Malam itu terlalu sunyi. Bahkan angin pun enggan menyentuh puing-puing kota yang telah lama tak disebutkan dalam peta dunia. Langit di atasnya seperti kanvas kelam, tapi penuh bintang. Bintang-bintang tua, redup, seolah sedang mengintip kisah baru yang hendak lahir dari dunia yang sekarat.
Di tengah reruntuhan dan senyap itu, seorang bayi menangis untuk pertama kalinya. Tangisan yang memecah kebekuan. Tangisan yang tidak hanya mengabarkan kehidupan, tapi juga membangunkan kembali harapan—sesuatu yang telah lama mati di dunia ini.
Kaeren memeluk bayi itu dengan tangan yang masih berlumur darah, bukan dari luka perang, tapi dari perjuangan menolong sang istri yang baru saja melahirkan. Elyra, yang terbaring lemah, masih sempat tersenyum tipis, meski matanya sudah setengah redup.
"Kau... sudah lahir, Aeryn."
Itu satu-satunya kalimat yang berhasil diucapkannya sebelum ia terlelap dalam tidur panjang yang disebut istirahat.