Pintu batu menutup di belakangku, dan seperti sebelumnya, dunia kembali berubah.
Kali ini, tidak ada lorong panjang, tidak ada cahaya samar.
Hanya satu ruang kosong…
...dan satu cermin berdiri di tengahnya.
Aku melangkah perlahan, pantulan diriku semakin jelas. Aku mengenali wajah itu. Tatapan serius. Postur siap tempur. Tidak ada senyum.
Aku berhenti satu langkah di depannya. Cermin itu tinggi, seperti jendela yang membelah dunia.
Dan kemudian, pantulanku bergerak lebih dulu.
Aku belum bergerak. Tapi “aku” di dalam sana sudah mengangkat wajahnya... dan tersenyum.
“Kau terlihat lelah, Ars.”
Suaranya sama persis denganku, tapi lebih ringan dan lebih santai.
Cermin itu pecah perlahan dari tengah, dan sosok yang menyerupai diriku melangkah keluar dari retakan cahaya. Bukan ilusi. Bukan bayangan. Tapi aku... yang lain. Dia mengenakan jubah sama, pedang yang sama, tapi dia memiliki atmosfir yang berbeda denganku.
Dia mengangkat bahu. “Kau sampai sejauh ini. Hebat. Semua ujian selesai. Sekarang tinggal kau dan aku.”
Aku menggenggam gagang pedangku di punggung. “Apa kau akan diam atau bicara sepanjang ujian?”
Doppelgänger-ku tersenyum tipis. “Lucu. Kau yang jarang bicara justru takut kalau suara yang keluar bukan dari dirimu yang ingin kau tunjukkan.”
Dia melangkah, pelan. “Seorang anak dari garis darah Ravenfield, pewaris yang sudah ditunggu untuk menggantikan ibumu. Ibumu memang orang yang luar biasa. Tapi dia meninggalkanmu terlalu cepat. Sedangkan ayahmu? Oh, dia tidak pernah benar-benar memelukmu sejak hari itu.”
Aku diam. Tidak menanggapi.
“Kau tahu kenapa dia begitu dingin padamu, kan? Karena kau mengingatkannya pada seseorang yang telah tiada. Dan kau bukan dia. Kau idak lebih dari bayangan palsu dari seseorang.”
Tanganku sedikit mengencang. Tapi aku masih tidak berbicara.
Dia mulai mengitari aku. Suaranya kini lebih pelan, lebih menusuk.
“Kau ingin berteman. Tapi aturan keluarga melarangmu untuk berbaur terlalu banyak. Mereka bilang itu demi keamanan. Namun mereka tidak peduli terhadap perasaanmu dan membiarkanmu tetap sendirian.”
Aku menarik napas pelan, menahan beban di dadaku.
“Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?”
“Oh? Akhirnya bicara?” Dia tersenyum lebar.
“Karena aku tahu semuanya. Dan aku tidak menyangkalnya.”
Aku menatap langsung ke matanya.
“Ayahku memang tidak pernah memelukku. Aku memang tidak punya teman. Aku menyimpan semua pencapaianku dalam diam. Tapi aku tidak membenci siapa pun. Karena aku tahu siapa diriku.”
Doppelgänger-ku berhenti.
“Aku bukan ibu. Dan aku bukan penerus yang mereka impikan. Tapi aku tidak hidup untuk menjadi bayangan siapa pun lagi. Aku hidup karena aku ingin jadi seseorang yang tidak membiarkan yang lain merasakan apa yang aku rasakan.”
Aku mengangkat pedangku perlahan.
“Jadi kalau kau adalah sisi diriku yang ingin lari, enyahlah dari sini. Namun jika kau adalah sisi diriku yang menyimpan dendam aku akan menghadapimu sekarang.”
Sosok itu berhenti tersenyum.
“Baiklah. Kita bertarung, Ars.”
~~~
Kami bergerak hampir bersamaan.
Pedang bertemu pedang, suara logam menggema tajam di ruang kosong.
Dia bergerak seperti aku. Cepat, tajam, efisien. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Setiap ayunannya menyimpan kemarahan. Setiap tusukan penuh ledakan emosi yang kutahan selama bertahun-tahun.
Aku menangkis, menghindar, melangkah ke samping. Tapi aku tidak hanya melawan tubuhku. Aku melawan diriku sendiri yang terluka.
“Mengapa kau bertahan, Ars?”
“Kau bisa berhenti. Tidak ada yang akan menyalahkanmu jika kau menyerah. Mereka bahkan tidak peduli kau di sini.”
“Siapa yang akan mengingatmu kalau kau gagal?”
Aku menggertakkan gigi. Langkahku mengeras. Pedangku beradu dengan kekuatannya. Tapi aku tidak boleh melawannya dengan amarah.
Aku harus tetap tenang melawannya.
~~~
Serangannya menukik tajam, membidik bahuku. Aku tak menghindar. Aku tangkap lengannya, dan menahan pedangnya di antara lengan dan rusukku.
Aku tatap matanya.
"Aku tahu rasa sakitmu. Aku tahu rasa sepinya. Aku hidup bersamamu setiap hari. Tapi aku tidak membencimu. Karena tanpa rasa itu... aku tidak akan pernah berdiri di sini.”
Doppelgänger-ku menggigil. Matanya melebar. Tangannya gemetar. Dan pedangnya perlahan terjatuh.
Cahayanya mulai retak. Tubuhnya memudar menjadi partikel samar, seperti abu yang tertiup cahaya.
Suaranya terdengar terakhir kali, bukan dengan kemarahan, tapi kelegaan.
~~~
Aku berdiri sendiri lagi. Sunyi.
Tapi kali ini, ruangnya terasa... lebih ringan.
Di tempat Doppelgänger-ku berdiri tadi, muncul sebuah jejak langkah menyala yang mengarah ke dinding belakang. Dinding itu pecah, terbuka perlahan, memperlihatkan langit malam berbintang.
Tidak ada pintu. Hanya jalan terbuka.
Aku menyarungkan pedangku, dan untuk pertama kalinya... aku merasa utuh.
Langkahku ringan.
Dan aku melangkah keluar dari ruang ujian terakhir — bukan sebagai bayangan, tapi sebagai aku yang sepenuhnya sadar siapa diriku.