Tiga hari menunggu.
Bagi orang lain, mungkin itu waktu singkat. Tapi bagi Ardan, tiga hari itu seperti hukuman sunyi.
Setiap detik terasa menekan, setiap jam seolah menguji batas kesabaran dan kekuatan mentalnya.
Pagi pertama ia bangun lebih cepat dari biasanya. Tapi bukan untuk berlatih. Ia hanya duduk di depan rumah, menatap langit yang masih kelabu, ditemani secangkir teh buatan ibunya yang mulai dingin.
Di tangannya, gelang karet hitam itu tetap melingkar di pergelangan kiri—selalu di sana, seperti janji kepada masa lalu dan masa depan sekaligus.
Di desa, kabar bahwa Ardan ikut seleksi mulai menyebar luas. Tapi tak semua kabar datang sebagai dukungan.
“Anaknya Bu Mira itu, ya? Katanya ikut seleksi kabupaten?”
“Wah… memangnya bisa bersaing sama anak kota?”
“Saya dengar sih nggak masuk. Cuma cadangan aja katanya…”
Bisik-bisik itu merayap seperti semut: kecil, tapi gatal. Ardan pura-pura tak peduli, tapi dalam hatinya, setiap kata itu tertanam seperti serpihan tajam.
Hari kedua, Danu datang membawa kabar baru.
“Mereka bilang daftar akan diumumkan malam besok. Di grup pelatih kabupaten.”
Ardan hanya mengangguk. Ia mencoba fokus latihan, tapi gerakannya tidak secepat biasanya. Fokusnya kabur. Bola terasa lebih berat. Nafasnya lebih pendek.
“Dan…” ucap Danu setelah lama diam, “Kalau kamu nggak lolos juga, kamu tetap hebat.”
Ardan tak menjawab. Tapi sorot matanya cukup meyakinkan: dia belum menyerah. Belum.
Hari ketiga. Pagi itu seperti pagi-pagi sebelumnya: sunyi, berat, penuh tanya. Tapi kini ada sesuatu yang berbeda di udara. Langit tampak cerah, angin lebih bersahabat, dan suara burung terdengar lebih nyaring dari biasanya.
Ardan membantu ibunya mencuci sayuran di belakang rumah. Ia mencoba tetap sibuk, menjauh dari ponsel, dari percakapan seleksi, dari segala harapan dan ketakutan.
“Apapun hasilnya nanti, kamu sudah bikin ibu bangga,” ucap ibunya pelan.
Ardan menunduk, air membasahi telapak tangannya. “Aku cuma ingin membuktikan, Bu… bahwa anak dari kampung pun bisa punya mimpi.”
Malam itu, Danu berlari ke rumah Ardan dengan napas tersengal-sengal, keringat membasahi dahinya.
“Dan!” teriaknya. “Sudah keluar!”
Ardan keluar dari kamar, jantungnya berdentum. Bahkan suara jangkrik pun terasa seperti dentuman di telinga.
Ibunya ikut berdiri di ambang pintu.
Danu membuka layar ponselnya, membaca daftar nama perlahan. Ardan menahan napas.
“Nomor… enam belas…”
“…Slot cadangan utama…”
“…Ardan. Kecamatan Belik.”
Hening.
Tak ada suara. Tak ada tepuk tangan.
Hanya tubuh Ardan yang jatuh berlutut. Air mata jatuh membasahi tanah di bawahnya.
Ia sujud. Membiarkan bumi menjadi saksi bisu atas perjuangannya.
Ibunya menangis pelan di ambang pintu.
Danu menepuk punggung sahabatnya, pelan dan penuh makna.
“Kamu pantas dapat ini. Dan kamu belum selesai.”
Ardan mengangkat wajahnya, menatap langit malam yang dipenuhi bintang.
“Hari ini… aku menang. Tapi besok, aku harus lebih kuat lagi.”
Karena ia tahu, perjuangan belum berakhir.
Ini baru permulaan.