[⧉] Fajar baru menyusup dari celah-celah kabut, meninggalkan siluet samar di antara pohon dan pagar tua desa. Angin membawa aroma tanah basah dan… darah yang nyaris tak tercium.[⧉]
Lysia menunduk. Matanya tajam menangkap gesekan samar di tanah, bercampur titik merah yang hampir mengering.
“Ini bukan jejak binatang…”
“Ini... darah Kael,” bisiknya.
“Aku mengenal nya.”
Arsaka berdiri di sampingnya. Pandangannya mengikuti arah jejak itu, menjauh dari desa, mengarah ke luar desa.
Ia menarik napas pelan, lalu memegang lengan Lysia.
“Jangan.”
Lysia menoleh tajam.
“Dia di luar sana.”
“Aku tahu tapi jika kita gegabah, kita yang akan kena getahnya.”
Kata-kata itu seperti gumpalan batu. Jelas, tapi menyesakkan.
Lysia menunduk. Bibirnya menggigil. Bukan karena dingin, tapi karena ia tahu hal itu.
“tunggu aku terpikirkan sesuatu.”
Arsaka melangkah cepat masuk ke rumah. Nafasnya memburu, tapi bukan karena lelah. Tangannya terulur ke lemari tua di sudut ruangan.retakan kayu dan lapisan debu menyambutnya, seolah barang itu tak disentuh bertahun-tahun.
Ia mengangkat tangannya. Cahaya dari jarinya membentuk garis-garis rune di udara, membentuk segel sihir.
“Masih ada… masih ada…” gumamnya, setengah doa, setengah ancaman.
Klik.
Kunci sihir terbuka.
Di dalamnya… sebuah kotak kecil. Terbungkus kain kusam yang dulunya putih. Arsaka membuka pelan, dan di sana tergeletak sebuah lonceng kecil.
Madbell.
Lonceng itu penuh ukiran wajah-wajah memalukan mulut menganga, pipi merah, tangan menutup wajah. Beberapa sudah berkarat, tapi masih menyimpan aura yang… tak masuk akal.
Arsaka menggenggamnya, seolah memegang aib masa lalu.
Lysia ikut masuk ke ruangan, menatapnya dengan ekspresi tak percaya.
“Arsaka… sekarang bukan waktunya bermain alat musik aneh itu.”
Arsaka tidak menoleh.
“Ini bukan mainan.”
kemudian ia menatap Madbell itu seperti menatap sesuatu yang hidup. Jemarinya gemetar sedikit, tapi bukan karena takut
melainkan karena… malu yang akan datang.
Lysia mendekat.
“Jelaskan. Apa yang kau pegang itu?”
“Ini satu-satunya alat komunikasi jarak jauh yang bisa menembus melewati batas desa dan formasi tabir desa tanpa diketahui tetua.”
Lysia mengangkat alis.
“Dengan lonceng? Yang penuh wajah orang tersipu malu?”
Arsaka tetap serius. Bahkan terlalu serius.
“Alat ini hanya bisa diaktifkan jika pengguna… mengguncang jiwanya sendiri.”
“Mengucapkan sesuatu yang memalukan, cukup untuk membuat inti jiwanya mendistorsi jalur energi.”
Lysia ingin tertawa, ingin sekali. Tapi situasinya terlalu menegangkan.
“Jadi… kau harus mengucapkan aib… lalu lonceng itu… menangkap frekuensinya?”
Arsaka mengangguk.
“Gema itu akan ditarik ke kembarannya… dan terdengar sebagai panggilan.”
Ia mengangkat lonceng.
Matanya menatap Lysia.
“Aku akan mengucapkannya sekarang.”
Lysia mengangkat tangan buru-buru.
“Tunggu! Tunggu… aku belum siap mental.”
“gak usah lebay, aku hanya mengatakan hal memalukan itu saja.”
Lysia menarik nafas dan menguatkan mentalnya
“baiklah lakukan itu.”
[⧉] Udara terasa menggantung. Lonceng itu nyaris tak bersuara, tapi seolah sedang menahan tawa.[⧉]
Arsaka berdiri tegak menghadap ke tabir yang jauh di luar batas desa,
Kemudian ia menggapai pedang nya dan menebas udara hingga mengeluarkan aura yang membelah tabir.
namun.....
hanya sedikit celah yang terbuka.
Lalu ia menatap ke kejauhan dengan keseriusan seorang prajurit...
yang akan mengucapkan rahasia paling memalukan dalam hidupnya.
Ia menarik napas dalam, sangat dalam.
Pedangnya masih tergenggam erat, seperti untuk menjaga harga dirinya tetap utuh.
“Aku pernah menangis… tiga hari… hanya karena anak kucing mencakarku.”
“Dan… aku pura-pura kena racun naga… supaya tak malu di depan murid-muridku.”
Lysia menutup mulutnya dengan tangan.berharap tidak ada suara ketawa yang keluar.
Madbell bergetar. Pelan. Tapi nadanya bukan seperti bunyi logam… melainkan seperti desahan jijik dan simpati bercampur jadi satu.
Aura di sekeliling Arsaka beriak. Distorsi kecil terjadi di jalur energinya. gema yang di hasilkan lonceng membuat jalur ke tempat tujuannya.
“aku butuh kau membuka sisi timur tabir. Diam-diam. Ini darurat.”
Suara Arsaka meluncur ke dalam gema, yang diserap oleh madbell.
kemudian Celah itu… tertutup kembali.
Namun, Arsaka merasa dentingan samar. Bukan suara luar. Tapi… getaran dari inti jiwanya.
Udara di tempat itu terasa menegang, bukan karena sihir… tapi karena rasa malu yang menggantung seperti kabut pagi yang enggan menghilang.
Lysia memejamkan mata, menunduk, dan berkata dengan suara pelan tapi tajam:
“Arsaka… ini bukan waktunya bercanda.”
Ia mengatakan itu sambil menahan tawa.
Arsaka mengalihkan pandangan, menggaruk tengkuknya pelan.
Suaranya nyaris tenggelam oleh gemerisik angin.
“Y-ya… hanya ini satu-satunya cara menembus tabir. Dan… mengirim pesan keluar tanpa ketahuan para tetua…”
Pipinya sedikit memerah.
Ia mencoba terdengar tegas tapi kalimatnya mengambang,
seperti seseorang yang baru saja mengakui sesuatu yang tak ingin diingat siapa pun… termasuk dirinya sendiri.
[⧉] “Formasi tabir desa dipenuhi berlapis lapis tabir pendeteksi energi. Tapi gema… suara yang cukup memalukan… mampu menciptakan distorsi internal pada inti jiwa yang sekaligus mempengaruhi kestabilan path. sehingga dapat membuat gema yang menggantikan energi untuk mengirim pesan.Dan saat tabir itu sedikit di robek olehku sebelumnya dengan aura, madbell dapat melemparkan ‘gema’ itu… ke lonceng pasangannya.”[⧉]
“Jadi tenang saja meskipun ketidak stabilan energi yang di ubah menjadi gema akan menarik perhatian tetua namun mereka tidak akan mengambil pusing hal remeh dan ketinggalan zaman seperti ini.”
[⧉] Ia menunduk, hendak menjelaskan lebih jauh tentang resonansi energi, konsep shame-frequency, dan bagaimana rasa malu ternyata mengandung sihir tingkat tinggi dalam pengiriman pesan tapi sebelum ia sempat membuka mulut lagi…[⧉]
Lysia menutup mulutnya dengan telapak tangan.
Wajahnya menegang, tapi matanya mengalah.
“Baiklah… aku ikut.”
Keheningan.
Arsaka terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. Bukan senyum lega, tapi seperti seseorang yang tahu bahwa ia baru saja melanggar semua etika ilmu pedang dan sihir sekaligus.
“Terima kasih.”ucap arsaka
Dan Madbell masih bergetar pelan…
********
[⧉] Angin pagi menyusup masuk melalui sela pohon-pohon tinggi yang melingkari tempat itu. Cahaya mentari belum sepenuhnya turun, tapi langit telah terbuka seperti panggung kosong yang menanti cerita baru.[⧉]
Kael duduk di atas permukaan akar yang mencuat dari tanah. Ia membuka Matanya, yang masih belum benar-benar terbangun.
Tidak ada rasa kagum.
Tidak ada rasa takut.
Hanya… diam yang jernih.
Namun ia segera berdiri dan belajar berjalan kembali.
Seorang tetua mendekat dari belakang. Ia tidak bicara. Hanya menurunkan tubuhnya, lalu menyentuhkan jari telunjuk ke lantai kayu di bawah kaki Kael. Gelombang Aether lembut dan hangat naik, mendorong dan menyeimbangkan tubuh kecil itu untuk berdiri.
Kael bangkit. Perlahan.
Langkahnya kaku, kakinya gemetar. Tapi ia tidak jatuh.
Para Tetua memperhatikan dari kejauhan.
Kael mengambil satu langkah.
Dua langkah.
Tiga langkah.
Dan seterusnya ia dapat berjalan walaupun dengan bantuan tetua.
Namun tetua yang membantu nya bertepuk tangan.
“Aku tidak menyalurkan apa pun,” bisik tetua yang membantunya tadi. “Tidak dorongan. Tidak Soulshaper. tidak membantu apapun.aku hanya pura-pura melakukannya.”
Tetua-tertua saling memandang. Tidak ada yang bicara, tapi dalam keheningan itu… ada sesuatu yang terucap. Seperti kesepakatan tanpa suara.
Salah satu dari mereka berbisik, suaranya mengalun pelan:
“Ia berdiri… bukan karena bantuan. Tapi karena keinginan.”
Langkah selanjutnya datang. Lalu langkah selanjutnya lagi.
meskipun langkah kaki Kael masih lemah, tapi gerakannya seperti gema masa depan.
Dan seseorang berkata:
“Ia tidak sedang belajar berjalan. Ia sedang… menyusun jalannya sendiri.”
pintu besar yang menjulang tinggi di ruangan itu terbuka.
[⧉]Aroma teh hangat memenuhi ruangan ketika seorang tetua tertua bahunya membungkuk dan janggutnya menjuntai menyentuh dada mengetuk tongkatnya ke lantai tiga kali.[⧉]
“Waktunya kita berkumpul.”
Tak ada perintah. Hanya pernyataan. Tapi semua tahu artinya.
Satu per satu, para tetua berjalan masuk ke ruang paling dalam di Haula. Dindingnya dari akar tua, langit-langitnya rendah, dan lantainya lembut oleh rerumputan yang tumbuh alami. Tempat itu tidak dibangun. Ia tumbuh… bersama mereka.
Mereka duduk melingkar. Tak ada yang memimpin. Tapi semua mendengarkan.
Tetua yang membawa Kael ke Haula membuka pembicaraan.
“Tadi malam… formasi pelindung terdistorsi sesaat.”
Yang lain mengangguk pelan.
“Ada gema. Tapi bukan dari sihir liar.”
“Bukan serangan?”
“Bukan. Tapi… bukan juga sihir yang kita kenal.”
“Seakan… bukan energi yang menyentuh dunia. Tapi dunia yang menyentuh energi.”
Lalu muncul kata yang membuat udara jadi berat:
“Kael.”
Beberapa menoleh. Beberapa tetap diam.
“Mungkin dia ada hubungannya.”
“Kita tidak tahu apa dia. Tapi dia seperti melululantahkan sistem Prismarc, lalu… mengubahnya menjadi sistemnya sendiri.”
Tetua tertua hanya menatap teh dalam cangkirnya. Uapnya naik pelan, seperti pertanda masa depan yang belum mau turun.
“Kita butuh waktu… untuk berpikir.”
Sementara itu…
Kael ditinggal sendiri. Hanya ditemani hewan summon, seekor singa beratribut api kecil yang mendengkur lembut di dekatnya.
Tapi mata Kael tidak menatap singa itu.
Ia menatap ke hutan di sekitar haula.
Dan langkah kecilnya mulai bergerak… dituntun bukan oleh rasa ingin tahu.
Tapi oleh naluri yang bahkan ia sendiri tidak pahami.
meskipun Hutan di balik Haula tidak berbahaya. Tapi juga bukan tempat anak-anak.
Langkah kecil Kael menyusuri tanah lembab, menyentuh dedaunan yang bergoyang perlahan.
Di antara akar besar dan semak yang jarang disentuh manusia, ia menemukan… sesuatu.
Seekor anak rubah. Tergeletak. Tubuhnya kurus, matanya setengah terbuka, dan napasnya seperti dicuri sedikit demi sedikit oleh udara.
Tulang rusuknya terlihat dari sela bulu.
Lehernya… ada bekas luka terbuka. Dalam. Berdarah.
Kael hanya mengamati.
Ia tidak menangis. Tidak bersimpati.
Ia hanya… mengingat.
“Wajah itu…”
“Matanya… seperti mata manusia yang pernah kucabut nyawanya.”
Ia duduk pelan. Dekat sekali.
Anak rubah itu menggeliat lemah. Tak bisa bersuara, hanya napas yang menjerit.
Kael memiringkan kepalanya.
“Itu air?” gumamnya dalam hati. “Mengapa dari mata keluar air…”
“Aku… pernah melihatnya. Saat orang-orang menjerit, sebelum mati.”
“Itu namanya… sakit?”
Ia pernah merasakan rasa itu ketika mencabut nyawanya sendiri.
“Bukannya rasa sakit itu mengganggu.”
“aku tidak tahu cara menghilangkan rasa sakit itu.”
“Atau......
Seperti nya aku tahu.
Setiap makhluk yang ku cabut nyawanya segera diam dan tenang seperti melupakan rasa sakit itu.”
Lalu ia mengangkat tangan kecilnya hingga
Tangannya menyentuh leher rubah kecil itu.
Perlahan. Tanpa kekerasan. Tapi juga tanpa ragu.
Ia mencekik.
Rubah itu menggeliat.
Meronta-ronta.
namun cekikan kael hanya menjadi semakin kuat.
tubuh itu semakin menegang.
Hingga akhirnya tubuh itu.......
terdiam, lemas, dan tidak bernyawa.
“Kau tidak akan merasakan sakit lagi.”
Itulah satu-satunya kata dalam benaknya.
Dan Kael pergi meninggalkan nya.
Langkah kakinya kembali ke Haula.
Beberapa saat kemudian, para tetua kembali dari ruang pertemuan.
Salah satu dari mereka menghentikan langkah.
“Bau darah…”
Yang lain mengangkat kepala.
Burung-burung tak berkicau. Hewan summon mereka singa api kecil bersembunyi di sudut, dengan kaki yang gemetar.
“Apa yang terjadi di sini?”
Mereka mencari, tapi hanya menemukan jejak samar.
Dan mereka menemukan bangkai rubah itu, yang sudah membeku.
“Ada yang membunuhnya. Tapi… tak ada bekas sihir.”
“Tak ada luka baru.”
“Ia hanya… mati.”
Mereka saling memandang. Tapi tak ada yang menyebut nama Kael.
Belum.
Tapi hati mereka… terguncang.
“Apakah kita meninggalkan sesuatu… yang seharusnya tidak kita tinggalkan.”
********
[⧉] Di sebuah sudut rumah, di dalam kota yang subur dan makmur, sebuah benda kecil tergantung.[⧉]
Madbell.
Lonceng tua, dengan ukiran wajah malu dan gema yang tak bisa dipahami manusia biasa.
Ia tergantung diam… lalu—
Gemerincing.
Bukan karena angin. Bukan karena disentuh.
Tapi karena sesuatu dari jauh.
sesuatu dari suara yang diucapkan dengan malu, dengan getir.
Dari jiwa yang sedikit retak karena pengakuan yang terlalu jujur.
Gema itu tak hanya suara. Ia adalah frekuensi jiwa. Distorsi niat. dan Gelombang malu yang dikonversi menjadi pesan.
Lonceng itu bergerak pelan.
Dentingnya tak nyaring. Tapi terasa menusuk di dalam dada.
Dan…
Jauh dari kota, di sebuah dataran tinggi, tersembunyi di antara tebing dan angin dingin, seorang pria tua sedang membersihkan kapaknya.
Tangannya terhenti.
Ia menoleh.
Ia sadar di jendela kamarnya yang berada di kota, bel kembar identik dengan yang digantung di rumah Arsaka ikut bergetar.
Ia tidak tersenyum.
Ia hanya bergumam:
“Astaga… dia benar-benar menggunakannya lagi.”
Matanya menyipit. Tangannya gemetar.
Ia tahu, bila Madbell berbunyi… maka sesuatu telah terjadi.
Bukan sekadar permintaan.
Tapi… panggilan.
Dan itu berarti:
“Desa itu… sedang tidak tenang.”