Pria paruh baya itu berbau alkohol, matanya tidak fokus, seolah-olah dia telah minum sampai mabuk, dan beberapa roti kering dan keras masih tergeletak di mangkuk di depannya.
Tempat penampungan pengungsi ini, meskipun seharusnya menjadi tempat perlindungan bagi para pengungsi, dikenal oleh penduduk Ibu Kota sebagai sarang pengemis.
Semakin dalam seseorang masuk ke dalamnya, semakin menyengat baunya.
Para pengungsi itu, berpakaian compang-camping, belum mandi selama berhari-hari; rambut mereka kusut. Dengan panasnya musim panas, lalat-lalat beterbangan di mana-mana.
Mereka melahap roti dan bubur yang dibagikan dengan rakus, tetapi tidak ada yang berani menyentuh roti di mangkuk pria paruh baya itu.
Kehadiran Murong Jiu jelas tidak pada tempatnya di sini, ketika tiba-tiba sebuah tangan kecil yang kotor terulur, mencengkeram ujung gaunnya dengan erat.
"Kakak, kakak, apakah kamu seorang tabib istana? Ibuku sakit, bisakah kamu menyelamatkannya?"