Di atas dunia fana, saat segala takdir telah ditentukan. Terbentang lah Sakravia, tempat tinggal para dewa penjaga cahaya.
Tempat di mana terang tidak hanya menyinari, tapi juga memutuskan siapa yang pantas untuk hidup... dan siapa yang harus dilenyapkan.
Hukum langit telah ditegakkan selama ribuan tahun.
Tidak berubah, tidak menoleh ke belakang.
Namun tidak semua dewa setuju bahwa cahaya selalu adil.
Dan Elvanor, satu-satunya dewa yang berani mempertanyakan keadilan langit, menyaksikan saat seorang Penjaga Gerbang Cahaya harus rela dihukum dan dilucuti dari kehormatannya, lalu dibuang ke Morgath tanpa diberi kesempatan untuk membela diri, ataupun bertanya: kesalahan apa yang telah ia lakukan hingga layak menerima hukuman sekejam itu.
Elvanor tidak tinggal diam.
Dalam keheningan yang ia jaga, bergemuruh amarah yang tak bisa ia abaikan.
Baginya, sebuah hukum yang tidak memberi ruang bagi suara terdakwa adalah kezaliman yang dibungkus dengan cahaya.
Ia mulai bertanya dalam hatinya—jika cahaya tidak bisa mendengarkan, bukankah ia sama butanya dengan kegelapan yang ditakuti?.
Malam itu, ketika Sakravia tertidur dalam keheningan.
Elvanor diam-diam meninggalkan tugas utamanya sebagai Dewa Penjaga Cahaya Timur, dan pergi ke Morgath seorang diri. Tanpa seizin siapa pun dan tanpa sepengetahuan para penjaga langit.
Ia terbang melewati langit Aurevar, menyusuri lapisan cahaya yang lembut namun penuh pengawasan, menuju sebuah tempat terlarang yang hanya dikenal dalam bisik-bisik kuno yaitu
Gerbang Cahaya, batas terakhir yang memisahkan terang dan kegelapan.
Gerbang itu tersembunyi jauh di dalam inti Aurevar, tempat di mana benang takdir mulai memudar dan suara langit berhenti bergema.
Tempat yang tidak boleh disentuh, karena sekali dilintasi, tiada jaminan seorang dewa bisa kembali sebagai dirinya yang dulu.
Namun Elvanor tetap melangkah.
Ia pergi menuju Morgath tanpa persiapan apa pun. Tanpa senjata, tanpa restu dan tanpa perlindungan dari langit.
Hanya bermodalkan keberanian yang lebih besar dari rasa takutnya, dan tekad untuk menyelamatkan sang Penjaga Gerbang Cahaya.
Sosok yang telah dilenyapkan tanpa pembelaan dan dibungkam tanpa bukti.
Ia ingin membawanya kembali ke Sakravia.
Bukan untuk memberontak, tapi untuk memperlihatkan bahwa keadilan tidak boleh berjalan tanpa mendengar, dan bahwa cahaya pun harus mampu bercermin pada bayangannya sendiri.
Kini gerbang cahaya berdiri kokoh di hadapannya, sunyi, tanpa penjaga. Ia tak tahu mengapa, tapi sesuatu dalam dirinya berkata bahwa ini adalah kesempatan langka untuk pergi, tanpa diketahui oleh siapa pun.
Begitu tangannya menyentuh permukaan gerbang, pintu itu terbuka lebar, seolah mengenalinya. Cahaya dari dalam tubuhnya memancar lembut, cahaya yang hanya dimiliki oleh seorang dewa penjaga.
Namun ada satu hal yang tak pernah diketahui oleh Elvanor, sebuah rahasia yang hanya dibisikkan di antara para penghuni Aurevar.
Bahwa gerbang cahaya tak pernah bisa dibuka sembarangan, kecuali dengan izin dari Arvanth, sang Penjaga Keseimbangan.
Tanpa sadar, Elvanor mungkin telah melanggar batas terlarang. Ia telah mengusik keseimbangan yang dijaga langit selama ribuan tahun, sebuah pelanggaran yang tak dianggap ringan oleh hukum para dewa.
Namun Elvanor tetaplah Elvanor.
Ia bukan dewa yang paham sepenuhnya akan hukum langit, ataupun aturan-aturan rumit yang tersimpan di balik pilar Sakravia.
Ia hanya bertindak mengikuti kata hatinya. Tanpa bertanya, tanpa meminta izin dari siapa pun.
Bahkan Caedron, sang Penjaga Kedamaian, tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Dalam hati, ia tahu jika adiknya itu terlalu gegabah... terlalu berani menyentuh hal yang belum semestinya disentuh.
Tanpa ragu, Elvanor pergi melewati batas terang, terbang menuju langit kegelapan Morgath, tempat terlarang yang bahkan cahaya pun enggan menyentuhnya.
Udara di sana terasa asing. Dingin dan berat, menusuk hingga ke inti jiwanya.
Tubuhnya bergetar, bukan karena takut, tetapi karena tempat itu memang tidak diciptakan untuk makhluk bercahaya sepertinya.
Setiap helaan napas terasa seperti menantang alam itu sendiri.
Namun begitu kakinya menyentuh tanah Morgath, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Seluruh alam langit berguncang hebat, seolah menolak kehadiran satu cahaya yang menyusup ke dalam kedalaman kegelapan.
Morgath meronta.
Tanah hitamnya retak, langitnya mengerang.
Gugusan batu yang bergantung di atas lembah bergetar, runtuh satu per satu seperti hujan amarah yang tak terbendung.
Angin melolong membawa debu keputusasaan, dan suara gemuruh menelan segalanya.
Bebatuan raksasa yang jatuh dari atas menghantam tanah di sekeliling Elvanor. dan salah satunya menghantam tubuhnya dengan keras.
Tubuhnya terpental, kehilangan keseimbangan, dan terjatuh ke jurang terdalam Morgath.
Ia jatuh.
Masuk ke dalam lembah yang begitu pekat, sunyi, dan tak tersentuh cahaya.
Tubuhnya tertimpa bebatuan, tertimbun tanpa daya, sementara debu dan gelap mengubur wujudnya dari pandangan langit.
Di tempat itu, cahaya miliknya redup perlahan.
Dan Elvanor… untuk pertama kalinya dalam hidup abadi seorang dewa, merasakan sunyi yang benar-benar menakutkan.
Karena kelalaian Elvanor, seluruh alam langit ikut berguncang.
Bentangan cahaya di Sakravia bergetar, benang takdir di Aurevar mengerut, dan para dewa di penjuru langit pun terdiam. Bertanya dalam hati, apa yang sedang terjadi?
Getaran itu bukan hanya fisik, tapi juga merobek kesenyapan yang selama ini dijaga langit dengan kesucian.
Dan di puncak tertinggi Gunung Suci Aurevar, di tempat paling sunyi dan paling jauh dari jangkauan suara mana pun, sepasang mata terbuka.
Arvanth, sang penjaga Keseimbangan.
Dewa yang hanya muncul ketika terang dan gelap bersinggungan terlalu dekat.
Ia tidak bergerak saat itu. Ia hanya duduk namun matanya menatap jauh ke bawah, dan dari pandangannya saja, langit seakan ikut menunduk.
Sebuah energi asing merambat perlahan, menyusup masuk ke dalam batas suci keseimbangan.
Kegelapan…
Namun bukan kegelapan yang lahir dari iblis, melainkan kegelapan yang terbentuk dari tindakan tanpa izin.
Tanpa satu kata pun, tubuhnya melesat membelah udara Aurevar yang semula damai, menuju satu tempat yaitu Gerbang Cahaya.
Dan di sana, pemandangan itu membuatnya diam sejenak.
Gerbang Cahaya telah terbuka.
Sunyi tanpa penjagaan.
Ia menyapu sekelilingnya. Tidak ada siapa pun. Bahkan bisik angin pun seperti tak berani menyentuh tempat itu.
Amarah menggelegak dari dalam dadanya.
"Di mana para penjaga gerbang cahaya?!"
Suaranya menggetarkan langit. Udara di sekitarnya mendadak berat dan padat, seolah setiap helaan napas membawa beban ribuan hukum surgawi.
Para penjaga yang mendengar teriakan itu langsung berlari dari tempat mereka.
Wajah mereka pucat, langkah mereka gemetar, dan ketakutan tergambar jelas di sorot mata mereka.
Mereka tahu…
Arvanth tidak pernah memanggil kecuali untuk menuntut pertanggungjawaban.
“Kami tinggalkan gerbang hanya untuk sesaat. Tak satu pun dari kami mengira akan ada yang mampu membukanya... karena gerbang itu hanya tunduk pada perintah Anda, Arvanth...”
Seorang penjaga, dengan segenap keberanian yang tersisa dalam dirinya, mengangkat wajah dan menatap langsung ke arah sang Penjaga Keseimbangan.
Namun yang ia dapat... hanyalah tatapan kosong yang lebih dingin dari kegelapan Morgath itu sendiri.
Tatapan yang tak menunjukkan amarah, namun juga tak menyiratkan ampun.
Tatapan yang seolah menimbang nilai hidupnya, apakah layak tetap berdiri, atau seharusnya lenyap dari dunia ini.
Udara di sekitarnya bergetar pelan. Waktu seperti melambat.
Jantung sang penjaga berdegup kencang, dan untuk sesaat... ia merasa napasnya ditarik paksa oleh kekosongan itu.
Lalu Arvanth berbicara.
Suaranya pelan, namun terasa seperti gema dari takdir yang tak bisa dibatalkan.
“Kalian lupa... bahwa waktu sesaat di hadapan hukum langit bisa meretakkan ribuan tahun keseimbangan.”
Ia berjalan melewati barisan para penjaga, satu demi satu menundukkan kepala mereka lebih dalam, takut tubuh mereka akan hancur hanya karena dilalui oleh kekuatan sebesar itu.
“Aku tak butuh alasan. Aku butuh jawaban. Siapa... yang membuka gerbang itu?”
Tak satu pun dari para penjaga menjawab.
Pertanyaan Arvanth menggantung di udara seperti palu takdir yang menunggu jatuh, namun tidak ada suara yang berani menyambutnya.
Semua tertunduk dalam diam bukan karena tak tahu, tetapi karena takut menyebut nama yang tak semestinya disebut.
Dan saat keheningan itu membeku, energi kegelapan dari Morgath justru semakin membuncah.
Udara di sekeliling gerbang terasa berat, nyaris tak bisa dilalui cahaya. Aura hitam itu merayap perlahan, mencoba menembus batas antara terang dan gelap, seperti asap pekat yang melawan aturan langit.
Arvanth menatap retakan halus yang muncul di permukaan udara di depan gerbang.
Satu tarikan napas lalu ia berbalik.
Tanpa berkata sepatah kata pun, ia melangkah meninggalkan barisan para penjaga yang membeku di tempat mereka berdiri.
Ia tidak menuntut jawaban dan tak membutuhkan alasan apapun.
Dengan gerakan tangannya yang tenang, ia menciptakan segel kuno, simbol suci keseimbangan yang memancarkan cahaya keemasan pucat, lalu menguncinya tepat di atas celah yang terbuka.
Energi kegelapan yang sempat lolos terdorong mundur, terkurung kembali oleh kekuatan yang tidak bisa dilawan bahkan oleh Morgath sendiri.
Dan saat semuanya kembali sunyi, Arvanth menutup Gerbang Cahaya.
Seketika cahaya menyusut, lalu pintu ilahi itu kembali terkunci rapat seolah tak pernah terbuka.
Ia tidak peduli cahaya siapa yang telah masuk ke dalam kegelapan.
Baginya, satu-satunya hal yang perlu dijaga... adalah agar terang dan gelap tetap berada di tempatnya.