Mbah Karyo dan Tanah Terlarang

Desa Kalituri dikelilingi oleh hamparan sawah, angin sejuk, dan suara jangkrik malam yang menenangkan. Namun ada satu bagian desa yang selalu sunyi—sebidang tanah kering, tak pernah ditumbuhi apapun, bahkan rumput pun enggan tumbuh di sana. Tanah itu terletak tepat di belakang rumah Mbah Karyo.

Warga desa menyebutnya Tanah Terlarang.

Mbah Karyo, lelaki renta dengan sorot mata tajam dan suara berat, tinggal seorang diri. Tak banyak bicara, namun ia selalu berkata pada anak-anak:

"Tanah itu bukan sembarang tanah. Itu tempat tumbalnya perjanjian. Sekali kau langgar, tak akan ada jalan kembali."

Bertahun-tahun tak ada yang berani melawan. Tapi semua berubah ketika Pak Darto, kepala desa baru, memutuskan membuka lahan untuk proyek wisata spiritual.

“Tanah itu tidak lebih dari mitos,” ucapnya angkuh. “Kita butuh kemajuan.”

Mbah Karyo memperingatkan, bahkan mendatangi balai desa. Tapi ucapannya hanya ditertawakan.

Dan pada malam penggalian pertama—sekitar pukul 01.00—pekerja pertama yang mencangkul tanah itu terhenti. Tanah mengeluarkan bau anyir menyengat, seperti darah basi. Dari lubang kecil yang mereka gali, keluar asap hitam pekat dan suara bisikan yang tak dimengerti.

Malam itu juga, satu per satu pekerja mulai bertingkah aneh. Ada yang bicara sendiri, ada yang menangis tanpa sebab, dan ada pula yang menghilang saat buang air ke kebun.

Puncaknya terjadi pada malam Jumat Kliwon. Mbah Karyo terlihat berdiri sendirian di tengah Tanah Terlarang, dengan pakaian adat lengkap dan dupa menyala di sekelilingnya. Ia membaca mantra yang sudah jarang terdengar.

“Aku wis ngelingke... saiki giliranmu nyekseni.”(“Aku sudah memperingatkan... sekarang giliranmu menyaksikan.”)

Dari tengah tanah, muncul sosok tinggi besar tanpa wajah, menggeliat keluar dari dalam bumi, diikuti oleh jeritan panjang yang mengguncang malam. Sosok itu tak berjalan… tapi melayang, dan setiap langkahnya membuat tanah menjadi hangus.

Esoknya, seluruh desa gempar. Pak Darto ditemukan tewas dalam kondisi tubuh kaku dan matanya hilang. Di tangannya tergenggam tanah hitam seperti arang.

Tanah Terlarang kembali sunyi… tapi kini bertambah luas. Rumah Mbah Karyo kosong, tak berpenghuni. Beberapa warga bersumpah masih melihat bayangan beliau berdiri di tengah tanah itu, menjaga batas dunia yang sudah mulai rapuh...