Pria Patah Hati di Bawah Pohon Tua

Langit sakit menggantung kelabu. Mendung bergelayut malas, seolah ikut memikul beban yang menindih langkah seorang pria paruh baya. Sepatu orang tua nyaris tenggelam di tanah becek, menapak perlahan menuju sebuah pohon besar di tepi danau yang telah terlupakan waktu.

Jaya Permana. Usia 40 tahun. Bayangan dari dirinya yang dulu.

Punggungnya membungkuk, bukan karena usia, tapi karena hidup yang berkali-kali menjatuhkannya. Jaket lusuh yang membungkus tubuhnya penuh tambalan dan noda yang tak lagi bisa dihapus. Memandangnya yang kosong, menembus ilalang, air danau yang tenang, hingga ke ruang yang tak bisa disentuh siapa pun—masa lalu.

Ia duduk bersandar di bawah pohon tua. akar-akar pohon itu mencuat seperti tangan-tangan tua yang ingin menggenggamnya. Napasnya berat. Setiap helaan terasa seperti menelan duri.

“Harus sampai kapan aku gini terus…” bisiknya nyaris tak terdengar.

Hidupnya tidak hancur karena badai besar. Tapi karena hujan kecil yang terus mengguyur, tanpa jeda. Baru minggu lalu, lamaran kerjanya ditolak untuk ketujuh kalinya bulan ini. Alasannya selalu sama:

"Maaf pak, kami mencari yang lebih muda… lebih produktif..."

Tiga bulan terakhir, ia bertahan hidup dalam kontrak yang sempit. Dibiayai sisa uang freelance yang kini tinggal remah-remah. Tidur beralaskan kasur tipis, ditemani kipas angin berisik. Hari-harinya berputar seperti kaset rusak: bangun, kirim lamaran, ditolak, makan mi instan, tatap plafon, berharap besok tak datang.

Dan sekarang, di bawah pohon tua itu, rasanya dunia sedang menutup pintu terakhir yang masih terbuka.

Ingatan masa lalu pun datang, seperti luka lama yang kembali ngilu.

Wajah nenek ibu melintas. Wajah kurus yang pucat. Ia masih ingat—saat itu ia duduk di bangku kelas dua SMP. Di ruang rumah sakit pengap, sang ibu mengembuskan napas terakhir. Sejak itu, satu-satunya pelindungnya pergi… meninggalkannya di tangan seorang ayah yang dingin dan penuh amarah.

Lalu Rini… cinta pertama. Mereka pernah bermimpi punya rumah mungil, buka warung kecil. Tapi semua itu hancur saat Rini menikah dengan pria mapan berumur 35 tahun.Sementara Jaya?Masih kuliah. Masih kerja serabutan. Masih berjuang sendiri.

Dua kakak perempuannya, Sinta dan Meta, tak pernah berhenti mencibir.

"kamu tuh ya..., sebagai anak laki laki tertua, cuma jadi beban! najis!." Begitu kata Meta saat mereka bertengkar soal warisan kecil peninggalan ibu. Warisan yang akhirnya mereka ambil semua—tanpa sisa.

Amelia, adik perempuan satu-satunya, labil. Saat susah, dia datang pada Jaya. Tapi ketika hidupnya membaik, dia berubah dingin. Bahkan sering menghasut ayah mereka untuk menyalahkan Jaya atas segala hal.Meski begitu… Jaya tetap menyayanginya. Tetap membuka pintu, meski hatinya sendiri remuk.

Hanya dua adik laki-lakinya, Arman dan Abim , yang tak pernah melupakannya. Mereka masih kecil saat ibu meninggal. Dan di mata mereka, Jaya adalah segalanya.

Beberapa tahun lalu, saat usia Jaya baru menginjak dua puluhan, Arman dan Abim datang ke kontrak kecil mereka. Malam itu hujan gerimis turun. Di teras sempit, mereka berdiri dengan tubuh membungkuk dalam-dalam.

Tak ada banyak kata. Tapi air di mata mereka bicara lebih keras dari apa pun.

“A… hatur nuhun…” suara Arman gemetar. “KIta egois. Kita sering bandel. Tapi kita berdua tau… A Jaya udah ngorbanin segalanya.”

Abim menunduk. “Kami gagal jadi adik yang baik… Tapi A Jaya nggak pernah gagal jadi kakak.”

Jaya tak menjawab. Ia hanya diam, menahan napas.

Kenangan pun membanjiri: malam-malam dingin saat ia mencuci baju mereka di kali.Pagi-pagi buta ia mencari kerja serabutan demi sepatu sekolah bekas. Semua itu…Semua itu datang kembali seperti gelombang yang menghantam hati.

Tak ada pelukan malam itu. Tidak ada maaf. Tapi sejak hari itu, Jaya tahu: Mereka menyayanginya. Dalam diam, dalam luka.

Di usia 24 tahun, saat teman-temannya mulai menikah atau bekerja di perusahaan besar, Jaya masih tinggal di rumah, merawat ayahnya— Herman , pria keras kepala yang tubuhnya mulai lumpuh karena komplikasi.

“Aku kan sudah bilang pak!, Berhenti ngerokok!”Jaya memukul meja. Napasnya naik-turun. “Bapa sesak nafas ya gara-gara rokok!”

Ayahnya melootot dari atas kasur.

"Bapa ini kepala keluarga! Jangan ngajarin bapak! Kamu itu hidup dari uang bapak!"

Padahal… uang itu pun sudah habis. Sekarang Jaya yang mencakup segalanya. Menyyuapi. Membersihkan. Ganti popok. Cuci piring kotor penuh muntahan.Dan tetap… ia disebut tak tahu diri.

Malam itu, Ayahnya minta dimasakkan mi instan. Dan entah kenapa, kenangan lama menyeruak…

Ia masih kecil waktu itu.Ibunya sedang tak ada dirawat di rumah sakit.Ayahnya pulang malam-malam dengan plastik kresek kecil. Isinya hanya dua bungkus mi instan dan dua butir telur.

Mereka, Jaya dan dua kakaknya, mengira malam itu akan makan enak. Setidaknya ada mi panas dan rebus untuk mengganjal perut yang keroncongan.

Tapi yang terjadi malah sebaliknya.

Ayah mereka merebus satu bungkus mi untuk dirinya sendiri. Ia memasukkan dua butir telur sekaligus ke dalam mangkuknya. Lalu duduk santai di depan TV, menyeruput tanpa bicara apa-apa.

Sementara itu, anak ketiga kecil itu hanya bisa menelan ludah.Satu bungkus mi sisanya… direbus, lalu dibagi tiga.Dicampur nasi dingin biar terasa lebih banyak.Tanpa telur, tanpa sayur, hanya air rebusan yang asin. akan tetapi setelah makan Ayah mereka menyuruh salah satu dari mereka membeli rokok untuknya. 

Kembali ke Masa Kini: Di ​​Bawah Pohon

Air mata Jaya tumpah. Tak terbendung.

Selama hidup, ia terus memberi… tanpa pernah benar-benar menerima.Semua pengorbanannya tak pernah menghasilkan apa-apa.Tak ada karier. Tak ada keluarga. Tak ada cinta.

"Kenapa aku, Tuhan…? Kenapa harus aku yang jalaninya?"

Angin perih menyentuh pipinya yang basah. Jaya mendongak pelan, matanya nanar menatap langit mendung yang seakan ikut meratap.

Tiba-tiba, sebuah suara lembut namun terdengar dari arah belakang, nyaris seperti bisikan yang merambat di sela-sela dedaunan pohon tua.

“Orang baik… tidak seharusnya hidup seperti ini.”

Jaya terlonjak kecil. Ia menoleh cepat ke kanan, ke kiri, lalu berdiri tergesa-gesa. Tak ada siapa pun di sana.

“Siapa itu?!” serunya panik, dada berdebar. “Siapa yang bicara?!”

Hening. Hanya suara mengomel jatuh dan memanaskan daun-daun basah oleh angin.

“Aku… aku lagi gak main main ya!” teriakan Jaya lagi. Suaranya serak, setengah putus asa.

“Jawab woi! Siapa kamu?!”

Dan lalu, suara itu datang lagi. Lebih jelasnya. Lebih dalam. Tapi tetap… tak terlihat wujudnya.

“Sudah waktunya… kau ambil kembali hidupmu.”

Jaya menggeleng kuat-kuat. Tubuhnya goyah.

"Ambil kembali kehidupan…? Hidupku apa?! Hidupku hancur! Semua sudah terlambat!" ia berteriak, tapi suaranya bergetar.

"Aku cuma mau hidup damai... cuma mau dihargai! Tapi apa yang kudapat?! Pengkhianatan... penolakan... direndahkan bahkan keluargaku sendiri, ikut rendahin aku!" air mata mulai mengalir di pipinya.

“Aku berjuang mati-matian buat keluarga, buat adik-adikku, buat bapakku yang bahkan nggak pernah bilang 'terima kasih'… Tapi lihat aku sekarang.”

Ia menunduk. Bahunya bergetar.

“Dunia ini… gak adil. Yang punya duit yang punya kuasa diinjak.”

“Tapi kalau… kalau aku bisa… kalau aku bisa balik ke masa lalu…”

Ia menatap ke arah danau, lalu menutup matanya rapat-rapat.

“Aku akan ubah semuanya… Aku bersumpah… aku akan mengubah semuanya…”

Suara isaknya pecah bersama angin sore. Di bawah pohon tua yang Saksi akan segala luka dan harapannya yang patah, Jaya bersimpuh—dan menangis.

Tiba-tiba, bumi berputar. Pandangannya bergoyang.Cahaya putih terang menggantung tubuhnya.Rasa mual menghantam perut. Ia pun terjatuh tak sadarkan diri.

Dan ketika matanya terbuka kembali…

Ruangan asing—namun begitu akrab—menyambutnya.

Poster Dragon Ball di dinding.Kasur busa tipis warna biru.Jam dinding kuning yang berdetak lambat.

Tangannya gemetar. Ia melangkah cepat ke kalender.Matanya membelalak.

“April… 2016…”

Jaya menoleh ke cermin.

Wajah itu… masih muda. Tubuh itu… 17 tahun. Ia kembali ke masa lalu.

Jaya putar ke meja.

Di sana terletak laptop hitam kesayangannya—Toshiba lawas yang telah menemaninya bertahun-tahun di dunia freelance. Layarnya sedikit retak di sudut kanan atas, dan stiker-stiker motivasi masih tertempel di sisi keyboard.

Hatinya mencelos. Ia mengenali setiap goresan pada permukaannya. Ini… laptop yang sama. Laptop dari masa depan.

Jaya menggigit bibir. Ia yakin, laptop ini seharusnya berada di tahun 2025—di atas meja kecil kontrakan sempitnya, tempat ia biasa mengetik proposal pekerjaan freelance semalaman. Tapi kini, benda itu berada di sini, di dalam ruangan sepuluh tahun yang lalu.

Hah, kok bisa…?

Ia buru-buru menyalakannya. Layar menyala normal. Sistem operasi berjalan seperti biasa. Tapi lalu, ada yang aneh.

Sebuah ikon baru muncul di sudut desktop—berkilau samar, seperti hidup.

[Sistem Pemborosan – Versi 0.01 Beta]

Klik.

Browser aneh terbuka. Desainnya futuristik.Dan di sana… berita dari masa depan terpampang nyata.

“Bitcoin menembus $65.000 – Tahun 2021”“Saham GOTO melonjak 700% – Tahun 2023”

Tangannya bergetar hebat.

Kesempatan kedua.

Dan untuk pertama kalinya setelah sekian tahun…

Mata Jaya bersinar lagi.