Gerbang Setan

“Ini cuma batu tua. Gak ada setannya, bro,” kata Rama sambil menyorotkan senter ke dinding gerbang yang penuh lumut. Udara di sekitar terasa lebih dingin, lebih berat, meskipun belum larut malam.

Dua temannya, Gino dan Rendi, ikut tertawa. Mereka bertiga datang dari kota untuk berkemah dan mengabadikan momen "uji nyali" demi konten YouTube. Warga desa sudah memperingatkan mereka, tapi tentu saja—mereka tidak percaya.

Gerbang itu menjulang sekitar dua meter, setengah runtuh, namun masih menyisakan bentuk lengkung sempurna. Di puncaknya, ukiran seperti tanduk melingkar menghias batu. Tapi yang paling aneh adalah permukaan dalam gerbang itu... seperti menghitam total—seolah tidak ada cahaya yang bisa menembus sisi lain.

“Coba aku berdiri di tengah gerbang,” kata Gino, setengah menantang.

“Berani, lo?” tanya Rama sambil menyalakan kamera ponsel.

Dengan langkah malas, Gino berdiri di tengah lengkungan batu itu. Sesaat... tidak terjadi apa-apa.

Lalu, tanah bergetar.

Senter Rama berkedip. Udara berubah panas seperti terbakar, tapi sunyi... terlalu sunyi. Suara jangkrik, angin, bahkan detak jantung mereka pun seperti hilang.

Tiba-tiba, dari dalam kegelapan gerbang, dua tangan besar berbentuk cakar keluar dan mencengkeram bahu Gino.

“WOY! GINO!!”

Gino mencoba berteriak, tapi suara seperti tersedot. Tubuhnya terguncang, dan dalam sekejap... diseret masuk ke dalam gerbang. Hilang.

Yang tersisa hanya senter miliknya yang jatuh, menyala redup.

Rama dan Rendi terpaku. Tapi ketika mereka ingin lari, gerbang itu menyala merah, dan sesosok siluet besar bertanduk melangkah keluar. Matanya kosong, kulitnya hangus, dan di tangannya tergenggam... wajah Gino yang tampak masih hidup—memohon, menangis diam-diam dari dalam genggaman.

"Pintu telah terbuka. Kalian membayar giliran berikutnya."

Lalu, kegelapan menelan segalanya.

Keesokan harinya, warga desa hanya menemukan kamera GoPro yang rusak di dekat gerbang batu yang kini... mengeluarkan bau belerang dan darah.