Langit tidak sekadar gelap.
Ia menggelegak seperti luka lama yang ditusuk kembali, dalam, dan tanpa ampun.
Di atas desa yang sunyi, awan hitam menggulung seperti naga tua yang bangkit dari tidur panjang.
Kilatan petir sesekali mencabik kabut, mengoyak diam dengan suara yang memaksa semua makhluk mengangkat kepala… dan segera menundukkannya kembali.
Hujan turun, tapi bukan gerimis lembut yang membawa kesuburan.
Ini hujan tajam. Dingin. Berat. Seperti dunia sedang menangis bukan karena sedih, melainkan karena takut.
Di paviliun timur desa warga berkumpul. Basah kuyup, tapi tak satu pun meninggalkan posisi.
Tangan menggenggam lentera. Mata mencari arah.
Mereka tidak tahu apa yang terjadi.
Tapi mereka tahu ini bukan cuaca biasa.
Langit menolak sesuatu.
Beberapa orang mulai berbisik
bahwa mungkin ritual ini harus ditunda. Bahwa tanda-tanda buruk bukan hal yang bisa diabaikan, apalagi saat seorang bayi hendak diberi nama.
Namun sebelum keraguan tumbuh menjadi ketakutan, seorang tetua dengan suara pelan tapi mengiris seperti belati yang tenang berbicara:
“Jangan ditunda. Jika dunia bereaksi, itu bukan penolakan… tapi panggilan. Semakin lama tanpa nama, semakin besar risiko jiwanya tersesat.”
Dan dengan itu, langkah-langkah dimulai.
Lentera dinyalakan ulang, satu demi satu.
Petir tetap mengamuk di atas kepala, namun di bawahnya dunia perlahan bernafas lagi.
Bukan karena tak takut,
melainkan karena tahu:
Beberapa hal harus dilakukan… meski seluruh langit menentangnya.
*****
Lysia menarik napas dalam. Tapi dadanya terasa sempit, seolah udara yang ia hirup terlalu tua untuk paru-parunya.
Jubah biru kehijauannya, meski bersih dan megah, terasa asing di tubuhnya—
seperti warisan yang tak ingin ia pakai, tapi tak bisa ia tolak.
Di sebelahnya, Arsaka berdiri kaku, mata menatap batu panamaan di tengah pelataran desa. Jemarinya terus bergerak seolah mencari pegangan, tapi tidak ada yang bisa ia genggam… selain realita yang sudah terlalu berat.
Mereka melangkah pelan ke tengah altar.
Ketika mereka lewat, warga menunduk
dalam diam yang bukan hanya hormat… tapi pengakuan atas sesuatu yang tak pernah diucapkan.
Anak-anak menarik lengan baju orang tuanya, bertanya mengapa mereka tidak boleh menatap wajah “mereka berdua.” Tapi pertanyaan itu hanya dijawab dengan bisikan pelan dan takut:
“Itu aturan. Tatap kaki mereka, bukan wajahnya.”
Lysia berbisik, setengah menggertak, setengah lelah:
“Arkh… Aku tidak pernah terbiasa dengan hal ini.”
Arsaka mencentus.
“Mungkin kalau aku jatuh sekarang, semua akan berhenti menatap.”
Lysia menoleh, matanya menyipit.
“Bagus. Jatuh saja. Biar semua orang tahu suamiku bukan hanya lelah tapi juga hilang akal.”
“Oke, oke. Aku tidak akan jatuh. Aku hanya membayangkannya.”
Nafas Lysia tersendat. Ia menarik udara dalam-dalam lalu mengembuskannya pelan,
“Hah…”
Satu kata, satu helaan napas, cukup untuk mengatakan: aku capek. Aku ingin ini cepat selesai. Aku ingin menjadi manusia biasa.
Arsaka menoleh sedikit, cukup untuk menyentuh dunia kecil yang mereka bagi.
Suaranya lembut, nyaris bisikan:
“Tenang. Ini hanya sebentar.”
Tapi mereka berdua tahu tidak ada hal besar yang benar-benar sebentar.
Mereka terus berjalan hingga
Langkah mereka berhenti di tengah lingkaran batu simetris, reruntuhan dari zaman yang bahkan tidak tertulis dalam buku sejarah.
Batu panamaan.
Terdiri dari seonggok granit hitam legam berdiri di tengah, permukaannya dihiasi ukiran spiral waktu yang mengilap karena air hujan.
Arsaka menurunkan selimut dari bahunya. Dengan hati-hati, ia meletakkan tubuh kecil Kael di atas selimut abu ritual, terbuat dari pohon leluhur yang hanya tumbuh di atas makam para penguasa terdahulu.
Lysia mengusap rambut bayinya. Matanya berkaca-kaca. Tapi ia tidak menangis.
Petir menyambar.
Batu panamaan bergetar.
Dan ritual pun dimulai.
********
Cahaya.
Terlalu terang.
Terlalu panas.
Terlalu.... Berlebihan.
Baginya, eksistensi adalah garis tipis antara gema dan keheningan. Tapi sekarang… semuanya kacau.
Wajah-wajah mengelilinginya.
Warna-warna, suara, getaran.
Semua hadir sekaligus tidak dalam urutan, tidak dalam harmoni.
Seperti langit yang jatuh dalam potongan-potongan kecil, dan dunia yang belum tahu cara menyusunnya kembali.
Mereka membungkuk padanya.
Tapi ia tidak tahu kenapa.
Bagi kita ini rasa hormat.
Bagi kita ini ketakutan.
Tapi baginya, tubuh yang menunduk hanya berarti: tekanan pada sendi, beban pada lutut, dan tarikan otot tertentu.
Ia mencatat. Tapi tidak mengerti.
Ketika cahaya dari langit menyentuh kulitnya, ia merasa… kaku.
Bukan karena dingin atau panas. Tapi karena tubuh orang-orang gemetar.
Mata mereka membelalak.
Beberapa menutup mulut.
Ia tidak tahu kata “takut”.
Tapi ia tahu tubuh-tubuh itu seperti mencoba mengecil, menciut ke dalam bayangan diri sendiri.
Baginya, itu hanya reaksi.
Respons fisik terhadap sesuatu yang tak terlihat.
Namun…
Ketika tangannya menyentuh batu hitam di bawah tubuhnya, dan spiral cahaya perlahan menyala,
ada sesuatu yang berdenyut.
Ia tidak tahu nama untuk itu.
Tapi denyut itu... membuat waktu terasa lebih lambat.
Seolah dunia menahan napas, dan ia untuk pertama kalinya berada di pusatnya.
Seseorang menangis.
Tapi bukan karena luka.
Bukan karena kehilangan.
Tangisan itu… bukan suara. Tapi aliran.
Seperti sungai yang jatuh dari langit, tapi tanpa hujan.
Kael memejamkan mata.
Bukan karena lelah.
Tapi karena… ia ingin tahu apa yang terjadi di balik kelopak itu.
Mungkin… jawabannya ada di sana.
********
Langkah para tetua menggetarkan tanah.
Bukan karena berat tubuh mereka, tapi karena sejarah yang mereka bawa.
Ada tiga belas dari mereka. Berdiri diam, tanpa suara.
Jubah mereka bukan kain biasa.
Terbuat dari kabut bulan yang dibekukan, dijahit dengan benang perak bintang, dan dihiasi untaian tulang burung Mythra
makhluk yang hanya muncul dalam domain orang suci.
Saat mereka berjalan, jubah itu berdesir seperti doa yang dilupakan dunia.
Saat mereka diam, dunia menahan napas.
Empat dari mereka melangkah maju, berdiri di empat penjuru mata angin.
Utara: Asal.
Timur: Hidup.
Selatan: Kematian.
Barat: Takdir.
Empat tetua itu mengenakan topeng.
Segel spiritual terbuka. Lingkaran cahaya muncul.
Mereka membawa tongkat obsidian, masing-masing terukir dengan pola berbeda:
spiral, retakan, mata tertutup, dan angka yang tak bisa dihitung manusia.
Mereka mengangkat tongkat masing-masing, dan mengucapkan mantra dalam bahasa yang tidak dikenali siapa pun.
bahasa dunia lama yang hanya diizinkan diucapkan saat langit diam.
Lalu dimulailah senandung spiral.
Angin tenang. Warga bersenandung. Empat sesepuh berdiri di penjuru mata angin.
Mereka mengenakan topeng.
Segel spiritual terbuka. Lingkaran cahaya muncul.
Batu panamaan berpendar perlahan.
Nada rendah.
Monoton.
Menyerupai suara bumi saat bersedih.
Lalu naik perlahan, seperti langit sedang mengingat nama-nama yang pernah ia kubur.
Para wanita menaburkan bunga Myrasha.
putih berkilau seperti kabut yang memantul di danau malam.
Bunga ini hanya mekar saat badai, dan hanya tumbuh dari tanah yang pernah dilalui mayat suci.
Lalu terjadi sesuatu.
Udara retak.
Suhu membalikkan dirinya.
Panas dan dingin menyerbu bersamaan.
Tubuh bayi itu bergetar.
Salah satu tetua tersentak. Darah menetes dari hidungnya.
Tongkatnya bergetar, nyaris patah.
Suara nyanyian satu per satu terputus.
Lysia tanpa sadar memeluk arsaka.
Bukan karena takut pada sihir,
tapi karena ia menyadari:
“Anakku… tak akan bisa punya hidup biasa.”
Warga mulai gemetar.namun tidak berani untuk panik.
Mereka tidak menggigil karena cuaca. Tapi karena dunia.
untuk sesaat seolah mereka tidak ingat bagaimana cara takut.
“Ini... bukan kekuatan....ini...." tetua itu tidak menyelesaikan kalimatnya. Bibirnya bergerak… tapi tak satu pun tahu kata apa yang pantas untuk kekuatan semacam itu.
Tiga lainnya berlutut.
Muka mereka pucat. Jubah mereka mulai hangus di ujungnya.
Empat tetua lain melangkah dari lingkaran luar.
Mereka tidak memakai topeng ritual. Tapi mereka tetap memaksakan diri untuk membantu.
Tanpa berkata, tangan mereka bergerak
sinkron, tenang, seperti tarian .
Mereka menyalurkan energi internal melalui napas, bukan mantra.
“Kami meminjamkan napas kami, demi darah yang pernah bersatu.”
Cahaya biru pucat mengalir.
Namun tak berselang lama… dua dari mereka roboh.
Dua tetua lain maju, menggantikan posisi.
Energi di tempat itu menggila.
Simbol di tanah menyala. Angin menjerit. Udara seperti menolak realitasnya sendiri.
Satu tetua di belakang mereka semua meng harmonisasi energi yang tidak beraturan itu.
Beberapa warga terdiam kaku, gemetar,takut.
Seorang anak menangis, tapi tak ada suara keluar.
Tangisnya tertelan oleh suara angin dan langit.
Para ibu mulai menarik anak-anak mereka ke belakang,
dengan langkah pelan, seolah suara bisa memicu kehancuran.
Beberapa dari mereka mendekatkan tangan ke dada, berdoa tanpa suara.
Kael melihat segalanya … tapi tidak tahu arti apa pun.
Namun tubuhnya merekam. Dan diamnya… lebih dalam dari doa siapa pun.
Sebagian warga terlihat hendak berlari, tapi ditahan oleh rasa hormat atau takut akan sesuatu.
Segel spiritual yang mengelilingi batu panamaan mulai merekah.
Tanah bergetar, dan dari retakan halus di bawah Kael, muncul cahaya merah keemasan.
membentuk lingkaran sihir bertingkat, dengan tulisan bercahaya yang berputar, mengelilingi tubuh kecil itu.
Udara menjadi padat.
Setiap tarikan napas seperti menelan pecahan besi.
“Cepat,” desis salah satu sesepuh yang masih berdiri, wajahnya berkeringat darah.
“Kami tidak akan bertahan lama…”
Ia menatap langsung ke arah Arsaka dan Lysia.
“Ritual ini tak boleh diketahui oleh mereka di luar tanah ini…
dan tak boleh gagal.”
Arsaka menggenggam tangan istrinya.
Lysia menggenggam erat kain jubahnya, mencoba menyembunyikan getaran halus di jemarinya. Ia tersenyum—senyum yang tidak sampai ke mata, seperti lapisan tipis di atas luka yang belum mengering.
Ia tahu ini demi Kael. Tapi bagian dari dirinya masih berbisik:
"Apa yang telah aku wariskan padanya…?"
tapi ia tetap mengangguk.
Arsaka berdiri tegak. Suaranya menggelegar:
“Dengan abu dunia lama, dan cahaya dari masa depan…
Dengan saksi dari langit dan bayang-bayang terdalam…
Kami tak hanya memberi nama kami memanggil ruh!
Bukan untuk mengikatnya… tapi untuk melindungi mereka yang datang sebelum dan sesudahnya!”
“Dengan ini, aku Arsaka Velgarth,
menamai anakku:
Kael.
Kael Velgarth.”
Sunyi.
Bahkan angin pun berhenti.
BRAAAAKKK!!!
Petir menghantam, begitu keras hingga udara terasa seperti pecah.
Tiga kilatan api turun serempak, Membentuk jejak terbakar yang membentuk pola Segel Silsilah
lingkaran luar melambangkan dunia,
segitiga di dalamnya: tiga dewa pengamat,
dan di tengahnya: mata tertutup, simbol anak yang belum bangkit.
Orang-orang menjerit. Beberapa jatuh terduduk. Bayi-bayi menangis.
Burung-burung melesat ke segala arah, seolah melarikan diri dari sesuatu yang tak bisa dilihat.
Tetua berteriak
"BERLUTUT!!! "
Semua berlutut. Semua takut.
Tapi Kael hanya merasa... sepi.
Karena tak ada dari mereka yang benar-benar tahu apa yang baru saja mereka panggil ke dunia ini. Bahkan dirinya sendiri.
Awan terbelah.
Dan dari langit turun sesuatu yang bukan dari dunia ini:
Helaian bulu, berwarna perak kebiruan.
Ia melayang seperti dedaunan dalam mimpi.
Saat menyentuh dahi kael, bulu itu mencair menjadi cahaya,
menyusup ke dalam tubuh Kael dan menyisakan batu kristal bening yang bergetar,
memancarkan suara seperti nyanyian dari tempat yang tak punya arah.
Dalam legenda, bunga ini adalah tanda bahwa surga memperhatikan.
Seorang wanita tua bergumam, “Astaga… ada, legenda itu benar benar ada…”
“Jangan bilang ini…legenda yang legendaris itu...”
Mereka bersorak hidup velgarth.
Hidup velgarth. Hidup velgarth.
Namun Tak ada yang menyadari… bahwa nama itu adalah doa yang juga bisa menjadi kutukan.
Sorak itu pecah, tapi cepat ditekan oleh kepala desa.
Wajahnya keras. Suaranya dingin.
Tapi di balik suara keras itu, matanya merah. Dan tangan tuanya… gemetar.
Ia tahu apa artinya nama itu.
“Diam. Jangan bawa nama itu sembarangan…”
Ia memberi isyarat tegas, dan para warga mulai mundur.
Ritual selesai.
Langit belum kembali cerah, tapi hujan perlahan mereda.
Angin mulai mengecil, dan aroma petir masih menggantung di udara.
Para warga pulang dengan ketakutan bercampur harapan.
Mereka diam, wajah mereka menegang, mata menyiratkan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan
bukan hanya rasa takut, tapi juga... semacam penghormatan purba.
Beberapa berjalan tanpa bicara, seolah takut suara mereka akan memanggil sesuatu kembali dari langit.
Yang lain melirik ke belakang, ke arah altar yang kini kosong… seolah bertanya dalam hati:
"Apakah kita baru saja menemukannya?
Apakah kita baru saja mendapatkan nya?
Sebuah Harapan."
Salah satu anak kecil, memegangi rok ibunya, bertanya pelan:
“Ibu… apa bayi itu… dewa?”
Ibunya tak menjawab.
Tapi seorang sesepuh yang duduk di dekat api unggun menoleh,
menatap bara yang mulai padam, dan berbisik:
“Jika legenda itu benar... maka hal itu belum mati.”
“Ia hanya... tertidur.”
Namun Di balik semua itu.
Lysia menggigit bibir hingga berdarah. Tangannya ingin menarik Kael, ingin kembali ke masa lalu dan menghentikan semuanya. Tapi ia berdiri diam, seperti patung yang dibentuk oleh tanggung jawab, bukan keberanian.
Air mata mengalir tanpa suara. Bukan karena lemah tapi karena ia sadar, sejak hari ini, sebelum kael belajar berjalan… dunia sudah menyiapkan jalan yang penuh duri untuknya.
Arsaka melihatnya.
Tanpa berkata apa-apa, ia menarik Lysia ke pelukannya,erat, seolah ingin menyatukan retakan di dalam dada istrinya dengan hangat tubuhnya sendiri.
Dadanya basah. Tapi ia tidak tahu apakah itu air hujan atau air mata Lysia. Dan ia tidak bertanya.
Di antara petir dan gema nyanyian yang mulai retak, suara istrinya nyaris tak terdengar…
“…aku tak ingin memberinya dunia seperti ini…”
Arsaka menunduk, bibirnya menyentuh pelipis wanita yang telah bersamanya melewati terlalu banyak luka.
“Tapi dia akan menanggungnya,” bisiknya pelan.
“Dan aku akan pastikan dia tidak sendirian.”
Di sisi lain desa, pria tua berjubah gelap yang sejak tadi memperhatikan,
berdiri membelakangi langit yang kini menyimpan petirnya.
Ia menatap ke arah jauh, ke luar hutan.
“Apa itu."
"Aku harus menghubungi raja, tunggu jika aku menundanya entah akan jadi apa anak itu nanti"
"Aku harus membunuhnya
“Aku harus membunuhnya… sebelum ia tahu siapa dirinya.”
*****
Malam datang.
Kael terbaring di pangkuan ibunya.
Ia tak mengerti apa yang terjadi siang tadi.
Namun ia merasakan sesuatu.
Sesuatu yang tidak ada di surga atau neraka.
Ketika bulu itu menyentuh kulitnya, ia merasa seolah langit punya kenangan yang ingin dititipkan padanya.
Apa itu... berat di dadaku?
Mengapa dunia seperti... lebih dekat?
Apa itu velgarth? Mengapa mereka menambahkan namanya ke dalam namaku? Mengapa mereka mengetahui namaku sebelum reinkarnasi? Untuk apa ritual itu?
Ia tidak punya kata.
Tapi ia mulai mengumpulkan kesan.
Seperti debu-debu pertama yang nanti menjadi makna.
Dan saat semuanya mulai tenang...
Lilin di sudut ruangan padam sendiri.
Sebuah bayangan merayap masuk lewat celah pintu. Engselnya berderit…
…tapi tak ada yang datang untuk menutupnya.