BAB 8:Benteng Zaderan dan Bayangan Lama

Langit di atas Benteng Zaderan tampak kelabu bahkan di siang hari. Benteng ini bukan hanya markas militer—tetapi pusat eksperimen sihir terlarang milik kerajaan, tempat orang-orang yang dianggap “berbahaya” dikurung, diteliti... dan sering kali tidak pernah kembali.

Shima berdiri di atas tebing batu merah, memandangi benteng dari kejauhan. Dinding setinggi tiga puluh kaki menjulang, dijaga oleh sihir pelindung dan penjaga bersenjata lengkap. Di tengah benteng, tampak sebuah menara kaca hitam yang berdenyut dengan energi sihir murni.

“Pusat penelitian sihir darah,” ujar Kael. “Jika kerajaan sedang mencoba menciptakan Wielder buatan… itu dilakukan di sana.”

“Dan kita akan menyusup masuk ke dalamnya?” Tarren mengerutkan kening. “Ide bagus—kalau kita ingin mati cepat.”

Liera mengamati celah-celah pertahanan dari teleskop mini buatan sukunya. “Kita tidak bisa masuk lewat gerbang. Tapi di sisi utara, ada saluran pembuangan lama. Tertutup sihir ringan. Bisa dilewati… kalau kita punya pengalih perhatian.”

Semua mata mengarah ke Shima.

Shima mengangkat alis. “Kenapa selalu aku?”

“Karena kau penyihir paling mencolok dalam sejarah kerajaan,” jawab Liera ringan. “Jangan sia-siakan bakat itu.”

Malam turun, dan kelompok mereka bergerak.

Kael dan Tarren menuju sisi utara untuk menembus celah saluran. Liera menunggu di tengah hutan untuk menyiapkan jalur kabur. Shima—seorang diri—berdiri di tepi jurang, menatap benteng seperti bayangan gelap yang menantang langit.

Ia mengangkat tangan, dan dari gelang Wielder-nya, cahaya ungu muncul perlahan, memanggil badai energi kecil. Awan mulai menggulung, langit bergemuruh, dan dalam hitungan menit, petir menyambar menara utama.

Penjaga benteng panik. Lonceng peringatan dibunyikan.

Kael dan Tarren memanfaatkan momen itu. Mereka menyelinap lewat saluran pembuangan dan muncul di dalam lorong bawah tanah. Dindingnya dipenuhi simbol eksperimen sihir, dan aroma besi bercampur darah memenuhi udara.

“Ini... tempat orang dibuang,” bisik Tarren.

“Dan mungkin... tempat orang seperti Shima diciptakan,” jawab Kael dingin.

Mereka menemukan ruang penjara dengan jeruji kristal. Di salah satu sel, seorang pemuda duduk bersila, tangannya dirantai, matanya tertutup kain. Tapi aura dari tubuhnya... begitu kuat, seolah meledak dalam diam.

Kael menyipitkan mata. “Itu dia. Pusat sihir di peta. Tapi... siapa dia?”

Tiba-tiba, pemuda itu membuka mata—mata berwarna perak yang bersinar tajam.

“Akhirnya,” gumamnya. “Kalian datang.”

Di sisi lain benteng, Shima nyaris kehabisan tenaga.

Ia menciptakan ilusi badai, memperbesar gema dan bayangan, tapi sihir pelindung di sekeliling benteng mulai bereaksi. Panah sihir ditembakkan ke arahnya. Ia menangkis beberapa, tapi satu panah menembus bahunya. Ia jatuh ke lutut.

“Sedikit lagi…” bisiknya.

Namun sebelum panah kedua menembus tubuhnya, sebuah pusaran sihir hitam membelah langit—dan dari arah utara, dinding sihir runtuh.

Kael dan Tarren muncul dari balik reruntuhan bersama pemuda misterius yang kini tak lagi dirantai. Energi dari tubuhnya berdenyut liar, seolah menolak diatur.

“Dia... meledakkan penjara dari dalam,” kata Kael, setengah kagum.

Pemuda itu berdiri di sisi Shima, menatap penjaga-penjaga yang menyerbu ke arah mereka.

“Aku Riven,” katanya. “Dan kita akan keluar dari sini... hidup-hidup.”

Pertarungan terjadi seketika.

Riven tidak seperti Shima. Ia tidak membentuk sihir—ia menghancurkan sihir di sekitarnya. Setiap mantra yang diarahkan padanya langsung mati di udara. Ia melompat dari satu penjaga ke penjaga lain, meninju sihir mereka hingga pecah seperti kaca.

Sementara itu, Shima berdiri meski berdarah. Ia memanggil kekuatan dari gelang Wielder dan menciptakan perisai untuk menutup jalan keluar. Kael dan Tarren menjaga sisi belakang, menahan serangan yang tersisa.

Liera muncul dari balik pepohonan, membawa kuda dan alat kabur.

“Cepat! Kita hanya punya satu menit sebelum penguat sihir kerajaan datang!”

Mereka berlari, melewati celah pohon dan semak, napas berat dan tubuh berlumur luka. Tapi langkah mereka tak berhenti.

Mereka telah mengambil seseorang yang sangat penting.

Dan kerajaan akan memburu mereka lebih gila dari sebelumnya.

Beberapa jam kemudian, di tepi sungai kecil yang mengalir tenang, mereka beristirahat. Api unggun dinyalakan, dan luka-luka dibersihkan.

Riven duduk menyendiri, tatapannya jauh ke arah langit.

Shima mendekat.

“Siapa kau sebenarnya?” tanyanya pelan.

Riven menoleh. “Aku... hasil dari eksperimen yang gagal. Mereka ingin menciptakan Wielder yang bisa dikendalikan. Tapi yang mereka dapatkan... adalah sesuatu yang tak bisa dikurung.”

Shima menatapnya lama. “Kau bisa pergi. Tapi kau tetap bertahan.”

Riven menatapnya balik. “Karena aku melihat peta itu. Dan aku tahu... kau sedang membangun sesuatu yang lebih besar dari dendam.”

Shima mengangguk. Ia mengulurkan tangan. “Maukah kau ikut?”

Riven menatap tangan itu sebentar... lalu menjabatnya.

“Aku ikut. Bukan untuk membalas dendam. Tapi... untuk menghentikan semua ini.”

Dan malam itu, seorang sekutu baru—dengan kekuatan yang tak biasa—bergabung dalam perjalanan mereka. Kini, Wielder mulai berkumpul, satu demi satu.

Perjalanan mencari kebebasan... tak bisa dihentikan lagi.