Manusia
Makhluk kecil. Lemah. Tapi dipenuhi oleh sesuatu yang Kael tidak mengerti.
Manusia tidak menciptakan surga. Tidak memalsukan neraka. Mereka hanya hidup. Mereka mencintai dan saling membunuh. Mereka mencuri dan memberi. Mereka berdoa sambil meragukan, memaafkan sambil membenci.
Mereka tidak konsisten. Tapi mereka berusaha.
Di zaman api laut, para penjelajah melemparkan nyawa ke ombak sebagai persembahan kepada Sang Pengakhir. Mereka tidak tahu siapa dia. Tapi mereka tahu… saat malam menjadi terlalu panjang, dia akan datang.
Tapi kini ia turun ke dunia bukan karena mereka meninggalkan tradisi itu,
melainkan karena tradisi tak lagi memiliki makna.
Api laut telah padam, ombak kehilangan arah, dan langit pun lupa cara menjadi siang.
Kini, bukan pengorbanan yang memanggilnya… tapi pembusukan.
Seorang anak berkata, “Ayah, kenapa angin berhenti?”
Seorang nelayan merasa laut menjadi cermin, dan ikan-ikan tidak bergerak.
Dan kini mereka sendirian.
Kael melihat mereka, satu per satu.
Seorang anak perempuan, memeluk ibunya yang sudah mati.
Seorang lelaki tua membakar buku doanya, lalu menangis saat api menyentuh kulit.
Seorang gadis mencium kekasihnya yang sudah hancur separuh tubuhnya, sambil berbisik, "Aku masih di sini."
Ia mencabut mereka semua.
Tanpa pilihan.
Tanpa amarah.
Tapi dalam setiap sentuhan, memori mengalir.
Bukan hanya wajah.
Tapi emosi yang begitu kuat hingga hampir seperti suara dalam kehampaan.
“Ma… aku ingin pulang.”
“Apa aku cukup berarti?”
“Maafkan aku.”
“Terima kasih.”
"Aku mencintaimu"
Kalimat-kalimat yang tak masuk dalam tatanan hukum kosmik. Tapi terasa… dekat.
Kael tidak tahu mengapa ia berhenti lebih lama pada nyawa seorang anak yang tertawa dalam pelukan anjingnya.
Ia tidak tahu mengapa ekspresi manusia yang menyesal lebih sulit disentuh.
Tapi ia mencatat semuanya.
Dan ketika manusia terakhir tercabut—
dunia berhenti bergerak.
Langit menjadi datar.
Laut menjadi cermin.
Gunung menjadi batu tak bernama.
Kael berdiri di tengah realitas yang telah menjadi sunyi.
Dan ia tahu: tugas belum selesai.
Masih ada segelintir.
Mereka yang belum dicabut.
Termasuk satu makhluk… yang berbicara padanya, meski ia tak pernah membalas.
Tidak ada waktu.
Tidak ada doa.
Tidak ada arah.
Hanya satu makhluk tersisa di antara reruntuhan segala yang pernah ada.
Ia duduk di antara serpihan cahaya yang membatu, di ujung dimensi yang telah kehilangan gravitasi makna.
Malaikat terakhir.
Sayapnya compang-camping. Tubuhnya remuk. Tapi matanya masih menatap. Bukan dengan harapan, bukan dengan penyesalan… tapi dengan pemahaman yang tidak lagi membutuhkan kata.
Kael berdiri di hadapannya.
Tidak sebagai penghakim. Tidak sebagai penyelamat.
Ia berdiri karena itu adalah giliran. Karena sang malaikat masih bernyawa.
Dan tugasnya—fungsi—belum selesai.
Yang duduk itu tersenyum. Bukan senyum kemenangan, bukan senyum pasrah. Tapi senyum... seolah ia baru saja membaca akhir dari buku yang terlalu lama ia bawa, dan akhirnya mengerti mengapa halaman pertamanya kosong.
Ia berbicara.
Lidahnya patah.
Tapi suara itu masih hidup.
Lirih, seperti napas terakhir lilin.
“Kau tidak pernah mengerti apa itu cinta, Kael... Tapi tahukah kau? Kami pun tak pernah mengerti apa itu kau.”
Kael tidak menjawab.
Ia tidak punya konsep menjawab.
Ia hanya menyimak, karena makhluk di hadapannya akan mati. Dan ia tahu sebuah pengetahuan yang bukan pilihan bahwa memori akan mengalir.
“Dulu, kami mengira kau adalah alat. Lalu kami menyangka kau adalah Tuhan tanpa kehendak. Tapi kini aku tahu... kau adalah luka.”
Mata malaikat itu mulai berkabut. Tapi tidak dengan air mata. Dengan sesuatu yang lebih tua dari kesedihan.
“Kau adalah kehampaan yang terlalu lama menatap makna, sampai mulai bertanya… mengapa mereka menangis ketika kau datang.”
Kael tidak merasa heran. Tapi ada sesuatu yang tercatat. Sebuah gema samar yang tidak hilang seperti biasanya.
“Aku selalu bicara padamu… bukan untuk didengar, tapi agar sesuatu dalam dirimu yang tak bernama itu tidak selamanya diam.”
“Kau tak tahu apa itu ‘diri’, Kael. Tapi aku tahu, suatu hari… kehampaanmu akan retak.”
Kael mendekat.
Ia mengangkat tangan.
Tugas adalah tugas. Dan malaikat itu tahu.
Ia menutup matanya.
“Akhir selalu datang padamu. Tapi kali ini… mungkin kau akan jadi awal.”
Dan sebelum tubuhnya lenyap, ia hanya berbisik:
“Lihatlah… dengan mata milikmu sendiri.
Dan dalam sekejap, tubuh itu melepaskan diri dari eksistensi.
Tanpa suara.
Tanpa ledakan.
Hanya hilang—
seperti kata yang tidak pernah selesai diucapkan.
Tapi memori menetap.
Kael melihat:
Malaikat itu pernah tersenyum pada seorang anak manusia yang tidak bisa berjalan.
Ia memeluknya, bukan karena tugas, tapi karena keinginan.
Ia mengajarkan doa bukan sebagai kunci surga, tapi sebagai cara untuk merasa didengar.
Ia pernah membakar setengah kota demi menyelamatkan satu keluarga dari kutukan iblis.
Ia pernah memohon pada Kael diam-diam untuk menunda ajal satu perempuan tua, hanya agar anaknya sempat pulang dari perang.
Kael tidak memahami apa yang ia lihat. Tapi ia tidak bisa mengabaikannya seperti biasa.
Karena di akhir memori itu, sang malaikat… menangis.
Bukan karena takut mati. Tapi karena ia akan meninggalkan sesuatu yang tak bisa ia bawa.
Kael tidak tahu apa itu.
Ia hanya menyaksikan kilasan:
Sebuah pelukan yang terlalu erat. Sebuah senyuman yang tak sempat diulang. Sebuah nama yang hanya disebut dalam hati.
Ia tidak merasa tersentuh. Tapi tidak bisa mengabaikannya.
Sesuatu bergema.
Bukan suara. Bukan ingatan. Tapi jejak emosi yang tak bisa ia tafsirkan.
Jika kata itu harus diberi nama… mungkin, bagi kita yang hidup… itu disebut:
"Rindu."
Kata yang tak punya padanan dalam tatanan kosmik.
Dan Kael berdiri sendirian.
Semua telah tiada.
Surga hancur. Neraka padam. Manusia pun lenyap.
Yang tersisa hanyalah struktur.
Realitas itu sendiri—jaring dimensi,
hukum,waktu, batas eksistensi.
Dan Kael.
Ia menengadah.
Tidak ada langit.
Ia melihat ke dalam.
Tidak ada hati.
Tapi tugas belum selesai.
Bukan karena ia ingin. Tapi karena ia tahu bahwa semesta pun ada ajalnya.
Ia menyentuh gravitasi. Dan ia berhenti bekerja.
Ia menyentuh waktu. Dan waktu membeku, lalu mengelupas seperti kulit mati.
Ia menyentuh logika. Dan sebab-akibat runtuh ke dalam diam yang tidak bisa dipahami.
Ia menyentuh hukum
Hukum Kehidupan—retak.
Hukum Kematian—terkikis.
Hukum Kausalitas—berdesir seperti debu tersentuh angin.
Hingga seluruh hukum ia hancurkan.
Ia menyentuh eksistensi.
Dan eksistensi itu sendiri yang selama ini menyokong keberadaan makhluk dan hukum, doa dan kutukan, cinta dan kehendak.mulai pudar.
Kael mencabut nyawa semesta.
Bukan sebagai pemberontakan.
Bukan sebagai kebencian.
Tapi karena… segala sesuatu berhak mati ketika sudah selesai.
Dan ia terakhir.
Ia berdiri dalam ruang yang tidak memiliki warna.
Dalam kekosongan yang bahkan tidak disebut kekosongan.
Dan ia tahu bahwa tugasnya telah berakhir.
Tidak ada lagi yang bisa dicabut.
Tidak ada lagi fungsi.
Dan ia tidak bertanya.
Ia tidak bersedih.
Ia hanya tahu.
Tangannya yang tidak mengenal gemetar diangkat untuk terakhir kalinya.
Ia mengangkat tangannya perlahan. Gerakan itu tidak diiringi nyanyian surga atau raungan neraka.
Hanya keheningan.
Ia menyentuh dadanya.
Dan di detik itu…
Sebuah sembilu rasa menghantam jiwanya.
Bukan luka fisik.
Bukan luka spiritual.
Tapi rasa sakit.
Bukan rasa sakit karena kehilangan. Tapi rasa sakit karena ada.
Tubuhnya terguncang. Mata yang tak pernah berkedip selama jutaan tahun, akhirnya terpejam.
Ada sesuatu di dalam dirinya. Tajam. Terbakar. Berdenyut.
Ia tidak tahu namanya.
Tapi ia mengingat…
Seorang lelaki tua pernah menyebut kata itu sebelum napas terakhirnya.
"Sakit…"
Mungkin… ini yang mereka maksud.
Dan untuk pertama kalinya, ia jatuh bukan karena musuh, bukan karena takdir tapi karena dirinya sendiri.
Rasa sakit itu tidak berakhir. Ia justru berkembang berkembang menjadi sesuatu yang bahkan tak bisa didefinisikan oleh kata.
Kesendirian.
Kebingungan.
Panas dan dingin yang berkelindan seperti mimpi buruk.
Dan pada akhirnya… hanya kegelapan yang tersisa.
Namun…
Dalam kegelapan itu, ada suara tangis bayi.
Napas pertama.
Denyut jantung pertama.
Mata terbuka.
Udara yang menyakitkan paru-paru.
Tubuh kecil yang menggigil dalam pelukan dunia fana.
Kael membuka mata untuk pertama kalinya sebagai manusia.
Ia tidak tahu namanya. Tidak tahu siapa dirinya. Tidak tahu kenapa dunia terasa terlalu terang… dan terlalu berat.
Tapi dari dalam batinnya yang paling dalam, sebuah pertanyaan melayang pelan, seperti bisikan dari takdir yang ia lupakan:
“Apakah ini… yang mereka sebut reinkarnasi?”