Tapi gabungan itu adalah bentuk paling utuh dari kebusukan: kehendak yang menginginkan segalanya tanpa batas.

Kael hadir di tengah mereka.

Dan mereka berhenti bertarung.

Karena akhirnya mereka tahu: saat dia tiba, segalanya telah diputuskan.

Mereka memohon.

Bukan untuk hidup, tapi untuk waktu. Waktu untuk menjelaskan.

Waktu untuk memperbaiki.

Waktu untuk merasa.

Tapi waktu bukan milik mereka lagi.

Dan Kael tidak memahami permohonan.

Ia hanya melaksanakan.

Satu sentuhan. Dua. Tiga. Empat.

Dunia menjadi sunyi.

Akhirnya, hanya manusia yang tersisa.