Diatas tempat yang empuk dan dipenuhi oleh boneka-boneka lucu.
Terlihat seorang anak perempuan sedang tertidur pulas dalam mimpi indahnya.
Babydoll tipis berenda yang ia kenakan tampak begitu nyaman membalut tubuh mungilnya.
Napasnya teratur, pipinya sedikit merona, dan selimutnya setengah tersingkap, memperlihatkan babydoll yang ia kenakan tampak samar di bawah cahaya pagi.
Dunia terasa begitu damai di kamar kecil itu.
Di sisi kiri dan kanan tubuhnya, beberapa boneka tertata rapi:
beruang, kelinci, dan satu boneka lusuh favoritnya seolah-olah menjadi para penjaga mimpi si putri.
Semuanya terasa begitu tenang… hingga—
tuk, tuk, tuk
Sebuah suara halus terdengar.
Namun, itu bukan ketukan pintu… melainkan dentingan lembut pada kaca.
Gadis itu menggeliat pelan, seakan tubuh mungilnya sedang meraih sisa-sisa mimpi yang perlahan menghilang.
Kelopak matanya bergetar, perlahan terbuka, memperlihatkan tatapan kosong yang belum sepenuhnya sadar.
Napasnya masih lambat.
Tapi dia sadar bahwa hari telah menunjukkan sinarnya.
"Hoaaam..."
gumamnya pelan, sambil duduk perlahan dan mengucek matanya dengan jemari mungil miliknya.
tuk... tuk... tuk...
Gadis itu kemudian menoleh ke arah jendela.
Rembesan Arunika menyusup masuk melalui celah jendela, menandakan matahari yang cerah telah tiba.
Kicauan burung, rembesan cahaya dan embun pagi saling menghangatkan satu sama lain.
Dari balik kaca yang buram oleh embun pagi, terlihat seekor burung kecil menatap dari luar jendela.
Paruhnya mematuk kaca—lagi dan lagi.
tuk— tuk— tuk—
Seolah ia datang membawa pesan dari alam.
Gadis itu merapikan sedikit rambutnya yang kusut, jari-jarinya bergerak pelan membenahi helai putih keperakan yang jatuh di wajahnya.
Kemudian ia mematikan lampu tidur yang masih menyala, sebelum beranjak dari tempat tidurnya.
Dengan langkah ringan, ia turun dari ranjang, setengah mengantuk.
Ia berjalan pelan ke arah jendela, kemudian membukanya perlahan dengan tangan kecilnya.
Di baliknya, seekor burung kecil bertengger tenang, seolah telah menunggu kehadirannya.
Gadis itu tersenyum, matanya sedikit menyipit karena cahaya pagi, lalu berkata dengan riang,
"Selamat pagi, Tuan Burung."
Ucapnya dengan lembut.
Burung itu memiringkan kepalanya sedikit ke kanan, seolah sedang mempertimbangkan sapaan sang gadis.
Lalu, dengan gerakan kecil yang lembut, ia mengepakkan sayapnya sekali, tidak untuk terbang, tapi seperti membalas salamnya.
Gadis itu tertawa kecil.
"Jadi kau mengerti, ya?"
Katanya sambil menyentuh bingkai jendela yang dingin.
Burung itu melompat mendekat.
Menatap mata si gadis dalam diam.
Bukan takut, bukan juga gelisah.
Hanya... tenang.
Seolah mereka sudah saling mengenal sejak lama.
Angin pagi berhembus pelan.
Menerbangkan rambut putih keperakan miliknya ke belakang.
Burung itu mengepakkan sayapnya sekali lagi, lalu berkicau pendek—suara yang jernih dan nyaring, seperti ucapan “pagi juga”
—Chirp, chirp
Gadis itu tersenyum lebih lebar,
"Senang bertemu lagi denganmu."
ujarnya pelan, seakan menjawab pesan yang hanya mereka berdua pahami.
Setelah menyapa sang burung kecil,
gadis itu melangkah pelan ke arah meja rias berlaci yang berdiri manis di sudut kamar.
Di atas meja, berdiri sebuah kaca rias berbingkai—cukup besar untuk ukuran tubuh mungilnya.
Tepat di meja terletak sebuah buku diary, dan di atasnya, tampak gambar coretan tangan anak kecil:
Sang gadis kecil berada di tengah.
Ibu dan ayah berdiri di belakang.
Sementara kakak dan adiknya tersenyum di sisi kanan dan kirinya.
—sebuah potret keluarga yang harmonis, meski terlihat sederhana dalam bentuk.
Meja itu memiliki beberapa laci kecil,
tempat ia menyimpan harta-harta kecilnya dengan rapi.
Di dalamnya tersusun perlengkapan pribadi:
sisir mungil berukir, kaca tangan kecil, ikat rambut warna-warni,
dan berbagai aksesoris kesayangannya—kalung berbandul bunga,
anting-anting mungil berbentuk hati,
serta pita cadangan yang ia rawat sebaik mungkin.
Segalanya tampak rapi.
Segalanya tampak damai.
Seperti pagi itu memang miliknya—penuh cahaya dan tanpa gangguan.
Gadis itu kemudian membuka salah satu laci kecil dengan hati-hati.
Tangannya yang mungil mengambil sebuah pita merah—pita favoritnya, yang selalu ia kenakan.
Ia menatap pita itu sejenak, lalu tersenyum kecil.
Seolah mengingat sesuatu yang hanya ia tahu.
Dengan gerakan pelan, ia mengangkat tangannya dan mulai menyematkan pita itu di sisi kanan rambutnya.
Rambut putih keperakan miliknya tergerai halus, berkilau samar di bawah cahaya pagi yang menembus jendela kaca.
Sebelum merias dirinya, ia menunduk sedikit dan menatap bayangannya di cermin besar.
Mata merah miliknya menatap balik dengan tenang.
Rambut peraknya jatuh melewati pundak kecilnya, dan pita merah di sisi kanan terlihat kontras—tapi manis.
Dia mengedipkan sebelah mata,
lalu tersenyum sendiri.
“Cantik,”
Bisiknya pelan, penuh kepuasan polos yang hanya bisa dirasakan oleh anak kecil yang baru belajar mencintai penampilannya sendiri.
Lalu ia mulai merias wajah mungilnya dengan perlengkapan yang ada.
Ia menyisir rambutnya perlahan, memperbaiki poni yang agak miring, dan menempelkan sedikit bedak bayi yang harum ke pipinya.
Kalung kecil berbandul bunga ia kenakan di leher mungilnya, dan sepasang anting-anting klip yang tidak menusuk telinga pun ia pasang dengan cermat.
Tak ada yang terlalu mencolok—semua tampak lembut dan manis.
Sangat menggambarkan seorang gadis kecil yang hanya ingin tampil cantik.
Setelah selesai merapikan diri, gadis itu menarik kursi kecil di depan meja rias, lalu mengambil buku diary-nya yang tergeletak manis di depan cermin.
Sampulnya berwarna hijau tua dengan gambar keluarga, serta bunga-bunga kecil, dan ada kata "आशा स्वप्न च" yang memiliki arti "Harapan dan Mimpi" tertulis dengan pensil berwarna merah muda di pojok kanan bawah—
tulisan tangan sendiri, agak miring, tapi dia bangga.
Ia membuka halaman baru, dan ujung bibirnya terangkat pelan.
Tangannya yang mungil menggenggam pensil dengan gaya sok serius,
lalu mulai menulis dengan huruf-huruf besar kecil yang belum rapi, tapi penuh semangat.
———
>Die-3 in Mus XIX☐☐
Hari ini, langit begitu cerah seperti biasanya~
Aku mimpi tentang ksatria berkuda putih lagi.
Dia pakai jubah panjang dan pedangnya berkilau...
Dia bilang aku adalah putri dari cahaya.
(Hehe, lucu kan?)
Dia gendong aku ke atas kudanya dan bilang,
"Jangan takut, aku akan melindungimu."
Terus... dia tersenyum.
Aku nggak tahu siapa dia. Tapi setiap kali aku mimpi itu, dada ku sedikit hangat.
Mungkin suatu hari nanti aku bakal ketemu dia di dunia nyata?
———
Setelah menuliskan kalimat terakhir, gadis itu meniup ujung pensilnya—kebiasaan kecil yang entah ia tiru dari siapa.
Ia tersenyum puas, lalu menutup buku diary-nya dengan hati-hati, seolah takut melukai mimpinya sendiri.
Ia menaruh buku itu di atas meja, tepat di samping kaca rias, lalu turun dari kursi kecilnya.
Langkah-langkah kecil membawanya kembali ke tempat tidur.
Dengan gerakan yang rapi dan penuh perhatian, ia mulai merapikan selimut, menyusun boneka-bonekanya kembali ke tempat semula.
Beruang cokelat di kiri, kelinci di kanan, dan si boneka lusuh di pelukannya sebentar sebelum ia rebahkan di tengah bantal.
“Sudah siap,” gumamnya pelan.
Hari baru pun dimulai.
Dan meski dunia di luar mungkin berbeda dari mimpi yang ia tuliskan, gadis kecil itu masih percaya... bahwa suatu saat, semuanya akan jadi nyata.