[⧉]Dedaunan bergetar pelan, tapi tidak karena angin. Suasana hutan tampak menahan napas… karena di tengah kabut itu, seekor tubuh mungil menyeret dirinya dengan luka dan darah, bukan dengan kekuatan tapi dengan tekad.[⧉]
Langkahnya tidak pantas disebut langkah.
Ia bukan berjalan.
Ia bahkan belum bisa berdiri.
Tapi tubuh itu… bergerak maju.
Menyeret dirinya sendiri.
Dan dari balik bayang-bayang pepohonan, sosok berjubah panjang muncul entah dari mana.
Ia memiringkan lehernya sekali lagi.
“Krekk.”
Hening.
Lalu ia mendesah panjang, seperti seseorang yang baru duduk setelah jalan jauh.
“Aduh…aku berlebihan lagi,hari ini mungkin sudah patah tujuh kali.
Ia menepuk-nepuk sisi lehernya dengan malas.
Seolah tubuhnya hanya barang antik yang perlu disetel ulang.
Matanya turun…
dan berhenti pada bayi di hadapannya.
“Eh?”
“Bayi siapa ini?”
Dahinya sedikit berkerut, seolah menyusun sebuah pemahaman yang tidak selesai.
“Anak seusia ini… bahkan belum bisa bicara,” gumamnya pelan. “Tapi kau… mencoba menembus batas desa?”
Ia tidak segera mendekat.
Ia menonton dulu.
Sambil menggenggam tongkat kayu bengkok yang telah menguning di sisinya, ia berbicara kepada Kael,
“halo adik kecil, aku tetua desa ini.”
“Apa yang membuatmu bergerak?”
Kael tidak menjawab. Ia belum biasa berbicara. Tubuhnya bahkan tak kuat mengangkat kepala. Tapi matanya… tak lepas dari satu titik: ke arah kabut yang jauh, tempat fragmen itu pernah tampak seperti bintang yang tak bisa dipanggil.
Darah menetes dari lututnya. Tangan kecilnya menggigil saat menyentuh tanah.
Tetua itu akhirnya melangkah pelan. Tidak cepat, tidak lambat. Hanya seperti orang yang tahu… bahwa jika ia tidak bergerak sekarang, sesuatu akan hilang.
Ia jongkok di hadapan Kael, menatapnya sejajar mata. Tatapan itu bukan rasa iba. Tapi rasa ingin tahu… yang tak ingin diakui.
“Apakah kau tahu… apa yang kau coba gapai?”
Kael diam. Ia tidak bisa berbicara Tapi napasnya… seolah menjawab:
"Aku harus ke sana. Bahkan jika tubuhku tidak tahu caranya."
Tetua itu mengulurkan tangannya.
[⧉]Ia tidak segera mengangkat Kael. Ia hanya menyentuhnya, pelan. Ujung jarinya menyentuh kulit Kael yang dingin, lalu berhenti.[⧉]
Ada sesuatu.
Bukan panas. Bukan luka.
Tapi semacam gema…
[⧉]seperti dunia pernah menanam sesuatu di tubuh anak ini, dan kini tetua itu tanpa sengaja menyentuh tanah tempat benih itu bersembunyi.[⧉]
Ia menarik napas perlahan. Jemarinya sedikit gemetar.
“Kau… tak menangis,” bisiknya lirih.
Bagi orang dewasa, itu bukan apa-apa.
Tapi bagi tetua yang telah mengantar ratusan anak ke dunia dan ratusan lagi ke liang kubur, tangisan adalah tanda pertama kehidupan… dan juga tanda bahwa seseorang masih mengenali rasa sakit.
Kael… tidak menangis.
Tubuhnya berdarah, tapi ekspresinya datar. Tidak kebas, tidak pasrah. Hanya… kosong. Seperti seseorang yang sedang berjuang menyesuaikan diri dengan rasa sakit, bukan menolaknya.
Tetua mendongak, menatap langit malam yang bergeser pelan di antara cabang-cabang pohon.
“kau...Bukan bayi biasa…”
Ia menunduk kembali. Perlahan mengangkat tubuh kecil itu ke pelukannya.
“Apa yang dikirimkan dunia kali ini…”
Ada nada getir di suara itu. Kekaguman… yang belum siap diakui sebagai ketakutan.
“Apa aku harus… membawa anak ini ke Haula?”
ia berpikir sejenak.
“haha...tentu harus.”
“seperti nya Tetua lain akan mencibirku.”
Ia tersenyum kecut, seolah sudah bisa membayangkan celetukan mereka nanti. Tapi kakinya tetap melangkah.
“Haha ini akan jadi malam yang menarik”
kael yang tidak bisa berbuat apa apa hanya pasrah di bawa oleh orang yang mengaku sebagai tetua itu.
Hutan menyambut mereka dalam diam.
Tidak ada bisikan daun. Tidak ada gemerisik serangga. Bahkan kabut seolah memberi jalan menyingkir dari langkah tetua yang membawa Kael di pelukannya.
Tetua itu berjalan tanpa suara. Tak satu pun ranting patah. Tak satu pun daun gugur.
Di pelukannya, Kael diam.
Matanya menyapu sekeliling, terbuka lebar seperti langit itu sendiri.
Pohon-pohon raksasa menjulang seperti tiang-tiang kuil purba. Saking tingginya, Kael bisa melihat seluruh desanya
terhampar di bawah cahaya lentera, seperti kota kecil yang hanya hidup dalam mimpi.
Atap-atap rumah memantulkan cahaya tembaga.
Lentera menggantung di setiap sudut jalan.
Bayangan bergerak di antara lorong dan gang.
Pasar sudah lengang, tapi api kecil masih menyala di ujung timur.
Dan banyak tempat tempat yang ia tidak tahu namanya.
Ia melihat rumahnya dan ia tidak sadar jika ia telah menyeret tubuhnya terlalu jauh.
Kael tidak berkata apa-apa.
Tapi sesuatu di dalam dirinya bergetar.
Seolah ia mengenali tempat ini… tapi tidak sebagai rumah.
Tetua itu menghela napas panjang.
“Desa ini cantik di malam hari, ya?” gumamnya pelan.
“Aku suka malam seperti ini.”
“Tenang. Damai. Seolah dunia mencoba berpura-pura bahwa ia bukan ladang luka yang hanya berisi penderitaan.”
Kael masih memandangi langit. Tapi telinganya mendengar.
“Tapi kau tahu apa yang lebih jujur dari siang?”
“Bayangan.”
“Karena malam membuat semua orang mengaku siapa mereka… tanpa bisa sembunyi pada cahaya.”
Ia menatap Kael.
“Tempat ini, dari atas, terlihat seperti surga kecil, ya?”
“Tapi semakin indah sesuatu… semakin menyakitkan kehancurannya.”
Angin malam menyapu kabut di bawah mereka.
Dan untuk sesaat, bintang-bintang terasa lebih dekat.
Langkah tetua terus menembus hutan.
Pohon-pohon di sekeliling mereka mulai berubah. Kulitnya bukan lagi kayu, tapi seperti urat tua dari tanah yang hidup. Rantingnya melengkung seperti tangan yang menulis di udara, dan akar-akar melengkung seperti kaligrafi kuno.
Mereka telah tiba di haula tetua.
“Ayo,” bisiknya, bukan pada Kael, tapi pada dirinya sendiri. “Tanpa kata.”
Karena ia tahu:
Anak ini akan berbicara… tapi bukan dengan mulutnya.
Tempat itu tidak dibangun.tidak mewah.
Ia… terbentuk.
Bukan dari tangan, bukan dari rencana.
Tapi dari waktu. Dari pengabaian. Dari sesuatu yang terus hidup meski tak pernah dicintai.
[⧉]Strukturnya setengah tertanam di pohon, setengah lagi menyatu dengan batu di bawahnya.
Atapnya terbuat dari anyaman ranting yang tumbuh sendiri, membentuk lengkungan seperti punggung makhluk yang sedang tidur.
Dinding-dindingnya ditutupi lumut, bukan karena ditumbuhi… tapi seolah lumut itu memang bagian dari dinding sejak awal.[⧉]
Tidak ada pintu. Hanya celah.
[⧉]Di tengah cekungan lembut yang tersembunyi di balik lipatan hutan, berdiri tempat itu. Haula Para Tetua. Tanahnya tidak kering, tidak juga basah. Udara di sana tak membawa bau, tapi terasa lebih tua dari usia siapa pun yang pernah bernapas di dunia.[⧉]
[⧉]Terdapat kursi-kursi rendah dari akar yang melingkar, meja dari batang pohon mati yang tumbuh kembali, dan lentera tanpa api yang menyala oleh sesuatu yang tidak diketahui.[⧉]
Beberapa tetua duduk diam. Ada yang menyulam dengan tangan gemetar. Ada yang membersihkan cangkir teh dengan ujung jubah. Ada pula yang tertidur sambil berdengkur pelan, napasnya serupa hembusan angin senja.
Namun, ketika Tetua itu membawa Kael melangkah masuk,
ia berseru ringan:
“Halo semuany—”
Seseorang langsung berdiri dan memukul kepala temannya.
“APA KAU GILA!?” suara parau itu menggelegar seperti petir tua yang malas turun.
“KAU BAWA BAYI KE SINI? HAULA BUKAN TEMPAT PENITIPAN BOCAH SIALAN!!!”
Tetua yang membawa Kael hanya menunduk sedikit dan berkata pelan:
“Dia merangkak. Sendirian. Melewati batas desa. Hampir sampai ke luar kabut.”
Kata-katanya seperti pisau yang dijatuhkan ke atas lantai kaca.
Semua suara… berhenti.
Yang tertidur terbangun.
Yang menyulam berhenti.
Yang membersihkan cangkir… menjatuhkannya.
Dan dunia pun, untuk sejenak, mendengar sesuatu yang tidak diucapkan.
Keheningan pecah dengan cara yang aneh bukan oleh teriakan, tapi oleh gumaman hangat yang penuh sindiran.
“Hah......tidak usah bercanda, jangan-jangan kau kesepian dan ingin punya cucu ya?”
“Bawa anak ke Haula, astaga... ini tempat meditasi, bukan taman bermain!”
[⧉]Tetua-tetua itu, meski tubuh mereka renta dan waktu telah meluruhkan warna di rambut mereka, ternyata belum kehilangan lidah mereka. Setiap kata disambut gelak kecil, setiap gelak membawa aroma teh dan kenangan.[⧉]
Tetua yang membawa Kael hanya duduk perlahan, meletakkan tubuh mungil Kael di atas kain tua yang terbentang di lantai.
“Dia bukan bayi biasa,” ucapnya pelan, seperti tak ingin merusak keheningan yang baru saja terbit.
Salah satu tetua, gemuk dan berjubah kusam, menatap Kael dengan alis terangkat. Ia mendekat, lalu menatap wajah Kael.
“Hoh… dia menatapku seperti istriku saat aku pulang telat.”
Yang lain langsung menyambar:
“Itu berarti dia menatapmu dengan kekecewaan abadi.”
Tawa meletup.
Tapi Kael… tetap diam.
Ia hanya menatap satu demi satu wajah mereka, dengan mata yang terlalu dalam untuk anak sekecil itu. Seolah sedang mengukur… bukan siapa mereka, tapi berapa lama lagi mereka akan hidup.
Tetua perempuan di sudut ruangan mendekat.
“Tunggu… ini anak siapa?” gumamnya.
“Kenapa rasanya… tidak asing?”
Namun, sebelum yang lain sempat menjawab.
Kael bergerak. Sedikit.
Ia mencoba berdiri.
Suasana menjadi hening.
Para tetua menatap, bukan dengan rasa ingin tahu…
tapi seperti sedang menyaksikan tanda.
Kael berusaha berdiri.
Kakinya goyah. Tangannya gemetar.
Dan akhirnya—
ia jatuh.
Lututnya membentur lantai tidak keras.
Tapi cukup untuk mengisi ruangan itu dengan keheningan lain.
Salah satu tetua pria menyipitkan mata.
“Ia mencoba berdiri… sebelum waktunya.”
Kael duduk diam di tengah kain lusuh itu. Tubuhnya mungil, rambutnya sedikit acak, darah yang sudah mengering di lutut nya tampak seperti bekas tinta dari luka yang tak ditulis oleh manusia.
Namun, atmosfer ruangan berubah.
Bukan karena suara. Tapi karena keheningan.
Salah satu tetua yang paling tua, tetua yang mengharmonisasikan energi ketika penamaan kael yang hampir tak pernah ikut bercanda berdiri perlahan.
Ia mendekat… langkahnya seperti menyisir udara.
Dengan mata menyipit, ia menatap Kael dari atas ke bawah, lalu tanpa bicara, mengulurkan tangan dan mengusap rambut bocah itu.
Dan ketika tangannya menyentuh kepala Kael.
Cahaya samar muncul.
Sangat lembut, hampir tidak terlihat, seperti debu yang bersinar sesaat di ruang gelap.
Tetua itu terdiam.
“Ini anak Arsaka…” bisiknya.
Semua langsung menoleh.
“Kau yakin?”
Tetua itu terdiam.
Lalu mendecak pelan, setengah kesal.
“Tentu saja… ini ulah si bocah keras kepala itu.”
Ia menoleh ke tetua di sebelahnya.
“sebenarnya apa yang di lakukan bocah nakal itu.”
Tetua itu menghela nafas panjang.
“Aku juga tidak tahu tahu, tapi pola aliran tubuhnya,” tetua itu berkata lebih tegas. “Ini tubuh yang dibentuk bukan dari garis darah biasa. Dan… lihat matanya, ia sangat mirip arsaka.”
Mereka menatap.
[⧉]Dan benar mata Kael kini menyala. Bukan terang yang membutakan, tapi kilau dalam pupilnya… seperti kaca yang memantulkan api yang sangat jauh di balik dunia ini.[⧉]
Kael tidak bicara.
Ia hanya duduk… dan perlahan menoleh ke arah para tetua satu per satu. Pandangannya menyapu seperti seseorang yang sedang membaca. Tapi bukan membaca wajah melainkan kelemahan.
“Sudahlah,”
salah satu tetua tua mendengus sambil bangkit dari duduknya. Ia membawa tongkat kayu bengkok, tapi bukan untuk menopang lebih sering dipakai memukul teman-temannya yang keras kepala.
“Kita tak bisa menatapnya saja. Kalau kau bawa anak ke sini, minimal ajarkan cara berdiri. Jangan biarkan ia duduk seperti batu totem.”
Ia maju dan menepuk-nepuk lututnya.
“Ayo bocah. Berdiri. Berdiri seperti ini.”
Kael menatapnya kosong.
Tapi ketika si tetua mengangkat tubuh kecil itu, Kael tidak menolak. Kakinya menyentuh tanah. Dan gemetar.
Tubuhnya bergetar seolah gravitasi adalah beban yang tak seharusnya dimiliki. Lututnya berusaha menahan… tapi ia jatuh.
Tetua lain tertawa pelan, tapi bukan karena mengejek melainkan seperti menyambut sesuatu yang lama dinanti.
“Ia jatuh... tapi setidaknya mencoba.”
Ia menyilangkan tangan, menatap Kael dengan mata yang lembut namun tajam.
“Itulah cara orang hebat belajar berjalan bukan dengan tahu caranya, tapi dengan berani mencoba sebelum waktunya.”
Beberapa tetua mengangguk pelan.
Yang lain hanya terdiam… tapi senyumnya perlahan muncul.
Tetua yang terlihat galak malah memegang pinggang Kael dan mengangkatnya lagi.
“Ayo. Kau pasti bisa. Jalan sedikit. Satu langkah saja. Anggap ini medan perangmu.”
Kael tidak menjawab. tapi tubuhnya bergerak. Satu langkah. Goyah.
Kepalanya nyaris menghantam lantai lagi, tapi si tetua menahannya.
“Wahai langit, dia bahkan tidak menangis!”
“Cucuku dulu jatuh ke tanah, langsung menjerit seperti mau dikorbankan ke dewa tanah.”
Kael mencoba lagi.
Langkah kecil. Gemetar.
Tangannya naik, seperti hendak menyeimbangkan diri, tapi juga seperti sedang menyentuh udara… meniru sesuatu. Mungkin naluri. atau Mungkin ingatan samar.
“Kau keras kepala,” gumam tetua bersorban merah.
“Tapi keras kepala yang seperti ini… hanya milik orang yang kehilangan sesuatu dan ingin merebutnya kembali. Dan aku suka itu.”
Kael jatuh lagi.
Kakinya belum kuat. Tapi lebih dari itu… tubuhnya belum siap menampung dunia.
Salah satu tetua yang duduk bersandar pada tongkat bersumbu kristal menghela napas. Ia mengangkat satu tangan, dan aliran mana tipis mengalir dari telapak tangannya menuju tubuh Kael.
“Hei apakah itu tidak apa apa, memasukan manamu begitu saja”
“Tak apa… tubuh kecil ini belum membentuk penyaring,” gumamnya.
“Belum ada circle. Belum ada path yang menentukan energi apa yang dapat di gunakan, mau itu mana,aura,aether semua itu dapat di gunakan. yang penting jangan berikan energi chaos kepadanya.”
Tubuh Kael melayang perlahan. Ringan. Seimbang.
Udara di sekitarnya bergetar pelan seperti resonansi harpa yang disentuh lembut.
Ia kembali berdiri bukan dengan kakinya, tapi dengan bantuan pengaturan gravitasi dari tetua itu.
Langkahnya satu… dua…
Lalu tersandung lagi.
Tubuhnya hampir membentur lantai
Tapi sebelum itu terjadi, seorang tetua lain berjubah gelap dengan lambang kabut terbalik di bahunya mengangkat dua jari.
Sebuah gerakan kecil. Hampir tak terlihat.
Kael melayang perlahan ke atas… dan mendarat dengan sempurna.
Semua tetua terdiam.
Seseorang berdiri terlalu cepat. Kursinya bergeser ke belakang, mengeluarkan suara seret yang tajam.
“Jangan ceroboh! Kau itu path of Void! Dia masih bayi!”
Tetua berjubah kabut hanya menoleh ringan.
“Aku tahu.”
Suara itu datar. Seperti gua dalam yang tak butuh gema.
“Itu justru alasan kenapa aku ingin tahu… kenapa dia tidak kenapa-napa.”
Semua mata kini tertuju pada Kael.
Tapi ia hanya berdiri.
Tenang. Diam. Tidak mengeluarkan reaksi penolakan seperti anak kecil yang terkena sihir dari path of Void seharusnya.
Seorang tetua perempuan maju perlahan, mata sihirnya bersinar.
Ia menggerakkan telapak tangan ke arah dada Kael.
…dan terdiam.
“Tak ada path…”
“Tak ada circle.”
Suara mereka saling tumpang tindih bukan karena kebingungan, tapi karena kecemasan yang sama.
“Dia bahkan tidak memiliki inti jiwa…”
“…atau mungkin, lebih tepatnya…”
“…dia tidak membutuhkannya.”
Hening.
Angin malam berhembus pelan. Lampu kristal di sudut ruangan berkedip.
🥺
Dan pada saat itu, di balik tatapan para tetua yang perlahan berubah menjadi waspada Kael hanya berdiri, memandang tangan kecilnya sendiri.
Seolah ingin berkata:
“Apa ini…?”
Tapi tidak ada kata. Hanya mata.
Dan mata itu… terlalu kosong untuk kebingungan, tapi terlalu penuh untuk kepolosan.
Langit di luar ruangan bergoyang pelan.
Dan di dalam dada Kael… sesuatu yang dahulu hampa,
…kini menjadi wadah.
Ruangan itu terdiam lebih lama dari seharusnya.
Tetua yang pertama kali menyentuh Kael kini menatap tangannya sendiri.
“mana itu tidak kembali padaku… Dia menyerapnya. Tapi tubuhnya… tak menunjukkan gejala.”
“Seharusnya ia kejang. Atau… terbakar.jika ia menyerapnya.karna ia tidak memiliki penyaring.”
Tetua yang galak, biasanya cerewet dan keras, malah menjadi yang paling diam. Ia berdiri dengan tangan bersilang, bibirnya mengatup kaku.
Kael hanya berdiri.
Tangan mungilnya terangkat sedikit, lalu turun kembali, seperti mencoba meraba-raba dunia yang tak terlihat.
Seorang tetua lain mencoba menguji sesuatu. Ia memanggil aliran kecil dari unsur air menjadikannya bentuk lingkaran, lalu melemparnya ke arah Kael.
Namun sebelum air itu menyentuh kulitnya… ia menghilang.
Bukan menguap.
Bukan terpental.
Tapi… seolah diserap oleh realitas yang tak mau membiarkannya disentuh.
Salah satu tetua tua berbisik:
“Itu… bukan sihir biasa. Itu deformasi.”
“Tubuhnya mengubah bentuk energi apapun sebelum menerimanya.”
“Seperti… dunia disaring lewat dirinya.”
Tiba-tiba, salah satu tetua yang sangat tua, berbicara.
Suara napasnya berat, tapi tenang:
“Jangan coba berikan energi chaos padanya.”
“Jika tubuh itu benar menyerap semua bentuk energi… maka ia juga bisa menyerap yang tidak boleh ada.”
Semua langsung menegang.
Dan dalam hening itu, salah satu tetua bergumam, seolah terpesona sekaligus takut:
“Dia bisa menjadi wadah universal.”
“Atau… akhir dari batas sihir itu sendiri.”
Dan di tengah bisik-bisik itu, Kael menatap mereka.
Tidak memahami.
Tapi juga tidak menolak.
Di dalam dirinya, tidak ada kejutan. Hanya keheningan.
“Dulu aku adalah kehampaan. Sekarang… aku adalah ruang. Dunia masuk ke dalamku… dan tidak menolak.”
Di luar Haula, langit mulai berubah.
Bukan karena sihir.
Tapi karena sesuatu telah menyadari… bahwa ia telah menyentuh dunia kembali.
*****
Pagi belum penuh, tapi cahaya matahari sudah menyusup pelan melalui celah jendela.
Rumah itu masih sunyi… terlalu sunyi.
Selimut di atas kasur kecil tampak kosong, terlipat seperti tak pernah digunakan.
Lysia mengerang pelan.
Matanya membuka setengah, tertarik oleh cahaya remang di luar jendela.
Ia menoleh…
Kael tak ada.
Hening.
Tapi tubuhnya terlalu letih untuk curiga.
Ia hanya menghela napas… lalu memejamkan mata kembali.
Satu tarikan napas.
Dua.
Tiga
Ia merasa ada yang aneh.
Kemudian Tangannya bergerak cepat ke samping.
Ia merabanya kael namun.
Kosong.
Sekarang tubuhnya benar-benar terbangun.
Ia duduk.
Pandangannya menyapu kamar ke selimut yang terlipat rapi, ke lantai yang dingin, ke jendela yang sedikit terbuka.
“Kael…?”
Tak ada suara.
Ia beranjak cepat. Kain tidurnya terseret lantai. Langkahnya gemetar, meski tak satu pun alasan rasional muncul di benaknya.
Arsaka, yang duduk bersandar di dinding dengan mata terpejam, langsung membuka mata. Seketika.
Ia bangkit.
Tangannya menyentuh gagang pedang secara refleks.
“Apa yang terjadi?”
“Kael… dia tidak ada,” suara Lysia pecah.
Arsaka hanya diam sesaat.
Lalu menatap sekeliling ruangan dengan pandangan tajam yang seolah menembus dinding dan langit.
Langkahnya pelan, tapi berat.
Ia menghampiri jendela. Membuka tirai perlahan. Hanya angin pagi dan kabut tipis yang menjawab.
Tak ada jejak anak kecil.
Tak ada suara.
Lysia berjalan ke sisi lain ruangan. Mencari dengan panik di balik bantal, di bawah selimut, seolah Kael hanya menyelinap.
Namun tak ada.
Dan akhirnya…
…suara dari dalam dadanya keluar dalam bisikan yang nyaris tak terdengar:
“Kael… mana Kael…?”
Arsaka menunduk. Tangan kanannya perlahan menggenggam pedangnya.
“Jika terjadi apa apa…”
“…aku akan kembali dan menebar teror ke pada dunia.”
Sementara itu…
Di tempat yang jauh lebih tenang,
di bawah cahaya lentera yang menggantung dari akar gantung,
Seorang tetua berkacamata bundar sedang duduk bersila,
menyuapi Kael dengan bubur hangat yang mengepul pelan.
“Pelan-pelan, bocah kecil. bubur ini terlalu besar untuk ditelan sekaligus,” gumamnya, tersenyum.
Kael membuka mulutnya, saat sendok menyentuh bibirnya.
Di sekitarnya, para tetua memperhatikan dengan ekspresi campur aduk antara waspada, kagum namun penuh kehangatan.
Tanpa sadar dunia sedang terancam oleh bocah yang dulu mereka rawat juga.