Setiap manusia membawa kisahnya sendiri. Ada yang hidup seperti warna merah: penuh semangat dan membara. Ada pula yang seperti biru: tenang, lembut, dan hangat. Namun, ada juga yang larut dalam hitam: misterius, penuh duka, dan menyimpan banyak rahasia.
Namaku Raka. Mahasiswa semester lima jurusan Sastra. Selain kuliah, aku bekerja paruh waktu di sebuah perpustakaan modern yang terhubung dengan coffee shop tak jauh dari kosanku. Sudah lebih dari seminggu aku menjalaninya, mencoba mengisi waktu luang selama libur semester. Tapi entah kenapa, semuanya terasa datar. Hari-hariku membosankan. Waktu berjalan, tapi aku merasa diam di tempat.
Hingga sore itu...
"ASTAGA!" seruku dalam hati.
Mataku tanpa sengaja menangkap sosok perempuan di dekat kasir. Ia berdiri anggun, rambut hitamnya terurai rapi di atas bahu. Bola matanya—Tuhan!—seakan memiliki medan magnet yang menarikku tanpa ampun. Ada sesuatu dalam dirinya yang memaksa mataku terpaku. Dalam diam, dadaku bergetar hebat.
Apa ini yang disebut jatuh cinta pada pandangan pertama?
Dengan jantung berdegup kencang, aku melangkah mendekatinya.
"Cari buku apa, Mbak?" tanyaku, mencoba terdengar tenang padahal suara nyaris bergetar.
"Buku sastra, Kak." jawabnya Lembut. Menenangkan.
Suara itu, seakan menyelinap masuk dan langsung menggema di dalam dadaku. Aku tersenyum, gugup tapi berusaha tetap ramah.
"Sendirian aja, Mbak?"
Ia mengangguk. Sederhana, tapi membuat perasaanku bergolak tak karuan. Pertanyaan bodoh, memang. Tapi aku butuh alasan untuk terus berbicara dengannya.
Jujur saja, mendekati perempuan seperti ini bukan kebiasaanku. Aku bukan tipe cowok yang percaya diri di depan wanita. Aku cenderung kaku, kikuk, dan sering kali memilih diam. Kalau aku naksir seseorang, biasanya rasa suka itu hanya kusimpan sendiri.
Teman-teman sepantaranku hampir semuanya memiliki hubungan asmara dan mereka selalu mengajakku agar aku juga memiliki pasangan seperti mereka. Banyak orang-orang yang menganggap ketika seseorang tidak memiliki hubungan asmara maka mereka adalah gay, padahal sebenarnya tidak begitu juga. Lebih tepatnya adalah pembawaanku yang sulit mengatasi grogi terhadap perempuan.
Sampai pernah, seorang perempuan menyukaiku. Tapi aku? Diam saja. Nggak tahu harus mulai dari mana.
---
Suatu hari, Rizman—sahabatku—datang ke kos membawa sepupunya, Dita. Ia ingin mengenalkannya padaku.
"Maaf, Riz. Aku ingin fokus belajar. Kamu tahu sendiri aku jauh-jauh kuliah dari kampung, nggak mau nyusahin orang tua," ucapku menolak halus.
Rizman sempat diam, tampak kecewa. Dita satu kampus denganku, tapi beda fakultas. Aku Sastra, dia Ekonomi. Wira sendiri kuliah di Ilmu Sosial dan Politik.
"Raka, aku serius nih. Aku ingin kamu deket dengan Dita," ujarnya blak-blakan."Loh, kenapa harus aku? Masih ada Gery dan Erik, kan?" balasku, mengalihkan pembicaraan.
Rizman cuma menghela napas. Aku tahu dia kesal, tapi aku nggak siap menjalani hubungan karena aku belum bisa berdamai dengan rasa minderku sendiri.
---
Ia masih berdiri di antara rak buku. Entah kenapa, aku merasa harus berbicara lagi padanya. Dengan keberanian yang entah dari mana datangnya, aku mendekat.
"Boleh tahu, nama kamu siapa?"
Pertanyaan ini seperti panah yang melesat dari busurnya.
"Oh, boleh, Kak. Namaku Lara."
"Dalam sastra, 'Lara' berarti sedih. Tapi, jangan biarkan kesedihan menetap terlalu lama... karena aku ingin jadi pelangi setelah hujanmu," ucapku spontan.
Ia tersenyum. Sebuah senyuman yang langsung menusuk ruang terdalam di hatiku. Hangat. Menenangkan. Membuat dunia seakan berhenti sejenak. Langit di luar mendung. Petir sesekali menyambar. Hujan turun deras. Tapi di antara kami, percakapan mengalir seperti musim semi yang lembut. Menjelang pukul sembilan malam, ia pamit. Hujan belum juga reda. Sebuah taksi datang menjemputnya. Ia melangkah pergi. Dan dalam hitungan menit, ia menghilang.
Aku masih berdiri mematung, jantungku bergemuruh. Rasanya... aku benar-benar jatuh cinta. Dia satu-satunya yang membuat rasa minder dalam diriku luluh dalam sekali tatap. Baru kali ini, aku merasa seperti kehilangan sesuatu yang belum pernah benar-benar aku miliki.
Lamunanku baru pecah ketika sadar...
"GILA! Udah jam berapa ini?! Bisa-bisa dimarahin Pak Bos!"
Aku langsung panik. Aku lupa menutup toko. Harus cuci muka dulu, sebelum amukan atasan menyambut di pagi hari.
PENILAIAN TENTANG CERITA INI?