Setelah perkenalan demi perkenalan berlangsung, waktu istirahat pun tiba.
Aku tidak menyangka kalau sesi perkenalan bisa memakan waktu yang lumayan banyak. Dengan penuh apatis, aku benar-benar tidak mengingat siapapun... kecuali Eiko, karena dia dulu sekelas denganku. Dan aku secara mau tidak mau harus mengingat namanya.
Asahina Mei adalah pengecualian. Menganggapnya sebagai sesuatu yang spesial tidaklah berlebihan. Maksudku, namanya akan selalu kuingat. Mana mungkin aku melupakannya.
Sekarang, coba tebak. Apa yang dilakukan oleh orang sepertiku saat waktu istirahat? Pergi ke kantin? Bercanda dengan teman?
Tidak, keduanya salah. Yang benar adalah... aku tidur. Biasanya, aku memang tidur. Tapi kali ini, seolah sedang meminum kafein dosis tinggi, mataku berusaha menahan diri agar tidak tertutup dan masuk ke fase mimpi.
Ah, aku gelisah sekali.
Tanpa perlu dipikirkan lebih lanjut, aku sudah tahu penyebabnya. Siapa lagi kalau bukan karena Asahina Mei?
Dahiku mulai berkeringat, jantungku berdebar-debar, dan kepalaku berdenyut seperti sedang menyuruhku untuk melakukan sesuatu.
Aku ingin menyapanya, tapi aku bingung. Bagaimana caranya agar dia tidak merasa risih saat kudekati?
Otakku mulai bekerja, sedikit. Aku pun mulai mencuri pandang. Namun, setiap kali aku ingin melirik ke arahnya, aku merasa seperti sedang mencuri sesuatu yang bukan milikku. Tapi entah kenapa, aku juga merasa… aku punya hak untuk menatapnya. Karena aku menyukainya. Karena aku ingin tahu bagaimana keadaannya.
Sebagai siswa pindahan, pastinya dia butuh adaptasi dari sekolahnya yang lama. Umumnya, manusia akan beradaptasi di lingkungan yang baru selama beberapa Minggu. Anggap saja maksimal tiga bulan. Jika tidak ada kemajuan dari hari pertama, maka akan dianggap tidak mampu beradaptasi. Mereka harus memilih tempat baru yang lebih sesuai dengan keadaannya.
Oke, cukup.
Pada intinya, aku harus membantunya beradaptasi. Paling tidak sampai dia terbiasa di tempat barunya, atau di sekolah ini.
Untungnya saat aku mencuri pandang ke arahnya, dia sedang fokus membaca sebuah buku. Aku penasaran tentang buku yang dibacanya, tapi aku tidak bisa terus mencuri pandang... atau dia akan menganggapku sebagai orang yang mencurigakan.
Dan juga, aku bingung kenapa tidak ada yang peduli dengannya. Harusnya ada beberapa orang yang paling tidak mengajaknya bicara. Tapi, ini sama sekali tidak ada. Dia diabaikan.
Aku tidak tahan lagi.
Sejujurnya, aku sudah mencoba menahan dorongan ini sejak beberapa menit yang lalu. Tapi... diam dan hanya mencuri pandang bukanlah solusi. Justru membuatku semakin gatal untuk bertindak. Mataku kembali bergerak, sedikit saja... mengarah ke tempat duduknya.
Memang benar, sama sekali tidak ada yang mencoba menyapanya. Seolah-olah keberadaannya adalah sesuatu yang tabu untuk disentuh.
Tapi, aku ingin menyapanya.
Aku menggenggam meja erat-erat. Jari-jariku menekan permukaan kayu cukup keras hingga berbunyi pelan. Aku mencoba menyuntikkan keberanian ke dalam tubuhku. Dan perlahan... sangat perlahan, aku berdiri.
Tenanglah.
Kenapa aku jadi sangat gugup?
Aku harus melangkah. Sepelan apa pun, itu tidak masalah. Tapi, begitu aku hendak melangkah…
"Argh…"
Aku meremas perut bawahku. Rasanya seperti ada tekanan yang menendang-nendang dari dalam.
Aku ingin buang air kecil. Tentu saja, kandung kemihku memilih untuk bersuara di momen ini.
Ini semacam sabotase biologis.
Aku ingin menyapa gadis yang sudah kucintai sejak lama, tapi tubuhku malah mengacaukannya.
Aku pun menatap langit-langit. Dalam hati, aku mencela organ dalamku.
"Kenapa sekarang, hah?! Kenapa tidak lima menit yang lalu?"
Saat aku hampir mendapatkan keberanian untuk bertindak, masalah lain yang lebih penting malah datang.
Astaga. Dengan langkah enggan, aku berjalan menuju toilet. Tapi tentu saja, aku tidak bisa menyalahkan tubuhku terus-terusan. Urusan genting harus segera diselesaikan.
Semua urusan kelas sebelas ada di lantai dua, jadi mengingat denah sekolah di lantai satu... harusnya letaknya kurang lebih sama.
Dan benar saja, ada toilet di ujung lorong. Keadaannya cukup sepi. Udaranya dingin, agak lembab, dan ada suara tetesan air yang mengalun pelan dari kran bocor di ujung.
Setelah menyelesaikan urusan pribadi, aku berjalan pelan menuju wastafel. Wajahku terpantul di cermin.
"Dasar pengecut," gumamku pelan sambil mencipratkan air ke wajah. "Andai saja aku lebih berani."
Aku pun menarik napas dalam-dalam.
"Oke. Setelah ini, aku harus bicara padanya."
Niatnya memang seperti itu. Namun, begitu aku membuka pintu keluar...
Brak!
"Ma-maafkan aku!" seruku refleks.
Aku mundur satu langkah karena tubuhku menabrak seseorang. Bukan hanya aku yang kaget. Sosok di depanku juga tampak terkejut.
Eh?! Kenapa dia ada di sini?
"Asahina Mei?" gumamku sembari menatapnya.
Rambut panjangnya sedikit terurai dari ikatannya karena tabrakan tadi. Tangannya refleks memegangi buku yang nyaris terlepas, tapi… bukunya tetap jatuh.
Aku langsung membungkuk panik.
"Maaf! Aku tidak tahu kau ada di depan pintu! Sungguh, aku tidak sengaja! Maafkan aku!"
Mei tampak diam sejenak. Dia hanya menunduk, tidak menampakkan ekspresi apa-apa. Perlahan, dia berjongkok untuk mengambil bukunya.
Aku juga ikut menunduk. Dan saat itulah aku melihat sampul bukunya. Mataku tersentak.
Orang Gagal.
Sebuah novel karya Osamu Dazai. Salah satu buku paling depresif sekaligus paling manusiawi yang pernah kubaca. Buku itu sempat membuatku tidak bisa tidur selama dua malam, yang mana isinya mengupas tentang perasaan keterasingan manusia.
Aku lalu menatap Mei. Jantungku berdetak kencang karena hal lain sekarang.
Dia membaca buku seperti ini? Perasaanku jadi tidak enak. Sedikit, hanya sedikit. Tapi cukup untuk membuatku bertanya-tanya.
Bagaimana pun juga, aku memberanikan diri untuk membuka mulut.
"Itu... Osamu Dazai, ya?"
Mei berhenti sejenak. Tangannya yang hendak meraih buku itu terpaku di udara. Lalu perlahan, dia menoleh ke arahku. Tidak bicara. Tidak tersenyum. Tapi menatap, tepat di mataku.
Aku merasa terpaku. Lagi.
Tapi aku tetap melanjutkan, walau suaraku agak serak.
"Aku juga pernah membacanya. Orang Gagal, maksudku. Itu bukan bacaan yang ringan."
Dia masih diam. Dan ini membuatku takut. Mungkin... mungkin aku terlalu memaksa.
Tapi tiba-tiba, dia membuka mulut.
"Ya, aku tahu. Tapi aku suka gaya penulisannya," katanya pelan. Sangat pelan.
Aku pun tersenyum. Rasanya seperti menemukan oasis di tengah padang kegelisahan.
"Kau benar. Dia seperti menulis tentang dirinya sendiri. Menurutku, kesannya sangat jujur dan terbuka."
Mei menatapku, lalu perlahan... sangat perlahan, dia tersenyum kecil.
Aku nyaris berhenti bernapas.
Itu senyuman yang sama seperti waktu di perpustakaan. Ringan. Ragu. Tapi nyata.
"Ini pertama kalinya bagiku," katanya lirih.
"Apa maksudmu?"
"Kau benar-benar menatap mataku. Terima kasih, Takahiro-kun. Berkat dirimu, aku bisa lebih menerima takdirku sendiri."
Ah, tidak.
Namaku disebut?
Ini terlalu bahaya untuk jantungku.
Tanpa peduli dengan keadaanku, Mei lalu melanjutkan, "Bekas luka ini, dulu aku memang membencinya. Aku sangat ingin menghapusnya. Tapi, aku sudah berdamai dengan itu. Dan saat kau mengatakan sesuatu seperti takdir di sesi perkenalan, aku sadar bahwa aku memang harus menerimanya."
"Sekali lagi, terima kasih... Takahiro-kun!"
Sembari memegangi pipi kirinya, dia tersenyum lagi... tapi kali ini lebih lebar.
Lagi-lagi, aku begitu terpaku dengan tatapannya. Memang tak bisa dimungkiri lagi, aku mencintainya. Aku suka tatapannya yang berusaha terlihat kuat. Dia juga berusaha untuk jujur, paling tidak pada dirinya sendiri. Aku menyukai segala hal tentangnya.
Aku ingin merespons perkataannya. Sungguh, aku ingin bicara. Tapi suaraku tak kunjung keluar. Tenggorokanku terikat oleh sesuatu... seperti campuran antara keterkejutan, rasa bahagia, dan sedikit rasa bersalah.
Dia masih berdiri di depanku, memegang bukunya yang tadi sempat jatuh. Senyumannya masih menggantung di wajahnya.
Dan dia baru saja berterima kasih padaku.
Atas apa?
Karena aku bicara soal takdir?
Mungkin dia mengira kalau aku hanya mengeluarkan keluh kesahku karena ditunjuk oleh Tanaka-sensei. Tapi dia tidak tahu kalau semua kata-kata itu memang bagian dari rencanaku. Baguslah, jika kata-kataku memang sampai kepadanya.
Setelah keheningan yang agak canggung, aku akhirnya bisa membuka mulut.
"Sama-sama."
Hanya kata itu yang kukeluarkan. Singkat, padat, dan jelas.
Mei hanya menatapku. Senyumnya perlahan memudar. Sepertinya dia berniat untuk kembali ke kelas.
Dan entah dari mana, keberanianku datang. Aku memberanikan diri untuk bertanya saat dia terlihat hendak berbalik.
"Mei-san... apa kau baik-baik saja di kelas? Maksudku, di sekolah baru ini?"
Dia tidak langsung menjawab. Sekilas, aku melihat keraguan melintas di wajahnya. Tapi kemudian dia menarik napas, lalu menghembuskannya pelan.
"Aku sudah terbiasa," ujarnya lirih.
Kalimat itu pendek, ringan, tapi sarat makna.
Sudah terbiasa? Dengan apa? Dengan tatapan? Dengan bisik-bisik itu? Dengan beberapa perlakuan buruk?
Aku jelas tidak bisa menerimanya. Padahal, dia berhak untuk hidup normal seperti orang biasa. Tanpa tatapan, tanpa bisik-bisik, tanpa ada sesuatu hal yang mengganggunya.
"Kalau begitu, aku ke kelas dulu," katanya sebelum berbalik, jelas sekali dia menghindari topik ini.
Sementara aku... hanya bisa mengangguk pelan. Aku bahkan tidak mengatakan apa pun. Aku hanya bisa melihat punggungnya yang semakin menjauh.
Tidak, ini belum berakhir.
Benar juga, aku tidak boleh menyerah sampai di sini.
Apa gunanya merasa ragu-ragu? Kenapa aku jadi begitu pesimis? Padahal, kesempatan ada di depan mata.
"Mei-san," kataku akhirnya, memanggil.
Merasa terpanggil, Mei kembali berbalik ke arahku.
Aku lalu bertanya, "Bisakah... kita bertemu lagi?"
Eh? Hah?!
Apa yang kukatakan barusan?
Tunggu, aku terlalu gugup.
Sementara itu, Mei tampak bingung dengan pertanyaanku.
"Apa maksudnya, Takahiro-kun? Aku tidak keberatan bertemu denganmu lagi, tapi bukannya kita sekelas? Dan akan selalu bertemu?" tanyanya sembari menarik dagunya.
Gerakannya terlihat manis, tapi aku jadi malu sendiri. Apa yang dikatakannya memang benar. Kami sekelas, dan tentu kami akan bertemu. Pertanyaan macam apa yang kuajukan tadi?
Astaga, ini memalukan.
"Ma-maaf. Maksudku, aku ingin bicara denganmu. Lagi, lagi... dan lebih banyak."
Dengan sedikit terbata-bata, aku mengklarifikasi pertanyaanku sebelumnya.
"Ha..."
Ha? Kenapa dia tersenyum?
Momen itu berlangsung sepersekian detik, sebelum aku melihat sesuatu yang sangat manis.
"Hahaha... kau aneh juga, Takahiro-kun. Jika kau tidak keberatan untuk terus ditatap, silahkan saja!"
Dia tertawa. Melihat senyumnya yang begitu lebar, tubuhku langsung merasa hangat. Matanya terlihat jauh lebih hidup, dan ekspresinya keluar tanpa beban.
Aku bisa terus mengulang suara tawanya di dalam kepalaku. Sampai-sampai, aku lupa bahwa dia sudah menerimaku. Bukan untuk menjadi pacar, tapi paling tidak untuk menjadi orang yang berdiri di sampingnya.
"Ya, dengan senang hati," gumamku setuju.
Kami pun melangkah bersama. Kembali ke kelas, dan berjalan beriringan. Kami memang saling diam di perjalanan, tapi bagiku ini sudah cukup sebagai permulaan.
***
Ketika kami hampir sampai di depan pintu kelas, Mei berhenti sejenak. Dia menatapku sekilas, lalu tersenyum kecil. Aku tahu senyuman itu. Itu bukan sekadar basa-basi. Senyuman itu seperti... ucapan terima kasih yang tidak perlu diucapkan lagi.
Dan ketika pintu kelas dibuka, barulah aku sadar. Ada puluhan pasang mata yang menatap ke arah kami.
Sudah kuduga, aku tidak suka momen ini.
Kami mendapat banyak sekali tatapan. Kebanyakan menatap ke arah Mei, walau ada beberapa yang juga melihatku.
Apakah Mei memang seaneh itu? Aku tidak mengerti. Memangnya dia salah apa? Di mana letak kesalahannya?
Kelas ini jadi cukup ramai. Dan entah kenapa, atmosfernya berubah. Sedikit aneh.
"Tidak apa-apa, Takahiro-kun. Sampai nanti," ucap Mei datar.
Aku tidak bisa merespons apa-apa saat dia mulai menjauh dariku. Beberapa tatapan masih mengekor padanya, dan aku tidak punya pilihan selain kembali ke tempat dudukku.
Ah, sial.
Aku bahkan tidak bisa melakukan sesuatu.
Dengan penuh perasaan kesal yang kupendam, aku menggenggam tanganku erat-erat... berusaha melampiaskan sisa-sisa emosi agar tidak keluar sembarangan.
Dan di tengah momen yang tidak tepat ini, Eiko malah menghampiriku. Langkahnya pelan tapi pasti. Sampai akhirnya dia berada dekat denganku.
"Takahiro-kun, kau tidak tidur seperti biasa. Tumben sekali," katanya dengan penuh ceria.
Dia tersenyum, tapi itu justru menggangguku. Untungnya emosiku sudah mulai mereda, karena jika tidak... aku bahkan tidak tahu apa yang akan terjadi.
"Takahiro-kun?"
Astaga. Aku benar-benar tidak bisa mengabaikannya.
Secara terpaksa, aku menatapnya agar tidak menarik lebih banyak perhatian. Tanpa perlu melihat ke sekeliling, aku yakin bahwa banyak tatapan mata yang kini mengarah ke tempatku dan Eiko bicara.
Dari sini, tentu saja aku tidak bisa mengabaikannya... karena masalah yang tidak kuinginkan terjadi pasti akan datang.
"Ya, aku tidak bisa tidur," responsku akhirnya.
Eiko masih tersenyum. Yang menakutkan adalah... aku tidak mengerti maksud dari senyumannya itu. Berbeda dengan Mei, yang senyumnya benar-benar membekas di ingatanku secara positif.
Begini, aku sudah menolak Eiko sekali. Dan dia masih bicara denganku. Padahal kebanyakan, orang cenderung menjauh ketika hubungan percintaan ada di tahap gagal, baik itu laki-laki maupun perempuan... semuanya sama saja. Oleh karena itu, aku bingung. Sekaligus takut.
Masih dengan nada cerianya, Eiko lalu bertanya, "Begitu, ya? Ngomong-ngomong, apa kau luang saat waktu pulang nanti? Kami semua berencana untuk karaoke."
"Karaoke?"
"Ya, mau ikut? Mayoritas setuju, karena itulah aku mengajakmu juga."
Hmm... bagaimana aku harus mengatakannya?
Tidak ada yang salah dengan karaoke. Satu-satunya hal yang salah adalah aku yang membenci kepalsuan manusia. Aku benci topeng yang dikenakan banyak orang di lingkungan sosial.
Sekali saja aku mendengar sesuatu yang berlawanan dengan topeng yang mereka kenakan, perasaanku langsung tidak nyaman. Rasanya seperti melihat gunting dalam lipatan.
"Maaf, aku tidak ikut."
Mendengar jawabanku, Eiko sedikit tersentak. Tapi dia tetap tersenyum, seolah sudah menebak jawabanku.
Memang, hanya itu yang bisa kukatakan. Lagipula, aku sudah terbiasa menyendiri. Seandainya aku dijauhi karena tidak ikut karaoke, aku tidak mempermasalahkannya.
"Kenapa?" tanyanya akhirnya.
"Entahlah. Mungkin, aku hanya malas," jawabku.
"Jangan begitu, Takahiro-kun. Ini adalah kesempatan untuk mengakrabkan diri dengan yang lainnya."
Eiko tampak sedikit frustasi atas penolakanku. Walau aku yakin dia tidak akan menyerah begitu saja. Dan aku jadi kepikiran satu cara... cara agar dia tidak memaksa lagi.
Aku pun bertanya, "Apakah Asahina Mei juga diajak?"
Pertanyaan ini sederhana, tapi karena Eiko ada menyebut tentang mayoritas... maka pertanyaannya akan sulit untuk dijawab.
Aku jadi penasaran. Antara memakai topeng dengan perasaan tidak enak, atau melepas topeng dengan menolak mentah-mentah... kira-kira dia pilih yang mana?
"Aku akan ikut jika Asahina Mei diajak," kataku, semakin menekan.
Kali ini, Eiko benar-benar tersentak. Tatapannya jadi gelisah. Senyumnya memudar. Bahkan dahinya berkeringat sedikit.
"Ka-kalau itu," responsnya terbata-bata.
Dia melanjutkan, "Kami tidak bisa mengajaknya. Dia itu sa—"
"Oke, aku tidak ikut," potongku.
Pilihannya ternyata melepas topeng dengan menolak mentah-mentah. Aku hargai kejujurannya. Tapi, kenapa mereka hanya jujur di skala mayoritas? Memang membingungkan.
Ketimbang menghabiskan waktu dengan orang yang memakai topeng, lebih baik aku memotong rumput lalu berkebun. Setidaknya, ada hasil yang memuaskan dari hal itu.
"Tapi, kenapa? Takahiro-kun, apa kau menyukai murid pindahan itu?" tanya Eiko lirih.
"Oh, astaga. Ketahuan, ya?"
"Hah?!"
Mendengar itu, Eiko benar-benar terkejut. Matanya jadi sedikit melotot. Dia bahkan hampir berteriak karena saking terkejutnya.
"Bagaimana bisa? Menyukai orang mengerikan sepertinya? Kau hanya bercanda, kan?" tanyanya lagi.
Aku pun merespons singkat, "Tidak."
Tidak ada alasan bagiku untuk berbohong. Pastinya, nanti akan ketahuan juga. Apa pun yang terjadi kedepannya, aku harus siap. Tidak peduli dengan banyaknya masalah yang akan menimpa.
Aku harus bisa membuktikan kalau aku memang mencintai Asahina Mei. Entah itu melindunginya, membuatnya tersenyum, atau membuatnya bahagia. Pembuktian ada dari tindakanku.
"Ta-tapi, jika kau menolakku hanya untuk perempuan sepertinya. Mana bisa aku menerima ini!"
Suara Eiko meninggi. Dia memegang roknya erat-erat seolah berusaha menahan rasa frustasinya. Matanya juga sedikit berkaca.
Aku yakin bahwa aku telah menyebabkan sebuah masalah sekarang. Barusan, aku hampir membuat seorang gadis yang bisa dibilang populer menangis. Hanya dengan menutup mata, aku tahu kalau semua pandangan di kelas tertuju ke sini... kepada kami.
Ah, entah kenapa... perasaanku jadi lega.
Apa aku tampak seperti tokoh antagonis di sini? Tidak, sedari awal kesanku sudah buruk.
Suara bisik-bisik mulai terdengar.
"Eiko-chan menangis, keterlaluan sekali."
"Aku tidak akan memaafkannya!"
"Dia jahat, kan?"
Oke, di titik ini... aku tidak ingin mendengar apa pun lagi. Aku akan berpura-pura tuli.
Eiko masih berdiri di depanku dengan ekspresi yang tidak bisa kutebak.
Namun, aku tidak peduli. Lagipula sejak kapan aku harus memenuhi keinginan mayoritas?
Mulai sekarang, kehidupanku akan jauh lebih sulit. Tidak apa-apa. Aku bisa mengatasinya.
"Maaf, Eiko-san."
Aku hanya bisa mengucapkan kata maaf sebelum akhirnya bangkit dan berjalan perlahan ke luar kelas.
"Ma-mau kemana?" Eiko bertanya pelan.
"Aku ingin bolos, laporkan saja kalau kau mau," jawabku dingin.
Saat tatapanku menyapu seisi kelas, aku sudah menduganya. Ada begitu banyak tatapan sinis yang mengarah padaku sekarang.
Sekilas, aku melihat Asahina Mei. Dia menatapku, tampak bingung dengan apa yang terjadi.
Pembicaraan antara aku dengan Eiko memang tidak terlalu terdengar karena keadaan kelas yang cukup ribut, dan mereka baru menyadari masalahnya saat Eiko meninggikan nada bicaranya.
Saat mata kami benar-benar bertemu, aku refleks tersenyum padanya... bahkan aku bingung kenapa aku melambaikan tangan ke arahnya. Begitu aku melakukannya, tatapan beralih kembali ke Mei.
Astaga, bukankah ini memperparah keadaan? Aku malah melibatkan Mei di titik ini. Bagaimana jika dia dirundung nantinya?
Tidak, tenanglah.
Aku perlu ganti suasana dulu.
Waktu istirahat hampir habis. Tapi, tetap saja... aku tidak ingin berada di kelas untuk sementara waktu. Bukannya merasa takut atau apa. Aku juga perlu menyendiri, karena emosiku perlahan kembali.
Pada dasarnya, jika seorang lelaki kedapatan membentak seorang perempuan... bagaimana pun keadaannya, maka lelaki itu akan dianggap kasar. Tapi anehnya, itu tidak akan terjadi jika kondisinya terbalik. Begitulah lika-liku di kehidupan sosial.
Sekarang, ke mana aku harus pergi?
Aku tidak pernah bolos sebelumnya. Baru kali ini aku melakukannya.
Maaf, ibu. Anakmu berubah menjadi nakal. Tapi sejujurnya, aku tidak berniat seperti itu.
Aku hanya bingung. Perasaanku begitu lelah. Terlalu banyak hal yang terjadi di hari pertamaku di kelas sebelas. Otakku yang biasanya jarang berpikir selain pada materi pelajaran, kini harus berpikir lebih ekstra hanya untuk hal-hal yang bahkan sulit kumengerti.
Jadi, sekarang apa?
Oh, iya. Seingatku ada tempat yang bagus untuk beristirahat.
Tidak, bukan UKS.
Aku benci berpura-pura, apalagi pura-pura sakit.
Kalau tidak salah, tempatnya di atap. Bagian paling atas bangunan ini. Dengan segera, aku bergegas pergi ke sana sebelum ketahuan oleh guru atau siapa pun itu.
Setelah melewati lorong demi lorong, tangga demi tangga... hanya perlu waktu kurang dari lima menit untuk sampai di sana.
Di atas atap sekolah ini, di bawah sinar matahari yang terik... aku duduk bersandar pada dinding beton yang dingin.
Suara riuh rendah dari kelas-kelas di bawahku terdengar samar, seolah-olah teredam oleh jarak. Angin sepoi-sepoi berhembus, membawa aroma rumput segar dan debu yang terbang dari halaman sekolah.
Langit biru membentang luas, tanpa awan yang menghalangi. Aku menatap ke kejauhan, melihat pepohonan yang bergetar lembut, seolah-olah ikut menari mengikuti irama angin. Di sisi lain, gedung-gedung tinggi kota menjulang, menciptakan kontras yang mencolok dengan ketenangan atap ini.
Di sinilah aku bisa merenung, jauh dari tatapan teman-teman sekelas yang membuatku merasa tertekan.
Tempatnya memang sangat bagus untuk beristirahat. Kemudian, aku berbaring di dekat dinding beton yang dingin ini. Tidak peduli akan sekotor apa bajuku saat berbaring, yang terpenting adalah aku bisa menenangkan diri.
Mataharinya terik, jadi aku perlu menutupi kedua mataku dengan lengan kananku.
Ah, benar-benar menenangkan.
Tubuhku jadi sedikit rileks. Walaupun udaranya terasa panas, tapi otakku mulai mendingin.
Oke, aku harus memikirkan beberapa rencana untuk kedepannya. Yang jelas, tanpa rencana... aku tidak akan bisa bertahan.
Pertama-tama, aku ingin mengurus Eiko lebih dulu. Barulah setelah itu, aku bisa memikirkan rencana lanjutan untuk mendekati Mei.
Jatuh cinta ternyata rumit, ya?
Tapi, entah kenapa... rasanya juga menyenangkan.
Dan ternyata, bolos itu tidak seburuk yang kubayangkan.